Semua polisi yang berjaga di lampu merah dan para pengendara motor dan mobil segera menghampirinya. Tio memapah kepalanya dan menarunya dipangkuannya.
"Sabila!" panggil Tio berusaha menyadarkannya.
Darah keluar dari lutut dan sikutnya. Wajahnya sedikit tergores dan ada beberapa luka di punggung dan telapak tangannya. Ia antara sadar dan tidak sadar karena syok.
Seorang polisi memeriksa sepedanya dan menemukan kabel rem nya yang terputus dengan rapi.
Tio segera mengangkatnya dengan tertatin-tatih kedalam mobil lalu membawanya kerumah sakit. Ia pun segera menghubungi orang rumah.
Tiara kaget bukan kepalang menerima kabar dari Tio bahwa putrinya itu kini akan dibawa kerumah sakit. Tio tak menjelaskan mengapa karena takut jika Tiara akan semakin panik.
Saat tiba didepan UGD Tio langsung memapahnya dan membawanya masuk. Dua orang polisi yang mengikutinya dari belakang menjelaskan bahwa ada seseorang yang dengan sengaja memutuskan kabel rem sepeda Sabila. Tio tak percaya dengan apa yang didengarnya.
Di rumahnya, sehabis pulang bekerja entah mengapa Sita gemetar dan perasaannya terasa tak enak. Ia memberitahukan pada Mumtaz yang tengah akan beristirahat.
"Coba bapak telepon Tio, Ibu kepikiran dengan Sabila!" pintanya gusar.
Muntaz mengikuti keinginan istrinya dan menelepon Tio.
"Assalamualaikum,'" sapa Mumtaz.
"Wa'alaikum salam," jawab Tio. "Kebetulan bapak menelpon, saya ingin kabarkan bahwa sekarang Sabila ada di rumah sakit karena kecelakaan."
Sontak Mumtaz bangkit dari ranjangnya, "Bagaimana keadaannya sekarang?!" tanyanya gusar. "Di rumah sakit mana?!"
"Rumah sakit X. Aku belum begitu tahu kondisinya karena sekarang ia sedang ditangani dokter."
"Kalau begitu kami akan segera kesana!" tukas Muntaz dan menutup telponnya.
Sementara itu Sabila kini mulai tersadar dan meringis kesakitan. Lutut dan sikutnya diperban. "Jangan terlalu banyak bergerak," pinta dokter itu padanya. "Panggil keluarganya kemari" pintanya pada seorang perawat.
Perawat itu keluar dan membawa masuk Tio dan polisi yang bersamanya.
Sabila merasa canggung saat Tio bertanya bagaimana perasaannya. Ia pun hanya menjawab sudah agak mendingan.
Polisi lantas mengintrogasinya dengan detil. Setelah selesai dokter berkata jika ia tak perlu rawat inap dan bisa dibawa pulang saat itu juga.
Tiara dan beberapa anggota keluarga tiba didepan UGD dan lantas masuk. Tio terperangah ketika melihat mereka. Mata Tiara berkaca-kaca dan membelai kepala Sabila. Ia memeriksa seluruh anggota tubuh Sabila dari atas sampai kebawah hingga tangisannya pecah melihat keadaan putrinya itu yang babak belur.
"Bagaimana ini bisa terjadi?" pekiknya tertahan.
Sabila menyeka air matanya dengan tangan gemetar. Ia berusaha untuk kuat meski kondisinya masih sangat lemah. "Bila nggak apa-apa, Bu."
Tiara makin bersedih mendengar suaranya yang parau.
"Kami akan usut tuntas kasus ini" kata seorang polisi kepada Salman dan Ibram. Tio menoleh memperhatikan mereka. Ia merasa sudah cukup berbuat baik untuk Sabila dan tak ingin berurusan lagi dengan perkara itu.
Sita menghubungi Tiara. Kini ia dan Mumtaz sedang dalam perjalanan. Perasaannya tak bisa ia kendalikan hingga ingin tahu setiap saat keadaannya Sabila.
Tiara segera mengangkat telepon itu sembari menghapus air matanya.
"Bagaimana kini keadaan Sabila?" tanya Sita.
"Ternyata kak Tio sudah menghubunginya,'" batinnya. "Sabila sudah sadar."
"Saya mau berbicara dengannya" pinta Sita.
Tiara menyerahkan ponsel itu kepada Sabila. "Nek."
"Bila! Ya Allah nak! Bagaimana keadaanmu? Kenapa bisa sampai begini?!"
"Bila, tak apa. Sekarang sudah boleh pulang."
"Nenek akan segera datang. Tunggu ya."
Sabila tersenyum, "Ya, Nek," ucapnya.
Salman lantas mengurus administrasi dan membawanya pulang.
Sesampainya dirumah Salwa dan Lia sudah menyiapkan tempat tidurnya setelah Salman memerintahkan mereka melalui ponsel.
16.54 wita:
Sita kini beristirahat disamping Sabila yang tengah tertidur pulas setelah meminum obatnya. Sita merasa letih setelah menempuh perjalanan jauh. Mumtaz dan Salman duduk ngobrol di taman depan rumah sambil bercerita-cerita tentang diri mereka masing-masing dengan sesekali tertawa lepas. Dan Tio, ia menggunakan waktu luang itu tanpa sepengetahuan Tiara dan orang rumah untuk menemui Nuri.
Syekh Hasyim merasa jika Tio menyukai Nuri, dan ia sama sekali tak keberatan dengan itu. Ia melihat itikad baik Tio berusaha dekat dengannya. Dan sejak dua minggu yang lalu ia sudah menunggu-nunggu keputusan pria yang lebih tua 5 tahun dari putrinya itu.
