Pagi harinya Vara terbangun dengan suasana hati yang tak menyenangkan. Kejadian kemarin masih terngiang-ngiang di kepalanya hingga membuat Vara tak bisa tidur nyenyak.
Meskipun Agam mau diajak bicara, tidak seperti kebanyakan seseorang yang sedang marah cenderung mengabaikan, Agam justru berkebalikan. Agam lebih sering mengajak Vara berinteraksi, meskipun Vara akui rasanya sedikit canggung.
Begitu sarapan pagi bersama, Agam masih bersikap baik-baik saja. Bahkan, Vara yakin sekali Agam sudah melupakan kejadian kemarin atau mungkin lebih tepatnya Agam berpura-pura lupa. Sikapnya masih tenang, dan sama sekali tidak menunjukkan sisi permusuhan.
"Kopernya cuma dua ya?"
Vara mendongak, kemudian menjawab, "Iya. Punyaku sama punya Mas."
Agam mengangguk-angguk paham. "Ya sudah, kamu cek lagi. Takutnya ada barang yang tertinggal."
Ya, benar sekali. Mereka sedang berkemas. Bulan madu mereka telah berakhir hari ini. Entah mengapa Vara malah bersyukur kalau bulan madunya cepat berakhir. Rasanya sungguh tidak menyenangkan dalan situasi seperti ini.
Ketika sedang fokus dengan ponselnya, Agam tertawa kecil. Sontak saja hal itu membuat Vara bertanya-tanya apa yang sedang dilihat oleh suaminya itu.
Disaat tengah menebak-nebak, Agam menoleh lalu menjelaskan, "Danu punya anak. Dia kirim foto anaknya."
Yang Vara tahu Danu adalah teman kecil Agam. Yang memang sudah lama tidak bertemu karena semenjak lulus sekolah dasar Danu beserta keluarga pindah ke Kalimantan. Meskipun begitu mereka tetap saling berhubungan.
"Anaknya laki-laki atau perempuan?" tanya Vara. Kali ini dia ingin membunuh rasa canggungnya.
"Perempuan. Mirip sekali dengan ibunya."
"Mas Danu itu seumuran sama Mas?"
"Lebih tua aku, beberapa bulan."
"Menurutku samalah. Kapan dia nikah? Mas datang ke sana?"
"Enggak. Waktu itu aku sedang pergi ke Bogor, seminar di sana."
"Hm, sudah lama ya dia menikah?"
"Dua bulan yang lalu sepertinya. Maksudnya satu tahun lebih dua bulan. Dua bulan yang lalu hari ulang tahun pernikahan mereka."
"Ohh."
"Mau lihat fotonya?"
Vara mengangguk. Dia penasaran dengan bayi perempuan yang katanya mirip dengan ibunya.
"Mas punya foto istrinya Mas Danu? Foto pernikahan gitu?"
"Tidak ada. Memangnya kenapa?"
"Mau memastikan anak mereka lebih mirip siapa."
"Mirip ibunya. Aku yakin."
"Nanti anak kita lebih mirip siapa, menurut Mas gimana?"
Agam bergeming, lantas mengangkat bahunya. "Lihat saja nanti."
"Mas gak mau menebak-nebak gitu?"
"Buat apa? Aku tidak masalah mirip siapa, yang penting dia anak kita berdua."
"Hm, iya sih. Mungkin lebih mirip Mas."
"Mungkin."
Vara memandang lekat suaminya. Rupanya topik seputar anak tidak berhasil menarik perhatian Agam. Entah mengapa Vara malah merasa tak bersemangat lagi.
"Kayaknya Mas belum terpikirkan soal anak ya?"
"Bukannya tidak mau. Aku hanya ingin menunggu kondisi dan situasinya membaik."
"Maksudnya, Mas?"
"Kamu kan masih kuliah. Daripada menghambat kuliah kamu, sebaiknya kita tunda dulu masalah momongan."
Vara mengigit keras bibirnya setelah mendapat jawaban Agam. Meskipun Agam sudah menggunakan bahasa yang agak halus, nyatanya kalimat itu berhasil menohok hati Vara. Dia sangat yakin kejadian semalam masih berbekas di hati suaminya.
Tak bisa menahan diri lagi, Vara berlari ke kamar mandi. Dia tumpahkan segala kesedihannya seorang diri. Menangis pilu merenungi nasibnya yang serba salah.
"Vara?"
Vara tetap diam saat Agam memanggilnya dari luar kamar mandi.
