"Tapi dia juga punya hak karena dia calon istrimu! Wanita sempurna yang akan memberimu keturunan!"
Salman maju dan menjamah kedua pundak Mila untuk menenangkannya.
"Ridho ibu adalah segalanya!" tukasnya dan berlalu menuju kamarnya. Salman bingung dan lantas mengejarnya.
Hati Tio panas dan kalut. Tiara hanya mampu diam dan membisu dengan rasa sakit di hatinya. Ia pun mencoba menenangkan Tio. Sementara semua orang yang ada ditempat itu tak berani untuk ikut campur.
Didalam kamar Mila menangis sesenggukan. Ia tak menyangka jika Tio sudah berani bersikap kasar padanya hanya karena membela sang Istri.
"Apa umi salah, abi?" tanyanya.
"Umi hanya menginginkan yang terbaik untuknya."
Salman paham dengan perasaan Mila karena ia juga menginginkan yang terbaik untuk Tio, tetapi cara Mila salah besar, begitulah yang ada dipikirkannya.
Diruang tamu Tio tengah duduk sambil tertunduk menunggu Tiara yang sedang menyiapkan bekal untuknya.Tak berselang lama Tiara muncul dan memberinya tas kecil berwarna coklat.
"Aku pamit pada umi dan abi," ucapnya.
Perlahan ia membuka pintu kamar Mila dan memohon izin untuk kembali ke kantor. Tetapi Mila membuang muka tak ingin melihat wajahnya.
Tio merasa sangat kecewa dan terpukul.
"Kakak, harus tenang" pinta Tiara dimuka pintu. "Nanti amarah umi pasti akan mereda," hiburnya. Ia pun mencium telapak tangan Tio.
"Aku yang sudah membuat kekacauan ini" bisiknya. "Aku minta maaf karena nafsu sesaatku." Ia lantas memeluk Tiara dengan erat seraya mencium kepalanya berkali-kali.
"Baik-baik dirumah, Sayang."
Tiara menatap kepergian Tio dengan tatapan risau. Sekarang sudah jelas jika Mila sudah tak menginginkannya berada disamping suaminya lagi.
Ia melangkah ragu masuk kedalam rumah. Para pembantu dan Lia serta Sabila merasa kasihan melihatnya.
Ia duduk di tepi ranjang dan menatap cincin di jari tengahnya lekat. Benda ini hampir-hampir tak berharga lagi, dan itu takkan lama. Setelah Tio resmi mempersunting Nuri, perlahan tapi pasti ia akan tersingkir dari hati dan kehidupan sang Suami. Terlebih jika wanita itu berhasil memberinya keturunan. Ia akan semakin tak berharga dirumah itu.
Malam menjelang, Tiara tengah berendam di dalam bak mandi guna merilekskan pikirannya. Ia tak mengetahui jika Tio sudah ada didalam kamar.
"Sapu tanganku disimpan dimana oleh Tiara?" tanyanya berbisik.
Ia membongkar lemari pakaiannya namun tak mendapatkannya. Ia lantas mencari didalam laci tempat biasa Tiara menyimpan alat make up nya dengan seksama, tetapi hasilnya nihil. Matanya beralih pada lemari pakaian Tiara yang terbuka, dengan hati-hati ia membongkar lipatan demi lipatan baju itu agar tak amburadul, tetapi juga nihil. Ia pun mencarinya kembali kedalam lipatan baju Tiara yang berada diujung, tiba-tiba tangannya meraih sesuatu yang terasa seperti sebuah buku, ia pun menjamahnya dan mengeluarkannya. "Diary?"
Tio memperhatikannya dengan seksama, "Sejak kapan Tiara memiliki diary?"
Ia duduk duduk di tepi ranjang dan mulai membuka halaman diary itu. Senyumnya mengembang melihat foto jadul Tiara yang masih mengenakan seragam SMA. Ia kemudian membuka lembaran kedua, matanya melotot melihat foto Asrul. Disamping foto itu tertulis, "Yang tercinta, cintaku Asrul." Hatinya mulai panas. Ia kemudian membuka lembaran demi lembaran dan hanya menemukan bait puisi cinta untuk Asrul. Namanya hanya berada disatu lembar diary itu, hingga ia membaca sebuah kalimat pada ujung cerita didiary itu yakni ucapan syukur karena Asrul telah memberinya seorang putri cantik yang sangat ia cintai, Sabila.
"Jadi ini artinya aku di hatimu selama ini?! Tak lebih berharga dibandingkan mantanmu?!"
