Detikan jam dinding selalu Vara pantau dalam dua jam terakhir ini. Terkadang Vara merasa laju jam dinding begitu lama. Tanpa Vara sadari dia sudah terlalu lama menghitung waktu.
Vara menghembuskan napas panjang. Entah sudah berapa kali dia melakukannya dalam dua jam terakhir. Siapa pun orang yang melihatnya pasti curiga bahwa Vara memiliki beban hidup hingga membuat Vara tampak sangat tertekan.
Dua jam yang lalu dia bersama kedua temannya menyelesaikan sesi belanja mereka dengan membawa pulang beberapa potong pakaian. Dari mereka bertiga hanya Vara yang banyak membeli pakaian. Tentu saja, dia bukan hanya membeli untuknya sendiri, melainkan untuk suaminya juga. Bukankah Vara cukup berbakti kepada suaminya?
Agam yang baru selesai mengerjakan tugasnya sebagai dosen baru bisa bergabung bersama Vara di tempat tidur. Lelaki itu memindai istrinya yang tampak dirundung masalah. Namun, Agam tidak akan memaksa Vara untuk bercerita.
"Tidur sekarang?" tanya Agam dengan lembut.
Jam dinding sudah menunjukkan angka sepuluh lebih delapan. Mungkin saja Vara sudah mengantuk, atau mungkin saja Vara merasa bosan karena menunggunya terlalu lama. Bisa jadi beberapa alasan itulah yang membuat Vara seperti orang yang sedang memikul beban berat.
Tanpa banyak bicara, Vara merebahkan dirinya di ranjang yang kemudian diikuti oleh suaminya. Dalam menuju tidurnya, Vara masih memikirkan ucapan Dari tadi. Itulah yang membuat Vara tidak tenang.
Vara memutuskan untuk berbalik, tidak lagi membelakangi Agam. Dia lantas memeluk suaminya yang tampak sudah memejamkan matanya. Meskipun demikian, Agam sama sekali belum tertidur.
"Ada apa? Mau cerita?"
Demi menenangkan hati Vara, laki-laki itu memeluk Vara, kemudian mengecup pelan pipi istrinya.
"Aku gak bisa tidur, Mas."
"Ya, kenapa kamu gak bisa tidur?"
Vara menggeleng pelan. "Gak tau, Mas. Aku juga bingung."
"Tutup mata kamu, jangan lupa baca doa."
"Udah, Mas. Tetep aja gak bisa."
"Bisa. Kamu harus tenangkan diri kamu, rileks, nanti juga bisa tidur."
"Mas sendiri kenapa belum tidur?"
"Aku? Bukannya aku bisa tidur setelah kamu tidur?"
"Yah, kalau aku gak bisa tidur sama sekali berarti Mas juga gak bisa tidur dong?"
"Iya, makanya kamu tidur. Kita tidur sama-sama ya. Kita butuh istirahat, apalagi kita sudah seharian beraktivitas."
"Mas."
"Hm?"
"Besok Mas libur gak?"
"Besok aku ada jadwal mengajar pagi. Kenapa?"
"Aku mau minta anterin ke rumah mama."
"Kamu gak ngampus?"
"Besok libur, Mas."
"Sungguh mau ke rumah mama?"
"Iya, boleh ya?"
"Besok aku antar."
"Katanya tadi Mas ada jadwal ngajar pagi."
"Ya, memang."
"Aku mau ke rumah mama jam sembilan. Soalnya aku gak mau kena macet di jalan."
"Jam sembilan waktunya aku mengajar."
"Ya udah, aku berangkat sendiri aja."
"Gak keberatan?"
"Gak dong. Udah biasa dulu berangkat dan pulang sendiri."
"Nanti selesai mengajar aku jemput kamu."
"Jangan ah. Jemput aku kalau aku minta pulang aja. Aku mau lama di rumah mama."
"Nanti aku mampir ke sana, kita pulang ke rumah kalau kamu sudah ingin pulang."
"Nah, kalau gitu gak masalah."
Sekali lagi Agam mengecup pipi Vara. Tindakan kecil itu menunjukkan betapa sayangnya dia kepada Vara.
"Sekarang kamu tidur ya, sudah malam," ucapnya lembut.
Bagaimana pun juga Agam tidak mau terkesan memaksa Vara. Meskipun hanya sekadar ajakan tidur. Dia sudah banyak belajar kalau Vara paling tidak suka dipaksa. Sebagai gantinya Vara akan menurut kalau kita memberinya pengertian dengan cara yang lembut.
***
"Makasih, Bang."
"Sama-sama, Mbak."
Tukang ojek online tersebut lantas pergi setelah Vara menyerahkan uang dua puluh ribuan kepadanya.
