Setelah usai berbicara dengan seseorang di ponselnya Tio kembali keatas ranjangnya. Tiara pura-pura tidur membelakanginya. Senyum simpul menghiasi wajah Tio. Ia pun tidur dengan membelakangi Tiara.
04.30 wita:
Subuh tiba. Tio dan Ibram serta Salman tengah bersiap menuju mushola komplek. Tiara menatap Tio yang sedang merapikan dirinya didepan cermin. Tiara heran melihat penampilannya yang kian rapi dari hari ke hari, terutama ketika hendak ke mushola. Parfum yang ia pakai juga memiliki wangi yang berbeda. Tiara pun mencoba memberanikan diri untuk bertanya dengan hati-hati.
"Kakak, semakin rapi," ucapnya dengan memaksakan tersenyum. "Parfum Kakak juga wanginya beda?"
Tio bersikap santai dan berbalik, "Apa semua yang aku pakai harus selalu sama?" tanyanya sinis. "Pergi dulu," ucapnya seraya menjulurkan telapak tangan kanannya. Tiara mencium telapak tangannya dan ia pun berlalu.
Tiara seolah sudah tak punya hak lagi terhadap dirinya. Laki-laki yang kini berusia 41 tahun itu lebih memilih mengabaikan kehadiran istri yang pernah sangat dicintainya itu ketimbang harus menampakkan kemarahannya karena tak bisa memberinya seorang keturunan sebagai penerusnya.
Tio merasa seolah tak punya masa depan lagi bersama Tiara. Ya, memang masih tersisa cinta di hatinya tetapi kini dipenuhi juga oleh sosok Nuri, gadis muda putri dari syekh Hasyim anak tetangganya yang juga sahabat baik abinya yang baru pulang setelah menempuh pendidikan S2 di Kairo.
Dada Tiara terasa sesak ketika bersujud. Tanpa ia katakan pun Tuhan tahu seluruh isi hatinya. Ingin sekali rasanya ia meraung menangis menumpahkan segala kesedihan yang selama ini ia rasakan, tetapi dimana? Dan apakah itu bisa meredakan amarah dan sakit hatinya pada sang Suami? Tidak, itu takkan berguna. Ia berada dibawah naungan suaminya yang tak mempedulikannya lagi. Ia menyembunyikan kesedihannya dari dunia. Namun Sabila, putri yang sangat ia sayangi sadar dan tahu bahwa ibunya itu menangis disetiap senyumnya yang selalu terkulum diwajah teduhnya.
Untuk kesekian kalinya Sabila mendapati Tiara mengusap secara diam-diam air matanya menggunakan ujung mukenanya. Ia tak mampu untuk berbuat apapun, karena ia sadar dirinya adalah orang luar berkat perilaku tak menyenangkan dari Tio dan Mila.
Usai sholat berjamaah di mushola rumah bersama seluruh anggota keluarga yang terdiri dari Mila, Tiara, Salwa, Lia, dan para pembantu wanita Sabila menyempatkan diri untuk menyiapkan sarapan pagi membantu Tiara dan Mila. Tak lama kemudian Tio, Ibram, dan Salman tiba di rumah. Senyum hangat Mila menyambut mereka dimuka pintu dan mempersilahkannya menuju meja makan yang berada di dapur.
Sekilas Sabila menatap Tio. Tak ia sangka Tio tanpa sengaja menatap matanya. Sabila lantas menunduk dan melahap nasi goreng yang ada disendoknya dengan perasaan cemas. Ini untuk kali pertamanya ia menatap mata Tio.
Sabila bergegas menuju sekolahnya dan Tiara sudah menyiapkan bekal untuknya agar ia tak jajan sembarangan. Sabila mencium telapak tangan Tiara dan mencium keningnya dengan lembut, "Bila pergi dulu, Bu," ucapnya.
Cuaca pagi ini lumayan terik karena waktu menunjukkan sudah pukul 7 pagi. Sabila mengusap peluh di keningnya ketika stop di lampu merah perempatan Erlangga. Tio menatapnya didalam mobil tak jauh darinya. Matanya tajam menatap gadis cantik berhijab putih itu. Ia baru tersadar jika si Kecil Sabila sudah menjadi seorang gadis dewasa. Ia memperhatikannya dari atas sampai bawah, senyumnya tersungging tipis. Tetapi tetap saja baginya ia hanya bocah kecil yang telah membawa nasib sial dalam hidupnya.
Setelah lampu hijau menyala Sabila melesat dengan sangat cepat berbelok ke kanan menuju sekolahnya. Tio tak mengira Sabila bisa melajukan sepedanya secepat itu.
Tio pun melajukan mobilnya menyusuri jalanan yang menjurus ke arah Seruni. Setelah tiba di kantor pusat miliknya ia turun dari mobil dan menyerahkan kunci mobilnya pada seorang satpam. Ia lalu naik ke lantai tiga menggunakan lift menuju ruangannya. Seorang sekertaris wanita bernama Aurora bangkit seraya sedikit membungkuk menyapanya dan ikut masuk kedalam ruangan Tio.
