Daria menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Matanya menatap langit kamar Rakhma. "Capek, gue lelah."
"Sama," sahut Rakhma.
"Jangan tanya gue, karena jawaban gue pun sama," ucap Vara.
Daria berbaring miring menghadap Vara. "Lo udah persiapan buat skripsi?"
"Belum sama sekali."
"Belum sama sekali?" tanya Rakhma tak percaya, "lo juga belum, Dar?"
"Sama kayak Vara," jawab Daria.
"Serius? Kalian belum ada rencana apa pun gitu?"
"Apaan sih, memang kenyataannya gitu kok," sungut Daria, "lagian gue sama Vara kan mirip, jelas beda jauh sama lo."
Diantara mereka bertiga hanya Rakhma yang memiliki otak cerdas. Meskipun begitu Vara dan Daria bukan mahasiswi bodoh, setidaknya jika disusun peringkat kelas Vara dan Daria berada di sepuluh besar.
"Kan waktu itu gue udah ngajak kalian untuk belajar buat skripsi sama kakak gue," sahut Rakhma, "murah meriah bahkan gratis. Asal kalian siap dengerin dia marah-marah."
"Itu yang gue gak mau, Rah. Gue paling gak suka kena marah," ucap Vara, "meskipun skripsi gue langsung selesai."
"Tapikan lo gak rugi. Kakak gue cuma butuh telinga lo buat dengerin dia marah."
"Gue mau usaha sendiri aja."
"Lah, kan sama kakak gue juga kita usaha sendiri kali. Cuma, nanti kakak gue bantu. Bukan berarti skripsinya dibuat sama kakak gue."
"Ah, tetep aja gue gak mau."
"Lo gimana, Dar?"
"Gue minta tolong oom gue aja. Dia dosen juga, cuma beda universitas," jawab Daria.
"Lo mau buat sendiri atau dibuatin?"
"Buat sendiri mungkin. Kalau gue capek duluan, terpaksa gue suruh orang lain yang buat. Yang penting oom gue taunya gue buat sendiri."
"Kerja dua kali dong itu mah."
"Bodo ah. Gue udah terlanjur capek.
"Terserah deh, pusing kepala gue, lagian gue kasih saran kalian gak mau nyoba," sungut Rakhma, "lo mau gimana, Var? Rental atau buat sendiri?"
Vara memikirkan segala kemungkinan yang terjadi. Jika dia ketahuan menyuruh orang untuk mengerjakan skripsinya, Sang Ibunda Ratu bisa murka. Tapi kalau dia mengerjakan seorang diri, mungkin Vara sudah tepar sebelum berperang.
"Kok bengong sih? Gimana, Var?"
"Gue mau minta tolong seseorang."
"Siapa?"
"Ada deh."
"Kok lo gitu, main rahasia segala sih?"
"Ya ada pokoknya."
***
"Vara."
Vara mendongak, kemudian meminta Agam duduk di sampingnya. "Hujan ya? Kok bajunya basah?"
"Di kampus hujan, tapi setelah sampai di sini hanya gerimis kecil."
"Oh, gitu."
"Kamu belum pesan makan?"
"Sengaja nunggu, lagian aku gak tau makanan kesukaan Mas Agam."
"Harusnya kamu pesan saja, saya bukan pemilih kok. Asalkan sehat."
Vara mencibir pelan, dua hari yang lalu Agam memintanya untuk bersikap informal saja saat bersamanya, kecuali saat di kampus.
"Kenapa diam?"
"Enggak apa-apa."
"Pasti ada sesuatu yang kamu pikirkan."
"Mas Agam mau tau?"
Agam menganggukan kepalanya.
"Ah, gak jadi deh. Pasti gak mau."
"Mau apa?"
"Janji dulu, Mas Agam mau."
"Eh, apa dulu itu?"
"Ya udah gak jadi. Jadi, mau pesen makan apa?"
"Kamu jangan mengalihkan pembicaraan. Bilang dulu, apa maksud kamu tadi?"
Pelayan datang membawa daftar menu makanan, jujur saja Vara bersyukur karena bisa membuat Agam penasaran. Bahkan, ketika pelayan itu bertanya pun Agam bergeming.
"Mas Agam pesan apa?"
"Mbak, sama kan saja dengan pacar saya," ucapnya kepada pelayan.
"Oh, jadi sekarang punya pacar ya?"
"Sekarang bilang, apa maksud kamu tadi?"
"Ih, kok masih bahas yang itu sih?"
"Kamu sih tidak mau jujur."
"Oke, aku jujur."
"Apa?"
"Kemarin kan Mas pernah bahas masalah formal dan informal kita berdua. Singkatnya, aku mau Mas bersikap informal sama aku. Sesuai kesepakatan kita waktu itu."
"Maksud kamu?"
"Ih, kok gitu aja gak paham sih? Katanya dosen paling cerdas, masa kalimat sederhana kayak tadi gak paham?"
"Kamu pengen aku gimana?"
Vara menahan senyumnya kala laki-laki itu sudah mulai terlihat santai. Inilah yang Vara inginkan. "Aku mau Mas Agam gak kaku kalau lagi ngobrol sama aku. Jangan pakai bahasa baku atau pun formal, oke?"
Agam mengangguk. Sekarang dia paham apa mau calon istrinya. Pesanan datang setelah mereka menyelesaikan obrolan seputar bahasa yang harus dipakai sesuai kondisi.
"Kamu gak suka sayuran?"
