Pintu semakin terbuka lebar perlahan, dan muncul sosok wanita yang tidak lain adalah asisten rumah tangganya (ART). Hani bernapas lega, melihat ternyata itu adalah asisten rumah tangga di rumahnya.
“Loh, mbak Hani sudah pulang.” Ucapnya.
“Duh... budhe, bikin kaget aja ah.” Ucap Hani
kesal sambil melangkah menuju tangga.
“Kenapa kaget mbak?. Malahan harusnya saya yang keget. Orang sampean masuk gak ada suara pintu terbuka.” Sanggah budhe Inem.
“Orang pintunya aja tadi kebanting kok dhe. Tutup sendiri pintunya. Masak budhe gak denger?” Ucap Hani yang sudah tiba di samping budhe Inem.
Budhe Inem terlihat mencoba mengingat – ingat. Dahinya berkerut, kemudian matanya keatas.
Tapi setelah selesai mengingat – ingat, dia tetap tidak ingat jika mendengar suara pintu yang tertutup paksa.
“Ah, mungkin saya terlalu fokus bersihin kamar mbak Hani. Jadi gak denger.” Ucap budhe Inem.
“Mungkin.”
Hani melanjutkan langkahnya, dia membuka pintu kamarnya. Namun saat di ambang pintu budhe Inem memanggilnya.
“Mbak!?”
“Hmm?”
“Tumben mbak beli kuteks, ciye. Udah SMA sekarang udah pinter dandan. Ciye, udah punya cowok ya mbak. Hayo ngaku – hayo ngaku.” Ucap budhe cepat bagaikan rapper.
“Kuteks?” Tanya Hani Heran.
“Ck, malu ya. Iya deh iya, gak tanya lagi.” Ucap Budhe Inem berlalu meninggalkan Hani.
“Hih budhe, bisa aja.” Gumam Hani.
Hani kembali melangkahkan kakinya masuk ke kamar. Tiba – tiba ia terkejut dengan apa yang di lihatnya. Jantungnya kembali berdegup kencang, napasnya tidak teratur, bulu kuduknya mulai bediri, kali ini tanggannya pun ikut dingin. Secara tidak sadar, dia mengepalkan tangannya. Matanya pelahan terbuka lebar, pupilnya juga perlahan membesar.
Dia melihat ada tulisan nama di kaca kamarnya. “Nana.” Tulisannya berwarna merah darah. Kemuan tercium bau anyir yang entah datang dari mana.
Hani mulai ketakutan, dia ingin sekali lari dari sini. Tapi tiba – tiba badanya tidak bisa bergerak. Dia merasa kaku saat ini. Keringat mulai bercucuran di pelipis Hani, tubuhnya mulai bergetar hebat dan akhirnya dia pingsan.
Tiga puluh menit berlalu.
Hani mulai tersadar dari pingsannya. Perlahan dia membuka matanya, pandanganya yang awalnya buram pun perlahan menjadi jelas. Matanya mengedarkan pandang ke seluruh ruangan.
“Euh? Aku di kamarku kan?” Gumamnya.
Hani mencoba membenarkan posisinya. Dia mencoba untuk merenggankan tubuh di lantai, karena saat ini badanya terasa kaku dan kesemutan. Dia ingin membuat peredarannya lancar terlebih dahulu. Sambil mengatur napas, dia mengingat – ingat apa yang sudah terjadi.
Setelah aliran darahnya normal kembali, Hani mencoba untuk duduk. Kemudian matanya langsung melihat ke arah cermin. Namun di sana masih ada tuisan “Nana.”
Hani yang penasaran pun langsung bangun dan berjalan menuju kaca itu. Sampai di depan kaca, dia mengamati tulisan itu.
“Ini kok? Hmmm... baunya kayak, kuteks ya?”Hani mulai mengendus tulisan itu.
“Ah benar saja, ini kuteks. Nah ini kuteksnya.” Ucapnya kesal.
“Ini pasti ulah budhe.”
“Budhe.... Budhe.... Budhe....” Teriak Hani dari kamar.
“Iya mbak,” Sahut budhe Inem.
Hani melipat tangannya di depan dadanya sambil menunggu budhe datang. Tidak lama, terdengar suara langkah kaki, yang pasti itu budhe Inem. Begitu terlihat budhe berada di depan pintu, Hani langsung cemberut. Budhe yang bingung langsung berjalan cepat ke Hani.
“Ada apa mbak?” Tanya budhe.
“Becandanya gak lucu, budhe.” Ucapnya kesal.
“Kenapa?”
“Aku kaget tau, masa tiba – tiba ada tulisan “Nana” di kaca. Mana bau kuteks lagi. Itu ulah budhe kan?”
Budhe terlihat kebingungan, kemudian dia melirik ke arah kaca yang di maksud Hani.
“Tulisan apa mbak? Gak ada tuh.” Ucap budhe.
“Ini.” Jawab Hani dengan nada tinggi, sambil berbalik badan dan menunjuk cermin.
Hani terkejut, kaca yang ditunjuknya itu bersih tanpa noda. Padahal jelas – jelas Hani tadi melihat ada tulisan “Nana” di sana.
