MAS DOSEN!
...Vote dulu ya...
...Tolong tandai jika ada typo ya...
...Happy reading...
.......
.......
.......
"Bangun!"
"Iya, Ma!"
Vara menyentuh dadanya yang berdebar-debar kencang. Semalam dia kesulitan tidur, Vara ingat kalau dia tidak merasakan kantuk sama sekali. Yang jelas, hingga pukul 01.00 matanya masih sangat segar. Vara juga tidak tahu dia tertidur dijam berapa, yang jelas saat ini matanya justru tampak sayu.
"Anak gadis harusnya bangun pagi, ini mah boro-boro."
Gerutuan mamanya masih terdengar dari luar kamar. Tak lupa teriakan membahana yang berhasil membuatnya terbangun dengan cara tak manusiawi.
Vara mengecek ponselnya, dan membuka aplikasi pesan. Ada beberapa pesan dari temannya, ada juga pesan dari orang tak dikenalnya.
Dia memutuskan untuk menyudahi acara bermain ponselnya setelah membalas pesan teman-temannya. Jujur saja Vara tak menginginkan kamarnya kembali digedor oleh mamanya.
Tak membuang banyak waktu lagi Vara lantas memasuki kamar mandinya. Membersihkan diri secepat mungkin karena dia benar-benar sangat terlambat bangun tidur.
Hingga tiga puluh menit berlangsung Vara keluar dari kamarnya. Dia sudah siap dengan tas kuliahnya, serta penampilan yang lebih rapih.
"Selamat pagi, Pa."
"Selamat pagi, Sayang."
Vara menempati salah satu bangku kosong. Tangannya aktif bergerak untuk mengambil sarapan. Tak sengaja matanya melihat kursi kosong di samping papanya.
"Ibu Ratu mana, Pa?"
Reza menoleh kepada anaknya, sudut bibirnya sedikit tertarik sebelum menjawab, "Keluar. Tadi tetangga sebelah manggil."
"Mau apa?"
"Mungkin titip anaknya lagi."
Vara menganggukkan kepalanya pelan. Tetangga sebelah yang dimaksud adalah Tante Rini. Dia seorang wartawan yang sibuk bekerja dari pagi sampai malam, begitu juga dengan suaminya yang sering pulang larut malam. Mereka punya satu orang anak berusia enam tahun yang sering kali dititipkan di rumah Vara.
"Mama pengen punya anak lagi kali, Pa. Makanya mama seneng kalau Sasa dititipin di sini."
"Hayuk. Papa selalu siap, tapi memang mama kamu cuma mau punya satu anak."
"Pa, aku pengen punya adik."
Reza menggeleng pelan. Dengan kejam dia berucap, "Punya kamu saja Papa sudah pusing. Apalagi kalau lihat mama kamu ngomel-ngomel sama kamu."
"Enggak tega ya liat aku diomelin?"
"Bukan itu."
"Lah, terus?"
"Kuping Papa panas."
"Ihh, Papa kok gitu sih. Sayang gak sih sama anak?"
"Kalau Papa gak sayang kamu, mungkin Papa sudah buang kamu ke jalanan."
Vara berdecak tak terima. Anak secantik dirinya masa harus dibuang?
"Tapi seriusan deh, Pa. Aku pengen adik."
"Sekarang ini cocoknya Papa dapat cucu."
"Yah, Papa. Cucu aja terus. Nikah aja belum."
Tiba-tiba Reza memandang lekat anaknya. "Vara, seriusan ya. Nanti malam kita bertemu sama calon kamu. Papa sudah buat janji dengan keluarga Abiyan."
"Itu lagi yang dibahas?"
"Kamu sudah bicara dengan Agam?"
"Pa, kan aku sudah ceritakan. Pak Agam itu galak."
"Galak dalam artian bagaimana nih?"
"Galak pokoknya. Papa mau anak Papa yang cantik ini menikah sama laki-laki galak?"
"Papa sudah sering bertemu dia. Dan Papa tidak mungkin salah, bagi Papa dia laki-laki baik, sopan, dan bertanggung jawab."
"Tapi yang aku lihat bukan itu, Pa."
"Memangnya kamu sudah diajar sama dia?"
Vara gelagapan, pasalnya dari semester satu sampai hari ini dia belum pernah bertemu Agam sebagai dosennya. Pernah bertemu, itu pun hanya berpapasan, dan hanya sekadar tahu nama saja. Mungkin tidak akan pernah bertemu dengan Agam sebagai dosen pengajar, karena saat ini Vara sudah berada di semester akhir.
"Memang belum pernah."
"Nah, itu."
"Tapi kan tetep aja, Pa."
"Kenapa kamu menyimpulkan kalau dia galak?"
Vara menunjuk matanya. "Tajam, Pa. Sekali lihat aja aku tau kalau matanya tajam."
"Selain itu?"
Vara menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Antisosial. Aku jarang lihat dia gabung sama dosen lain. Aku pernah lihat dia sama dosen Bima, udah itu aja. Enggak ada satu pun mahasiswa yang dekat sama dia."
