Di kamar Hani.
Hani merasakan bahwa ada yang sedang menggosok telapak kakinya. Hidungnya mencium aroma minyak kayu putih. Perlahan dia membuka matanya. Untuk pertama kalinya pandangannya masih kabur, tetapi sosok yang muncul lagi – lagi perempuan yang bercucuran darah tadi. Sontak dia membuka matanya lebar – lebar.
“Mbak Hani. Sadar mbak.” Ucap pak Rian.
“Kenapa kenapa?” Tanya budhe Inem panik.
“Aku kaget mbak. Tiba – tiba mbak Hani melotot.” Ucap pak Rian.
Budhe Inem yang tadi masih menggosokan minyak kayu putih ke telapak kaki Hani langsung berdiri melihat keadaan Hani. Benar Hani saat ini sedang melotot.
“Mbak... mbak sadar mbak. Aduh mbak.” Budhe Inem panik.
Budhe Inem berusaha menggoyang – goyangkan tubuh Hani dengan kencang. Kemudian Hani mengedipkan matanya.
“Syukurlah.”
“Budhe?!” Panggil Hani.
“Mbak Hani kenapa? Tadi kok melotot?”
“Melotot?” Tanya Hani.
“Iya mbak, Tadi melotot kira – kira sampai lima menit kali mbak.”
Hani heran. Dia merasa dia hanya terkejut karena melihat sosok perempuan itu. Tapi itu tidak sampai lima menit.
“Aduh!..” Rintih Hani.
“Jangan di pegang mbak, masih di kompres itu.” Ucap budhe Inem sambil mengompres kening Hani.
“Budhe kok kesini?”
“Iya. Soalnya kata pak Rian ada keadaan gawat. Ya saya kesini sama anak saya.”
“Terus dimana anaknya?” Tanya Hani.
“Di luar mbak. Di pos satpam sama pak Herdi. Gak mau masuk. Takut katanya.”
“Takut?” Gumam Hani.
Drrt Drtt Drtt.
Suara telepon rumah berbunyi. Pak Rian langsung turun dan mengangkat telephonenya. Budhe masih di kamar Hani. Mengompres kening sambil mengipas – ngipas Hani.
Tidak lama kemudian. Pak Rian datang sambil berlari. Terlihat jika dia sangat tergesa – gesa dan panik. Napasnya masih terenggah – enggah tapi dia memaksan diri untuk bicara.
“Huh. Mbak... Ha...Ni. Gawat... Bapak sama ibu di rumah sakit.” Ucap pak Rian terbata – bata.
“Apa?” Hani berteriak.
Tanpa berpikir panjang Hani langsung langsung bangun dari tidurnya. Mengambil tas, dompet dan ponselnya. Dia meminta pak Rian mengantarnya ke rumah sakit segera. Dia juga meminta budhe untuk pulang saja. Dia yakin di temani pak Rian saja sudah cukup.
Sebenarnya Hani menawarkan tumpangan untuk budhe Inem pulang. Namun entah kenapa anak budhe Inem tidak mau berdekatan dengan Hani. Akhirnya Hani hanya memberikan ongkos transport ke budhe Inem dan bergegas ke rumah sakit.
...***...
Di rumah sakit.
Hani langsung turun di depan UGD. Hani meminta pak Rian untuk menyusulnya setelah memparkirkan mobilnya.
Hani berlari kecil meuju suster yang sedang berjaga di depan UGD.
“Mbak apakah benar ada pasien kecelakaan mobil suami istri?” Tanya Hani.
“Oh ada pasien baru saja masuk mbak, Namanya Ratih dan Beni.” Jawab suster.
“Oh gimana keadaannya sekarang?”
“Mbak keluarganya?”
“Iya.”
“Saat ini masih di tangani tim medis, Harap menuju resepsionist untuk mengurus administrasinya.” Ucap suster.
Suster itu juga memberikan arahan dimana tempat resepsionist. Saat Hani bebalik kebetulan pak Rian sudah ada di ambang pintu. Hani langsung menghampiri dan meminta untuk pak Rian tinggal di ruang tunggu UGD sementara Hani mengurus administrasinya.
Hani membutuhkan waktu tiga puluh menit untuk menyelesaikan administrasinya. Kemudian dia langsung kembali ke ruang tunggu UGD.
Sampai di sana pak Rian masih duduk sambil memainkan ponsel dengan di putar- putar.
“Pak Rian.” Panggil Hani.
Pak Rian pun berdiri menymbut Hani yang sedang berlari kecil menghampiri dia.
“Udah ada kabar pak?" Tanya Hani sambil terenggah – enggah.
“Belum mbak.”
Pak Rian mempersilahkan Hani untuk duduk terlebih dahulu. Kemudian dia akan pergi membeli minum untuk Hani. Namun baru tiga langkah. Lampu UGD mati dan pintu terbuka.
Pak Rian tidak jadi pergi meninggalkan Hani.
“Keluarga bapak Beni dan ibu Ratih?” Tanya dokter.
“Saya pak.” Sahut Hani langsung menghampiri.
