...Vote dulu yuk, baru baca....
...Happy reading....
"Teman kamu sudah di dalam?"
Vara mengangguk seraya membalas, "Dari tadi sore."
Mendengar hal itu sontak membuat Agam terbelalak kaget. "Terkadang aku merasa takjub melihat perempuan begitu semangat belanja, padahal hanya menghabiskan uang."
"Belanja itu kebutuhan tau."
"Ya ya ya. Aku tau."
"Ayo masuk. Mas udah janji lho temenin aku belanja."
"Temen kamu tau kalau aku ikut?"
"Tau kok."
"Oh ya?"
"Iyalah. Eh, Mas. Kamu kenapa gak cerita kalau universitas mau ulang tahun?"
"Buat apa cerita?"
"Kok buat apa? Ya supaya aku tau, Mas."
"Nanti juga kamu tau sendiri."
"Iya sih, tapikan apa salahnya kamu cerita sama aku?"
"Apa salahnya kamu tau sendiri? Lagian kamu sudah dapat undangankan?"
"Udah."
"Nah, itu. Oh, jadi ini alasan kamu minta ditemani belanja?"
Vara mengangguk pelan. "Iyalah. Sekalian kita jalan-jalan."
"Modus."
"Biarin. Kan modusnya sama suami sendiri."
Vara menggandeng tangan suaminya saat memasuki toko pakaian berlantai dua. Bukan butik mahal, namun bukan juga toko pakaian biasa. Mereka sengaja mendatangi toko pakaian yang isi barangnya tak terlalu mahal atau pun terlalu murah. Yang intinya sesuai dengan nominal uang yang mereka punya.
"Di mana teman kamu?"
"Paling di lantai dua. Nanti kita ke atas."
"Kenapa nanti?"
"Aku mau pilih batik dulu buat Mas, yang ini bagus atau gak?"
Vara menunjukkan pilihan batik kepada suaminya. Menurutnya warna batik pilihannya cocok untuk Agam. Warna merah marun, tapi kebanyakan corak berwarna biru dongker. Tidak terlalu terang atau pun tidak terlalu gelap.
Agam mengernyit tak suka. "Warna merah?"
"Ini warna merah marun lho, Mas. Bukan warna merah biasa. Kalau warna merah tuh yang kayak ini."
Agam mulai membandingkan dua batik yang menurutnya sama. Meskipun menurut Vara kedua batik tersebut berbeda warna.
"Bagus," balas Agam sekenanya.
Bukannya takut istri. Agam hanya mencari aman saja. Lagipula dia percaya pilihan Vara tidaklah buruk.
"Beli yang ini ya?" bujuk Vara, "nanti aku beli juga yang coraknya sama kayak ini. Meskipun beda warnanya."
"Ya, boleh."
"Oke, Mas. Sekarang kita beli batik yang lainnya. Paling gak kita beli lagi dua."
Agam menahan lengan Vara ketika istrinya itu akan berlalu mencari batik lainnya.
"Buat apa? Beli satu sudah cukup."
Vara menggelengkan kepalanya. "Gak ada. Kamu tuh cuma punya satu batik di rumah. Padahal kampus kan sering buat acara formal, masa kamu pake batik itu aja sih?"
"Gak masalah. Yang liat juga belum tentu tau kalau aku cuma punya satu batik."
"Ini nih. Kamu terlalu menyepelekan, Mas. Ingat ya, begini juga aku mahasiswa. Aku sering lihat kamu pake baju batik itu dan itu. Aku bisa nebak kalau kamu memang cuma punya satu. Dan terbukti kan, setelah aku jadi istri kamu aku bisa lihat di lemari kalau batik yang kamu punya cuma satu."
Agam tersenyum lebar. "Kamu ternyata sering perhatiin aku. Mulai suka aku sejak kapan?"
"Astagfirullah, Mas. Padahal aku udah sering cerita lho kalau kamu itu objek gosip teman kampus, bahkan yang lain juga. Bukan cuma aku aja yang sering perhatiin kamu."
"Aku pikir aku ini spesial buat kamu."
"Spesiallah. Kamu suami aku."
Vara menarik Agam ke sembarang tempat. Dia tetap akan memaksa suaminya untuk membeli beberapa potong baju batik lagi. Sayang sekali uangnya yang selama ini ditabung, tapi tidak pernah dipakai.
"Kamu tuh kalau mau pelit jangan parah banget. Awas aja kalau pelit sama aku."
"Siapa yang pelit, Sayang? Aku bebaskan kamu mau apa pun. Yang penting itu sesuai kebutuhan kamu. Aku cuma minta kamu jangan boros, belilah yang kamu butuhkan."
"Iya, Mas. Astagfirullah. Aku gak boros."
"Aku bukannya bilang begitu. Aku cu—"
"Iya tau."