"Lalu?"
"Aku dengar cerita kalau ada mahasiswa yang buat. masalah sedikit aja, dia gak kasih toleransi."
"Bagus dong. Kan memang salah."
"Aku pernah lihat dia marah-marah di depan mahasiswa. Keliatan banget dia itu bukan orang yang penyabar."
"Kalau salah, wajar marah."
"Ihh, Papa. Bela aja terus."
"Semua yang kamu bilang itukan hanya sepintas, dan cerita orang, kamu belum pernah benar-benar berbicara dengan dia kan? Setelah kamu berbicara dengan dia, mengenal dia lebih jauh, Papa yakin semua isi kepala kamu tentang dia salah."
"Pa, harus pakai apalagi aku jelasin? Papa harus segera buka mata dan sadar."
"Sudah, cukup. Sekarang habiskan sarapan kamu. Jangan lupa nanti malam."
"Nanti malam ada apa?"
Inge memandang anak dan suaminya secara bergantian. Sepintas tadi dia mendengar kalau anak dan suaminya itu membahas tentang rencana nanti malam.
"Bertemu keluarga Abiyan," jawab Reza.
"Oh, itu."
Vara memanyunkan bibirnya kesal. Mamanya sudah pasti mendukung rencana papanya. Kedua orang tuanya memang selalu kompak terkait masalah anak. Apa pun itu.
"Sasa udah makan?" tanya Vara kepada anak kecil yang berdiri di samping mamanya.
Sasa mengangguk pelan, lalu menjawab, "Udah."
"Makannya sama apa?"
"Sama nasi."
Tiba-tiba suara tawa mengejek terdengar jelas ke telinga Vara. Ia lantas menengok mamanya.
"Lagian pertanyaan kamu udah biasa. Setiap kali bertemu Sasa pertanyaan kamu itu. Sasa juga sudah hapal harus menjawab apa."
"Mama, ih! Udah ah, mau berangkat sekarang."
🏠🏠🏠
Minuman dingin mampir di pipinya saat dia kedapatan melamun. Pelaku yang tidak lain adalah temannya, hanya menyengir saat Vara melotot ke arahnya.
"Lagian lo malah ngelamun. Kenapa sih?"
"Enggak apa-apa. Habis diomelin nyokap."
"Perasaan gue lo sering banget diomelin nyokap," ucap Rakhma, "mau jadi anak durhaka atau gimana?"
"Apa sih. Itu mah memang kesukaan nyokap gue. Ngomel mulu. Ada aja yang diomongin."
"Itu mah memang lo yang gak tau diri," sahut Daria, "gak mungkin juga nyokap lo ngomel kalo gak ada sebabnya."
"Udah ah. Jangan dibahas lagi. Gue ke toilet dulu."
Vara kabur tanpa menunggu balasan teman-temannya. Sebenarnya dia bukan pergi ke toilet, tetapi pulang ke rumah. Lagipula jam kuliah sudah berakhir.
"Astagfirullahaladzim!"
Vara terlonjak kaget saat pintu gudang yang dilewatinya terbuka sendiri. Bukan apa-apa nih, masalahnya Vara sudah beberapa kali mendengar cerita kalau gudang tersebut angker. Dan berisi makhluk halus.
"Maaf membuat kamu terkejut."
Vara berkedip-kedip saat seseorang keluar dari dalam gudang. Seorang laki-laki yang membawa banyak tumpukan buku tebal yang berdebu.
"Kamu mahasiswi di sini kan?"
Vara mengangguk. Ya iyalah!
"Saya boleh minta tolong?"
"Minta tolong apa, Pak?"
"Tolong bawakan dua buku itu ke kantor saya. Saya pikir sekalian saja, daripada saya harus bolak-balik."
"Yang ini, Pak?" tanya Vara sambil menunjuk.
"Ya, benar."
Vara meraih dua buku besar tersebut, dan jujur Vara akui buku-buku tersebut lumayan berat.
"Bisa?"
"Bisa, Pak."
"Tidak berat kan?"
"Lumayan, Pak."
"Kalau saya kuat, sudah saya bawa sekalian bukunya."
"Enggak apa-apa, Pak. Biar saya bantu."
Laki-laki itu mengangguk. "Saya juga mau bicara sama kamu."
Vara terkejut. "Sama saya, Pak?"
"Iya."
"Bicara apa, Pak?"
"Kamu mau sekalian saya antar pulang atau tidak?"
"Maksudnya, Pak?"
"Nanti malam kita bertemu kan? Membahas masalah perjodohan."
...⚡...
...⚡...
...⚡...
...🚲 Bersambung 🚲...
...Jangan lupa vote dan komen....
...Terima kasih....
...Sorry for typo....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Nah lho kamu Vara..Makanya jangan mintak adek..
2024-11-01
0
Bhil_chan
Keren 👌
2021-06-21
0
Ummu Sakha Khalifatul Ulum
Langsung to the point dasar si Agam sudah gak kuat 😅😅
2021-06-04
0