“Syukurlah operasi lancar. Sekarang mereka bisa di pindahkan ke kamar biasa. Namun masih butuh pemantauan khusus. Sudah menyelesaikan administrasinya?”
“Sudah.” Ucap Hani sambil memberikan selembar kertas ke dokter.
Kemudian dokter memberikan kertas itu ke suster di belakangnya. Lalu mereka semua membawa papa dan mamah Hani keluar dari ruang UGD menuju kamar rawat inap. Hani dan pak Rian mengekor di belakang mereka.
...***...
Di kamar rawat inap VIP.
Semua sudah berada di tempatnya masing – masing. Pak Rian duduk di sofa. Sedangkan Hani duduk di antara dua ranjang papa dan mamahnya. Hani menyenderkan kepalanya yang terasa sangat berat di kursi dan memejamkan matanya.
Saat mengejamkan matanya, Hani merasa bahwa ada sesorang yang sedang di sampingnya. Kemudian dia membuka matanya, tetapi tidak ada siapa siap di sana.
Lagi – lagi udara di sini menjadi sangat dingin. padahal dia berada di ruangan berAC dengan temperatur standart. Bola mata Hani berputar mengecek setiap sudut ruangan itu. Lagi – lagi dia memastikan bahwa arwah itu tidak ada di sini.
“Aku hanya membuat mereka celaka. Jadi, bantu aku.” Terdengar suara gema
perempuan yang tidak asing baginya.
“Atau, orang tersayang mu dan orang terdekatmu satu persatu akan mati.” Lanjutnya.
“Haaaaah.” Hani menarik napas panjang dan membuka matanya lebar – lebar.
Napasnya terenggah – enggah lagi. Jantungnya juga berdebar kencang. Dia melirik ke arah sofa. Memastikan pak Rian masih di sana.
“Cuma mimpi.” Gumamnya.
Hani sangat haus. Dia ingin membeli minum di kantin, namun dia takut jika tiba – tiba arwah itu menyerangnya di rumah sakit yang sedang sepi ini. Akhirnya dia berencana meminta tolong ke pak Rian untuk di belikan air minun, tapi dia tidak berani di tinggal di sini sendirian. Keputusan terakhir dia menahan dahaganya sampai pagi. Setidaknya sampai lorong rumah sakit mulai ramai orang.
...***...
Pagi hari.
Papa dan mama Hani masih belum bangun dari tidurnya. Hani berjalan keluar mengecek apakah lorong rumah sakit sudah ramai. Ternyata benar sudah ramai. Bahkan para suster sudah mulai berjalan dengan trolly mereka.
“Akhirnya bisa keluar.” Ucap Hani lega.
Hani kembali kedalam dan memabangunkan pak Rian. Namun dia tidak tega melihat pak Rian yang masih terlelap. Akhirnya dia keluar tanpa ijin pak Rian.
Hani berjalan pelan sambil mencari suster yang sedang bertugas untuk di tanyai dimana kantin berada.
“Oh permisi sus. Kantin dimana ya?” Tanya Hani.
“Ada di bawah mbak. Mbaknya lurus aja sampai lift itu. Nanti keluar lift belok kiri terus kanan.” Jawab suster sambil tersenyum.
“Yang di lantai tiga gak ada sus?.”
“Masih belum buka mbak. Yang sudah buka di lantai satu. Kantin lantai satu dua puluh empat jam.”
“Oke deh. Terima kasih.”
“Sama – sama.”
Hani melanjutkan langkahnya sesuai arahan suster.
Saat masuk di lift. Di dalam hanya ada Hani saja. Tiba – tiba lift bergoyang. Lampunya juga mati.
“Jangan lagi deh.” Ucapnya lirih.
Saat lampu kembali menyala normal di depannya ada tulisan “Bagaimana? Mati atau bantu aku?.” Lagi – lagi di barengi dengan bau menyengat cairan kuteks.
“Udah cukup. Aku gak ganggu kamu. Tapi kenapa kamu ganggu aku sih.” Teriak Hani.
Lalu, pintu lift terbuka. Hani bergegas keluar.
Bruk!!!
Hani menabrak sesuatu, dia langsung tersungkur ke lantai.
“Maaf... maaf... maaf..” Ucap Hani.
Kluk!!
Ada sebuah botol kuteks jatuh di hadapannya. Matanya mulai sedikit melotot dan perlahan dia mendogak ke atas. Matanya mulai melebar da keringat dingin mulai bercucuran. Ternyata dia sedang melihat....
~ Terima kasih, sudah mampir baca~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Veronika Terni
ini hantu kok jahat banget.pakai maksa 2 lagi dan berusaha mencelakai orang
2022-06-17
1
senja
salah kan ya, dia dendam bukan gentayangan ke pembunuh malah orang gak bersalah dicelakain. dia melakukan hal yg dulu dilakukan pembunuh, mencelakai
2022-04-02
0
Euis Teuki
melihat apaan itu?
author paling bisa nih bikin penasaran
author "wedding dress" mampir nih
aku udah like
2020-11-24
3