Agam menghela napas dalam-dalam. Apa sebaiknya dia biarkan saja Vara membeli apa pun seperti keinginanannya? Tapi itu bukan perilaku yang baik. Dan Agam sebagai seorang suami sudah menjadi kewajibannya untuk mengingatkan Vara.
"Yang ini mau gak?"
"Mau."
"Oke, yang ini juga."
"Kapan kamu mau pilih buat kamu sendiri?"
"Sekarang. Ayok ke atas."
***
"Waw. Lo udah berani gandeng suami lo ke depan umum?"
"Berani dong. Suami gue kan ganteng, berduit pula. Keliatan banget cinta sama gue," jawab Vara dengan rasa bangga.
"Keliatan bucinnya."
"Namanya juga cinta."
"Emangnya lo gak takut ada yang liat? Maksudnya temen kampus atau temen lainnya."
"Ya takut sih. Tapikan kalah sama semangat gue buat belanja bareng dia. Lagian nih, gue kan bisa sembunyi kalo ada temen yang ke sini."
"Iya sih. Lagian kan gue sama Daria ada bareng lho. Mereka juga pasti mikirnya Pak Agam gak sengaja ke sini, ya kan?"
"Yo'i. Udah, tenang aja, Rah."
"Tenang apa?" sahut Daria tiba-tiba. Perempuan itu sudah memilih satu gaun berpola batik. Sayang sekali terlalu panjang, menurut Vara.
"Tenang aja. Mau belanja apa pun boleh. Dia kan ada yang bayarin sekarang," jawab Rakhma, "iya gak, Var?"
"Iya dong, uang suami, uang istri juga. Uang istri, belum tentu milik suami," balas Vara yang disertai kekehannya.
"Lo mah istri gak ada akhlak, Var."
"Diemlah, Dar. Lo gak tau nikmatnya jadi istri ketika ngabisin uang suami."
"Emang lo udah berapa kali ngabisin uang suami lo?"
"Udah berkali-kali malahan."
"Kapan? Lo beliin apa aja?"
"Dulu, waktu bulan madu. Gue abisin buat beli oleh-oleh untuk kalian."
"Sinting lo."
"Oh, jadi makanan yang lo bawa banyak itu hasil dari bulan madu lo?" tanya Rakhma, "dasar tukang bohong. Bilangnya ada urusan keluarga, taunya malah honey moon."
"Udahlah. Lagian itu masa lalu. Kalian juga kena rejekinya kan?" balas Vara.
"Itu kan udah lama ya? Sekarang udah jadi belum?" tanya Daria tak tahu malu. Memang diantara mereka bertiga hanya Daria yang tidak bisa mengontrol diri sendiri.
"Udah jadi apa'an?" tanya Vara pura-pura polos.
Sebenarnya Vara mengerti maksud pertanyaan Daria. Namun, Vara tetap bersikap pura-pura tidak mengerti.
Daria menaikturunkan alisnya dengan senyuman lebar seraya membalas, "Itu lo. Yang diperut lo."
"Diperut? Emang ada apa diperut?"
"Halah, pura-pura gak ngerti. Diantara kita bertiga cuma lo yang udah gak segelan, kemungkinan besar lo duluan yang cetak anak."
"Nantilah. Gue belum ada niat punya momongan."
"Lah, kenapa sih?" tanya Rakhma, "anak itu rejeki, Var."
"Emang rejeki. Tapi gue belum siap untuk sekarang ini. Gue mau fokus skripsi dulu. Emang sih alasan gue klasik banget. Tapi memang cuma itu kok alasannya."
"Kalau semisalnya lo dikasih sekarang gimana?" tanya Daria, "lo udah siap?"
"Sekarang?"
Daria mengangguk. "Lo udah komunikasi sama suami lo?"
"Udah kok."
"Terus?"
"Dia juga setuju untuk tunda dulu punya momongannya."
"Lo masih rutin hubungankan?"
"Ya gitulah. Jangan tanya yang masalah itulah, Dar. Malu gue."
"Tau tuh, Dar. Itukan masalah pribadi," sahut Rakhma.
Daria mengangguk paham. "Gue tanya pake pertanyaan lainnya deh. Lo masih rutin pake pengamankan?"
"Masih kok," jawab Vara, "tapi..."
"Tapi apa?"
"Seinget gue, udah dua kali Mas Agam lupa."
"Lupa apa?"
"Pake pengaman," gumam Vara.
Astagfirullah. Kenapa Vara baru mengingat masalah itu? Kenapa juga dia sampai melupakan masalah itu? Tinggal menunggu beruntung atau tidak beruntungnya nanti.
"Lo bisa cek sendiri, Var. Lo beli testpack deh besok."
...⚡...
...⚡...
...⚡...
...🚲Bersambung 🚲...
...Jangan lupa vote dan komen....
...Terima kasih. Sorry for typo. ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
cicia_gie
wah suami berduit is the best
2020-12-02
3