Vara menggeleng pelan. "Suka sih, tapi kalau ada lauk lainnya aku pasti gak akan makan sayuran."
Agam menjauhkan olahan daging dari Vara. Laki-laki itu justru menyodorkan sayuran. "Harus makan sayuran. Bagus untuk kesehatan."
"Aku gak suka, Mas."
"Makan."
"Ih, dibilang gak suka kok."
"Makan." Kali ini Agam menyodorkan sendok berisi nasi dan sayuran.
"Maksa banget sih," sungut Vara. Meskipun sempat mengomel, akhirnya Agam mampu membuat Vara menghabiskan sayurannya.
"Mau nambah lagi?"
Vara melotot. "Mas pengen aku gemuk?"
"Kelihatannya tubuh kamu susah gemuk."
"Mas mau gaun pengantin aku nanti kesempitan?"
Akhirnya Agam tertawa kencang setelah satu jam duduk bersama dengan Vara. "Kamu takut gaun pengantinnya kesempitan?"
"Iyalah, aku kan udah pilih gaun."
"Ya udah, gak apa-apa. Nanti kamu minta penjahitnya untuk atur lagi ukurannya."
"Ih, aneh lho. Kacau jadinya."
Agam tertawa lagi.
"Oh, ya. Minggu besok kita gak bisa bertemu ya?"
Vara mengangguk. Minggu besok sudah waktunya bagi mereka untuk dipingit.
"Kalau video call, boleh?"
"Gak usah, Mas. Kita jangan tatap muka dulu sampai akad nikah nanti."
"Melihat kamu lewat hp juga gak boleh?"
"Bukannya gak boleh, cuma menurutku baiknya jangan."
"Kalau aku kangen bagaimana?"
Vara mengernyit, entah mengapa Vara penasaran. "Mas, boleh aku tau alasan kamu langsung menerima perjodohan kita?"
"Karena kamu cantik," jawab Agam tanpa ragu sedikitpun.
"Aku tau, aku memang cantik. Tapi ada alasan lain lagi?"
"Kamu penurut."
"Penurut? Karena aku ikut omongon orang tua?"
"Hm, salah satunya itu."
"Terus yang lainnya?"
"Mungkin karena kamu pintar."
"Jangan sok tau, aku pernah dapat nilai empat."
"Pintar bersosialisasi, pintar menempatkan diri, pintar menjaga perasaan orang lain, pintar bertutur kata, dan pintar yang lainnya."
Vara bergeming dengan segala macam pikiran. Dalam sekali tebak saja Vara sudah bisa menyimpulkan. "Kamu kenal aku sejak kapan?"
"Sejak kamu masuk SMA."
"Saat itu kita bertemu di mana?"
"Aku datang ke rumah kamu. Aku lihat kamu, pakai seragam SMA yang masih kelihatan baru. Kamu kelihatan semangat sekali."
"Aku lupa. Mas pernah main ke rumah?"
Agam mengangguk. "Beberapa kali."
"Oke, jadi apa yang istimewa saat itu?"
"Kamu."
"Maksudnya?"
"Kamu yang istimewa."
Vara merasakan lidahnya kelu. Entah kenapa dia malah merasa gugup.
"Keseluruhan kamu enak dipandang, entah itu fisik atau sifat kamu. Aku suka, apa pun yang kamu miliki. Ibaratnya dua sisi, kamu sempurna di kedua sisi itu. Entah kamu paham atau gak, aku cuma bisa menjelaskan seperti itu."
"Oke, aku paham. Cuma aku...Mas serius?"
Agam mengangguk. "Kamu boleh tanya papa kamu."
"Tanya apa?"
"Kenapa bisa ada perjodohan antara kita berdua."
Seketika Vara meelebarkan kedua matanya. Bahkan, untuk berbicara saja dia tergagap, "M-mas, ka-kamu jangan bilang, kamu yang mi-minta dijodohkan dengan aku?"
Anggukan kepala Agam membuat Vara semakin sulit berbicara. Apa ada yang salah dengan laki-laki itu?
"Aku datang ke rumah kamu untuk yang kedua kalinya. Saat itu yang aku dengar kamu lagi liburan di rumah nenek kamu."
"Untuk apa kamu ke rumah?"
"Iseng, aku main ke sana. Iseng, aku minta dikenalkan dengan kamu. Dan siapa sangka papa kamu langsung setuju."
"What?"
"Siapa sangka saat aku minta dijodohkan beliau langsung menerima. Tapi sayangnya saat itu kamu masih terlalu muda."
"Be-berapa usia kamu, Mas?"
"Kamu gak ada niatan buat batal nikah karena masalah usia kan?"
"Berapa, Mas?"
"28 tahun."
"Saat itu! Waktu kamu minta dijodohkan."
"Mmm, 22 tahun?"
"22 tahun?"
"Bukan, tapi 21 tahun."
"21 tahun," gumam Vara seraya menghitung, "berarti usiaku waktu itu 15 tahun?" tanyanya dengan ekspresi tercengang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Nah kan ku bilang juga apa,Agam kan yg meminta perjodohan itu,Karena dia yg udah suka Vara dari lama..
2024-11-01
0
Sri Mawardi
critanya bagus sih thor tapi loncat " jadi srdikit bingung
2021-02-09
3
Putri
menurut.Q daria ada hubungan dgn keluarga agam,, dan daria akan nganterin udangan.X agam sma vara
2021-02-02
3