Vara berjalan sempoyongan menuju rumah orang tuanya lantaran merasa lemas setelah diajak kebut-kebutan oleh tukang ojek online tadi. Sebenarnya itu permintaan Vara sendiri, tapi Vara tak menyangka hasilnya bisa membuat dia sempoyongan seperti sekarang, untung saja mereka bisa selamat sampai tujuan, beruntung juga karena mereka tidak menemui polisi lalu lintas. Vara tidak bisa membayangkan kalau dirinya akan ditilang karena ketahuan kebut-kebutan. Mungkin nantinya Agam tidak akan mengizinkannya naik ojek online lagi.
"Assalamualaikum, Mama! Papa! Cintaku!"
Vara berjalan cepat, lupa kalau sebenarnya tadi sempat sempoyongan. Dia langsung menuju kamar mamanya, biasanya papanya masih bekerja dijam seperti ini. Tapi siapa yang tahu kalau mama dan papanya sedang memproduksi adik untuknya.
"Halo!"
Ketika pintu kamar mamanya terbuka, yang Vara dapati hanya kondisi kosong saja. Itu artinya mamanya tidak berada di dalam kamarnya. Aha! Mungkin mamanya ada di taman samping. Meskipun tidak begitu menyukai bunga, namun mamanya mempunyai kebiasaan unik yaitu sering duduk bersantai di halaman samping sekadar untuk memandangi bunga-bunga milik tetangganya. Oke, Vara tahu kalau mamanya cukup aneh. Meskipun demikian, Inge tetaplah mamanya. Vara tidak mau mamanya diganti dengan yang lain, meskipun Inge begitu jahat padanya.
"Mama!"
Inge terlonjak kaget begitu membuka pintu samping rumahnya, dia mendapati putri semata wayangnya sedang tersenyum senang lantaran berhasil membuat kaget mamanya. Untung saja dia hanya memproduksi satu anak di dunia ini, kalau tidak mungkin Inge akan berpikir untuk membuang satu anaknya ke lautan sana.
"Mau jadi anak piatu? Malau mama jantungan gimana?"
"Eh, saru."
"Kamu tuh gak ilang juga kebiasaan jailnya. Mama takut kalau kamu suka jahil sama suami sendiri."
"Aman kok, Ma." Vara tertawa terbahak-bahak.
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Inge galak.
Rasanya Inge ingin memasukkan kembali Vara ke rahimnya, saking kesalnya dia dengan tingkah Vara.
"Kangenlah. Masa anak sendiri pulang ke rumah gak boleh? Padahal papa sering hubungin aku. Cuma Baginda Ibu Ratu aja yang lupa sama anak."
"Halah, anak kayak kamu ini buat apa dikangenin. Sekalinya kangen, bikin rusuh aja."
"Sedih nih aku."
"Gak usah drama. Mana suami kamu?"
"Di kampus. Masih ngajar. Kan suami aku rajin."
"Kamu ke sini naik apa?"
"Ojek online."
"Kamu sengaja datang pagi?"
"Ho'oh."
"Suami kamu udah kamu urus belum? Kamu siapin sarapannya, baju kerjanya."
"Udah beres semua, Mamaku. Kenapa sih Mama nanyain mulu suami aku. Anaknya kek ditanyain kabarnya."
"Mama udah liat sendiri kamu gimana. Sehat gitu kok. Bisa bikin Mamanya hampir jantungan."
Vara menyengir lebar. "Maaf," ungkapnya.
Inge mendengus kesal. "Udah makan belum? Jangan biasain suami makan sendiri. Meskipun belum lapar, suami tetep harus ditemenin."
"Udah kok. Aku makan sepiring berdua sama suami aku."
Mata Inge sontak melotot. "Kamu gak punya beras? Berasnya habis atau gimana? Kenapa makan bisa sepiring berdua gitu?"
"Ihh, Mama kayak gak pernah muda aja sih. Aku kan masih tergolong pengantin baru. Jadi, masih pengen manja-manja gitu."
"Bohong. Kamu itu bukan lagi pengantin baru."
"Ih, gak percaya."
"Kamu kan memang keliatan orang yang gak bisa dipercaya."
"Astagfirullah, Mama."
"Masuk sana, mau sampai kapan kita ngobrol di pintu kayak gini? Bentar lagi Sasa datang. Tugas kamu temenin dia."
"Tapi aku tiba-tiba lapar. Pengen makan masakan Mama lagi."
"Ya udah makan. Jangan sampai kelaparan."
Vara tersenyum senang. Meskipun mamanya ketus dalam berucap, Vara tahu kalau mamanya masih begitu perhatian padanya.
"Oh, ya. Nanti suami kamu ke sini gak?"
"Ya, kan mau jemput aku."
"Jangan. Kalian menginap saja. Papa katanya pengen ngobrol sama Agam."
Vara menahan senyumannya kala mengetahui kalau mamanya berbohong.
"Apa susahnya sih jujur, bilang kek kalau masih kangen, pura-pura bawa papa segala," gumam Vara sambil terkikik geli.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
kang komen:(:
typo thor malau (kalau) kali ini beneran gak kayak kemaren
2021-02-02
2