“Tapi... Tapi tadi ada budhe.” Ucapnya mulai melemah.
Budhe Inem hanya memperhatikan Hani yang mulai kelabakan.
“Mbak Hani istirahat aja ya mbak. Tidur dulu.” Ucap budhe lembut.
“Tidur? orang aku habis bangun dari pingsan.” Sanggah Hani.
“Pingsan?!” Budhe terkejut.
“Saya panggilin dokter keluarga ya mbak.” Lanjutnya.
“Gak usah budhe. Saya mau nonton film aja deh. Hah... Biar gak merasa sepi. Budhe kembali aja. Maaf ya budhe.” Ucap Hani merasa bersalah.
“Beneran ya mbak? Saya tinggal dulu.” Jawab budhe Inem, kemudian berlalu meninggalkan Hani di kamarnya.
Setelah budhe menutup pintu, Hani mengacak – acak rambutnya, dan mencubit lengannya.
“Aw... Sakit.” Rintihnya.
Hani merasa heran dengan kejadian hari ini. Mulai awal sekolah dengan bertemu kasus kematian siswi, pintu yang tertutup sendiri dan tulisan di kaca. Lebih herannya lagi, Hani merasa bahwa dia tidak pernah membeli kuteks. Tapi entah kenapa ada kuteks di kamarnya.
Jika itu milik mamanya, kenapa kuteks itu di kamar Hani? Bukan di kamar mamanya? Tetapi setau Hani, mamanya tidak pernah membeli kuteks. Jika mamanya ingin bersolek, biasanya dia bersolek di salon. Yang ada di kamar mamahnya hanya produk skincare saja. Lantas dari mana asal kuteks ini?
“Entahlah, mungkin aku terlalu tegang hari ini. Karena hariku di awali dengan kejadian yang buruk.” Gumam Hani.
Untuk menyegarkan pikirannya. Hani pun bersiap untuk beredam air hangat. Tapi demi mengusir kesunyian, Hani memainkan lagu K-pop kesukaannya keras. Cukup keras sampai terdengar dari dalam kamar mandi.
Untuk saat ini dia menghindari kesunyian, agar dia tidak merasa bahwa dia sedang tidak sendirian.
...***...
Sementara itu....
Di SMA Dahlia, di ruang guru.
Polisi melakukan introgasi singkat di ruang guru. Polisi memanggil Della, Viola dan pak Tony wali kelas korban. Mereka di panggil berdasarkan rekaman CCTV di sekolah.
Terakhir CCTV menayangkan Della dan Viola bersama korban saat sepulang sekolah. Anehnya, setelah itu CCTV mengalami kendala teknis. Memang, secara kebetulan daerah sekolah ada pemadam listrik tapi hanya selama dua jam lamanya.
Tapi secara tidak terduga, setelah di periksa CCTV rusak akibat pemadaman yang tiba – tiba. Maka CCTV hanya bisa merekam kejadian saat terakhir sore hari.
“Adek Della, terakir ketemu sama korban itu di kelas ya?” Tanya seorang polisi.
“Iya pak.” Jawab Della singkat.
“Hmmm... Kalau begitu terakhir kemarin ngapain saja di kelas?” Tanya polisi lagi.
“Ya, saya ngobrol bercanda bareng. Sama Vio juga.”
“Siapa Vio?”
“Vio, sahabat saya sama Nana. Yang keluar kelas bareng saya.” Jelas Della.
“Baik, cukup sampai di sini dulu. Nanti kalau ada panggilan sebagai saksi tolong kooperatif ya dek.”
“Baik, pak.”
Della keluar dari ruang guru dengan raut wajah yang lemas. Viola yang juga sedang cemas menunggu dirinya di panggil, melihat Della keluar. Dia langsung menghampirinya.
Viola langsung memeluk erat Della dan menangis tersedu. Setelah kehilangan sahabatnya, dia sekarang masih menjalankan introogasi yang melelahkan. Bahkan mereka tidak mendapatkan sedikit waktu untuk berduka.
“Della....” Ucap Viola sambi sesenggukan.
Della hanya menepuk –nepuk punggung Viola.
Viola tersadar, apa hanya dia yang berduka? Kenapa Della terkesan santai saja. Ada apa dengan Della? Memang benar, Della adalah anak yang cuek, dan tidak mudah menangis. Tapi, apakah wajar jika tidak terlihat wajah sedih di mukanya saat sahabatnya yang menemaninya selama empat belas tahun meninggal. Bahkan wajahnya terlihat datar. Setelah menatap mata Viola. Della langsung teregesa – gesa meninggalkannya.
“Aku duluan ya. Semoga kamu baik – baik saja di sana.”
Viola mulai curiga dengan Della yang aneh.
“Tunggu dulu, baik – baik saja? Apa interogasinya sangat menyeramkan?” Gumam Viola.
~ Terima kasih, sudah mampir baca~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Nikodemus Yudho Sulistyo
lanjut.
ANGKARA MURKA
2021-04-18
1
Clara Safitri
jangan2 della pembunuhny🤔
2021-03-03
1
@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ
like..
like..
jejak ya😘
2021-01-23
0