"Nuri akan bekerja dimana setelah ini?" tanya Tio kepada Nuri yang tertunduk malu disamping Abinya.
"Belum tau. Aku masih berpikir untuk mengembangkan bisnis online ku."
Tio merasa kagum dengan kepandaiannya. "Kalau menikah?"
Nuri lantas menatapnya lekat. Mata tajam Tio membuat jantungnya terasa berdegup keras. Ia pun memalingkan pandangannya gusar.
"Nuri belum punya calon," sela syekh Hasyim.
Tio tersenyum senang dan semangat hidupnya kembali berapi-api setelah sekian lama padam.
"Saya serius dengan Nuri, Abi" ucapnya.
Syekh Hasyim manggut-manggut. "Lalu bagaimana dengan istrimu? Apakah ia akan ridho jika kau menikah lagi?"
"Insyaallah," tukas Tio. "Saya akan berbicara dengannya dan seluruh keluarga."
"Alhamdulillah," hela syekh Hasyim.
Syekh Hasyim dan semua tetangga dilingkungan rumah mereka tahu seperti apa keadaan rumah tangga Tio dan Tiara. Dan syekh Hasyim memiliki niat yang baik jika Tio menginginkan Nuri untuk memberinya keturunan. Usia Tio memang tak muda lagi. Tetapi jika disandingkan dengan Nuri mereka akan menjadi pasangan yang sangat serasi.
Dilain tempat:
Tiara membasuh perlahan wajah dan tangan Sabila dengan handuk basah. Batinnya masih terasa terpukul dengan kejadian naas yang menimpa putri semata wayangnya itu. Ia mengangkat tubuh Sabila perlahan dan mendudukkannya. Ia kemudian menyapihnya dengan hati-hati.
"Tak suka tempe, Bu," bisik Sabila mengernyit.
"Tempe sehat, Nak. Supaya Bila lekas sembuh."
Sabila ingin menolak tetapi ia tak tega dengan Tiara. Ia memaksakan diri mengunyah tempe itu dan menelannya dengan ragu.
Tiara mengelap mulutnya dengan sapu tangan miliknya setelah makanan itu tak tersisa. Sita begitu terpana dengan kasih sayang Tiara kepada Sabila. Ia tak pernah menyangka jika Tiara sesayang itu pada cucunya.
Malam menjelang.
Mumtaz tidur di kasur cadangan tak jauh dari tempat tidur Sabila. Sementara Sita dan Sabila tidur bersama karena merasa begitu kelelahan.
Waktu malam ini terbilang masih cukup pagi. Seluruh keluarga Salman berkumpul di ruang tamu. Tio menatap Tiara lekat untuk mencari momen yang tepat untuk menyampaikan niatnya menikahi Nuri.
"Bagaimana jika aku menikah lagi!" cetusnya.
Semua keluarga menatapnya. Salman tersenyum sementara Tiara tertegun. "Dengan siapa?" canda Salman. "Istrimu masih sehat begini!" ia tertawa seorang diri.
"Tapi Tiara tak bisa memberinya keturunan," sela Mila enteng.
Tiara tak percaya dengan apa yang didengarnya, terutama dari Mila. Dadanya mulai terasa sesak.
Tio merasa mendapat dukungan dari sang ibu. Ia lantas mengutarakan keinginannya dengan gamblang.
"Nuri, aku ingin menikahinya."
Tiara memalingkan muka dan tertunduk, "Sejak kapan Kakak menyukainya?" tanyanya berusaha tegar dan lantas menatap Tio.
Tatap itu membuat Tio kian tak merasa bersalah. Ia merasa ekspresi dan pertanyaan Tiara adalah hal lumrah. Lagipula apa lagi yang bisa ia harapkan dan istri mandul seperti Tiara?
"Sudah cukup lama," jawabnya.
Mata Tiara menjadi perih. Perlahan air matanya tumpah. Suasana menjadi tegang. Salman dan Ibram berada di pihak Tiara sementara Mila berada di pihak Tio.
"Kenapa seperti ini?" tanya Tiara menatap tajam Tio.
"Lalu harus bagaimana? Aku butuh seorang keturunan untuk menjadi pewarisku!"
"Tapi bukan begini caranya!" hardik Tiara, dan ini untuk pertama kalinya dalam hidupnya ia berteriak kepada Tio.
"Lalu bagaimana caranya? Apa aku harus memberikan seluruh kekayaanku kepada anak angkatmu?! Dan kamu juga tak pernah menanyakan perasaanku ketika kamu mengangkatnya! Selama ini aku selalu menuruti keinginanmu dan sekarang aku meminta hakku padamu dan kamu malah menghardikku seperti ini?!"
"Aku istri yang selalu mendampingimu! Apa semua itu belum cukup?!"
Tio menggelengkan kepalanya, "Belum!" tukasnya. "Andai anak pembawa sial itu tak kamu angkat.... Kehidupanku tak akan kacau seperti ini!"
Mata Tiara membelalak tak percaya dengan ucapan suaminya.
"Aku masih mencintaimu itu sebabnya aku masih mempertahankanmu!"
Tiara bangkit, "Itu hanya nafsumu!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Lilik Juhariah
mantaaab lokasi di Lotim , aq di Praya loteng
2021-03-21
1
Tiurma Sibarani
boomlike sudah didaratkan
semangat thor
2020-12-05
1
Yuli Chaca
sebel ma Tio 😡
2020-12-05
1