"Bagaimana dengan pegawai baru untuk cabang di Jakarta?" tanya Tio sambil mengecek dokumen yang telah disiapkan Aurora diatas mejanya sebelum ia tiba.
Aurora tersenyum, "Alhamdulillah semuanya lancar. Kita sudah memiliki pegawai sesuai kriteria dari segi kualitas dan kuantitas. Dan laporan keuangan bulan ini ada dibawah dokumen itu."
Tio lantas melihat berkas keuangan perusahaannya. Senyumnya mengembang. Ia merasa puas dengan hasil yang dicapai seluruh cabang restoran masakan siap saji miliknya yang kini telah tersebar diseluruh NTB. Ia juga sedang menyiapkan rencana untuk membuka cabang baru di Bandung dan Jogja.
"Kamu boleh pergi," ucap Tio.
Aurora pun bangkit dan keluar dari ruangannya.
Tio merasa belum puas dengan semua pencapaiannya. Ia menjadi orang yang gila kerja setelah pengangkatan rahim Tiara. Ia seolah melarikan diri dari kenyataan pahit yang membuat dirinya terpuruk, dan jalan satu-satunya adalah mencurahkan seluruh pikiran untuk bisnisnya.
SMA N 12:
Bel istirahat berbunyi. Sabila dan Hanifah memutuskan untuk membaca buku di taman belakang sekolah. Mereka membawa beberapa buku latihan soal untuk dipelajari.
Suasana taman belakang sekolah sepi dan hening karena tempat itu memang jarang dikunjungi. Anak-anak lebih suka menghabiskan jam istirahat di kantin atau lapangan basket. Hanifah mulai mengisi jawaban sejarah di buku lks dengan sangat fokus. Sedangkan Sabila menghapalkan rumus kimia yang ia catat tadi dan mencoba memahaminya dengan sangat detil.
Semilir angin berhembus sangat halus menerpa wajah Sabila dan Hanifah. Juga suara kendaraan yang hilir mudik didepan mereka membuat pikiran mereka menjadi tenang. Sabila mengambil selembar daun kering yang jatuh dibelakangnya, ia pun tersenyum, "Tak ada selembar daun kering pun yang jatuh kecuali dengan seizin Allah."
Hanifah menatapnya, "Ada apa?"
Sabila menoleh, "Tak ada. Aku hanya mengingat sesuatu," jawabnya menutupi kegalauannya yang tertutupi oleh rasa syukurnya kepada Tuhan.
"Coba aku punya pacar, pasti malam minggu bakal di apelin dan gak baca buku terus. Dunia memang kejam," celetuknya Hanifah.
Sabila tertawa renyah, "Kamu pikir segitu senangnya punya pacar?" selanya. "Biasa saja, Nif."
"Soni pernah datang ke rumahmu?"
Sabila geleng-geleng, "Aku tak ingin dia datang. Lagipula ngapain? Aku juga malu kalau sampai ketahuan."
Hanifah melotot tak percaya seraya memiringkan posisi duduknya menghadap Sabila, "Aku pikir orangtuamu tahu?!"
"Kalau ibuku tahu semuanya. Tetapi tetap saja aku merasa malu."
Hanifah menatapnya lekat, "Kenapa hanya ibumu yang sering kamu sebut? Ayahmu?" tanyanya penasaran.
Sabila tersentak, ia bingung harus bagaimana menjelaskannya. Lagipula ia tak ingin rahasia kehidupannya diketahui oleh orang luar.
"Aku lebih dekat dengan ibuku," jawabnya jujur.
Hanifah mencoba untuk mengerti. Tetapi ia masih penasaran dengan kehidupan sahabat karibnya itu.
"Belajar lagi" ucap Sabila.
Hanifah pun kembali membaca bukunya.
Mona dan kedua temannya berkeliling mencari dimana Sabila saat ini. Ia menyimpan dendam kesumat dan ingin membalas perbuatan Sabila. Tasya pun membisikkan sesuatu di telinganya. Mereka akhirnya menuju parkiran sepeda dan memutuskan kabel rem sepeda Sabila. Mona tersenyum puas dan segera berlalu dari tempat itu. Ketiganya tak menyadari ada kamera pengawas yang disisipkan diujung pojok genteng.
13.00 wita:
Sabila melambaikan tangannya kepada beberapa orang sahabatnya saat berpisah didepan gerbang sekolah. Dan seperti biasa, ia melajukan sepedanya dengan sangat cepat. Tio melihat Sabila beberapa meter di depannya. Dan saat hampir tiba didepan lampu merah Sabila menarik rem sepedanya. Ia terkejut karena rem sepedanya blong. Ia teriak bertakbir dan terpelanting jatuh saat sepedanya membentur mobil yang ada tepat di depannya. Tio kaget dan lantas keluar dari dalam mobilnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Neng Yuni (Ig @nona_ale04)
Bom like mendarat kak, salam dari May I Love For Twice, semangat 😊
2021-01-21
1
Little Peony
Semangat selalu thor 💕💕
2021-01-12
1