Hatinya terbakar cemburu. Kenangan masa lalu mereka bangkit terbayang seolah semua itu masih segar. Ia lantas menaruh buku itu kembali dan keluar dari dalam kamar dengan gusar. Tak sengaja ia bertemu mata dengan Sabila. Matanya memerah dengan sorot mata penuh kebencian menatap gadis itu. Sabila tertegun, Tio berlalu dari hadapannya dengan dada yang panas. Ia memasuki mobil dan meluncur menuju kantornya.
Jalanan dikota ini sudah sepi dari hiruk pikuk kendaraan karena waktu sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Setelah sampai seorang satpam yang tengah berjaga menghampirinya.
"Bos!" sapanya saat Tio muncul. "Kenapa balik lagi, Bos?" tanyanya. Tetapi Tio tak menghiraukannya.
Setelah berada didalam ruangannya ia lantas merebahkan diri diatas sofa panjang dan memejamkan matanya. "Apa cintaku selama ini tak berarti, Tiara?!" ringisnya. Matanya menatap langit-langit ruangan itu, "Apa artinya hubungan kita selama ini?! Aku sudah memilihmu dan menempatkanmu di posisi teratas melebihi siapa pun didunia ini! Laki-laki itu lebih kau utamakan dibanding diriku! Dan kau menunjukkannya dengan mencintai putrinya.... Anak pembawa sial!!" Ia bangkit dan membanting bantal bersegi empat yang ia tindih dengan kasar. "Kenapa semua ini terjadi padaku?!"
Dari luar ruangan satpam yang tadi masuk kedalam kantor untuk memastikan keadaannya. Ia mengintip dari balik kaca transparan ruangan Tio dengan perasaan khawatir. Tio teriak sekencang-kencangnya sambil memukul lantai dengan sangat keras. Satpam itu lantas masuk dan menghampirinya lalu memeluknya dengan erat, "Sabar, Pak.... Jangan begini ya Allah gusti....!"
Beberapa saat Tio dalam pelukannya. Pak Hamdan, nama satpam itu masih memeluknya dengan erat. "Istighfar, Pak," bisiknya.
"Tak ada yang benar!" ringis Tio berbisik.
"Sabar, Pak. Mari, kita naik keatas."
Selama 3 jam Tio hanya diam disamping pak Hamdan. Rambutnya acak-acakan dengan wajah yang terlihat menyedihkan. Wajahnya nampak jelas melukiskan keputusasaan. Hingga suara adzan subuh berkumandang keras dari arah mushola tak jauh dari kantornya.
"Sholat dulu, Pak."
"Untuk apa?" tanya Tio seolah tak sadarkan diri.
"Sebesar apapun kekecewaan bapak, jangan sampai mengutuk Tuhan apa lagi mengingkari semua nikmat-Nya."
Tio pun bangkit. Dengan lunglai ia beranjak keluar dari kantornya menuju mushola itu dengan berjalan kaki. Suasana subuh sangat terasa sejuk dan menyegarkan, tetapi semua itu luput dari perasaan dan pandangannya. Ia berjalan bersama beberapa jamaahnya yang juga akan melaksanakan sholat di mushola itu.
Fajar menyingsing, suara kokokan ayah tetangga sebelah berteriak nyaring. Tio tiba dirumah tanpa sepengetahuannya siapa pun dan lantas menuju kamar mandi.
Tiara dan Mila serta seluruh anggota keluarga tengah menikmati sarapan di dapur. Tiara tak memberitahukan orang rumah bahwa suaminya tak pulang semalaman. Sabila sudah memberitahukan kepadanya bahwa Tio sempat pulang tetapi ia pergi lagi. Tiara tahu penyebabnya, karena diary itu. Ia tahu benar posisi letak diary itu dan Tio menaruhnya asal-asalan diantara lipatan bajunya.
Mila menatap kursi kosong putranya. Ia merasa bersalah karena beranggapan Tio tak mau makan bersama karena amarahnya kemarin. Matanya berkaca-kaca dan bulir-bulir kristal hangat itu jatuh membasahi pipi cantiknya. Ia pun segera menyekanya.
Usai mandi Tio memasang kemeja dan jas nya lalu beranjak keluar. Tiara bangkit dari kursi ruang tamu ketika melihat sosoknya mendekat, "Kak," sapanya. Tetapi Tio tak menghiraukannya.
"Aku berangkat dulu," ucapnya sembari mencium tangan kedua orangtuanya dan berlalu.
Tiara mengejarnya tetapi sia-sia. Sabila menghampirinya dan bertanya keheranan, "Sebenarnya ada apa, Bu? Papa kenapa seperti itu pada, Ibu?"
Air mata Tiara tumpah, "Tidak, tak apa-apa, Nak. Hanya sebuah kesalahpahaman saja."
Sabila menyeka wajah Tiara dan memeluknya.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Risma Tsamarah
Next thor 😘
'' Cinta setelah perjodohan" mampir lagi thor
2020-11-20
2