"Maaf. Untuk yang semalam aku minta maaf. Seharusnya aku ingat perjanjian kita sebelum menikah, inilah risiko yang harus aku tanggung, dan aku benar-benar minta maaf karena memaksa kamu."
Vara memandang dinding kaca yang memantulkan bayangannya. Ucapan Agam barusan malah membuatnya merasa sangat bersalah.
"Soal momongan, aku juga minta maaf. Bukannya aku tidak siap, tapi kamu benar, untuk saat ini sebaiknya kita sembunyikan dulu status pernikahan kita. Dan kita rencanakan untuk punya momongan nanti setelah kamu selesai kuliah. Sekali lagi aku minta maaf."
***
"Bisa?"
Vara mengangguk ketika Agam berniat membantunya memasukkan koper ke dalam bagasi mobil. Kalau memang Vara keberatan, Agam yang akan melakukannya.
Mereka telah kembali dan sampai di Jakarta. Acara bulan madu mereka sudah berakhir. Yang itu artinya Vara dan Agam kembali ke rutinitas mereka seperti sebelumnya.
"Besok kamu mulai kuliah?" tanya Agam di tengah perjalanan mereka menuju rumah.
"Iya, Mas."
Situasinya kembali hening setelah Agam mengajukan sebuah pertanyaan tertutup. Padahal Vara merasa tidak nyaman dengan situasinya sekarang. Agam benar-benar tidak membahas masalah yang terjadi sebelumnya.
"Mau aku antar besok?"
"Apa, Mas?"
"Oh, gak perlu ya?"
Vara mengalihkan pandangannya ke luar jendela mobil. Mendapat pertanyaan tiba-tiba membuat Vara tak siap membalasnya. Vara sangat yakin Agam salah paham dengan balasannya.
"Mas."
"Ya?"
"Tadi Mas tanya aku mau diantar atau gak kan?"
"Iya."
"Mas bisa gak besok antar aku ke kampus?"
Vara mencoba untuk memulihkan hubungan mereka berdua. Meskipun Vara harus menanggung resiko jika besok ada orang yang memergokinya diantar Agam ke kampus.
"Kamu gak keberatan?" tanya Agam hati-hati.
Vara mengangguk pelan. Keberatan, tapi apa boleh buat.
"Besok kamu diantar Pak Hendri saja."
"Pak Hendri itu siapa?"
"Supirnya papa."
"Lho, kok gitu? Nanti kalau papa ada keperluan keluar gimana?"
"Gak ada. Papa kan bisa bawa mobil sendiri."
"Mas gak bisa antar aku?"
"Bisa. Tapi aku harus berangkat lebih pagi. Kamu gak keberatan?"
"Gak apa-apa. Kuliahku jam delapan. Mas berangkat jam berapa?"
"Mungkin jam tujuh."
"Gak apa-apa. Aku ikut Mas aja."
"Oke. Besok kita berangkat bersama-sama."
Vara menghembuskan napas lega. Melihat Agam kembali tersenyum membuatnya yakin kalau mood suaminya sudah kembali seperti semula. Ya, memang Agam tidak benar-benar kecewa, hanya saja Vara merasa kehilangan senyuman suaminya sejak hubungan mereka berdua merenggang.
"Terus besok Mas pulang jam berapa?"
Vara kembali menarik perhatian suaminya. Apa salahnya dia mengalah, lagipula selama ini Vara hanya egois dan takut pada kenyataan yang terjadi.
"Belum tau. Tapi kayaknya aku pulang agak sore. Kamu gimana?"
"Hmm, aku juga gak tau. Kata Rakhma besok Bu Asih gak masuk, kemungkinan aku pulang siang. Tapi kalau Bu Asih masuk, aku pulangnya sore."
"Jam berapa?"
"Sekitar jam empat. Kalau Mas jam berapa?"
"Rencananya besok siang sampai sore aku ada rapat. Mungkin selesei jam lima."
"Oh, jam lima ya?"
"Hm. Kenapa? Mau pulang bareng atau mau duluan?"
"Mm, nunggu Mas kelamaan. Tapi kalau pulang sendirian aku males. Di rumah juga aku gampang bosen."
"Terus?"
Vara terkekeh kecil seraya menjawab, "Aku nunggu aja deh. Boleh ya?"
Agam mengangguk dengan kekehan ringan. "Alasan kamu tuh. Kamu sebenarnya gak mau aku tinggal lama-lamakan?"
"Apa sih? Ge'er banget."
"Ngaku aja."
"Terserah Mas aja."
"Malu ya?"
"Gak tuh."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Becky D'lafonte
astaga yg romantis dikit kek ngomongnya
2021-05-03
2