Pertunangan antara Asrul dan Kania pun berlangsung dengan khidmat. Satu minggu kemudian mereka menikah.
Asrul tersenyum mengingat semua itu. Sudah tak ada kepedihan dan rasa dendam di hatinya. Ia lebih mempercepat laju mobilnya. Rasa rindu yang tak tertahankan membuatnya tak sadar akan kecepatan mobilnya. Sekali lagi ia menguap. Kania menoleh menatapnya, ia tahu bagaimana perasaan suaminya saat ini.
Mereka tiba disebuah tikungan dengan turunan yang curam. Pandangan Asrul tiba-tiba buram, mobilnya hilang kendali ketika di tikungan dan menabrak tebing disisi kanan. Asrul dan Kania meninggal ditempat sementara Sabila yang baru berusia tiga tahun pingsan dengan pelipis membentur kaca mobil disamping kanannya.
Mumtaz dan Sita saat ini berada dirumah sakit Selong menjenguk Tiara yang baru saja mengalami keguguran. Tio memandangi mereka sinis dan merasa terganggu dengan kehadiran mereka. Air mata Tiara hampir mengering karena sejak pagi ia menangisi janinnya. Sita membelai kepalanya dengan lembut, "Sabar," ucapnya menenangkan hati wanita yang hampir menjadi keponakannya itu. Tiara hanya terdiam, tenaganya sudah tak ada lagi akibat pendarahan hebat.
Jenasah Asrul dan Kania dibawa ke ruang jenasah sedangkan Sabila berada di UGD. Polisi mengecek identitas Asrul lewat KTP dan ponselnya. Hanya nama Mumtaz yang ditemukan kepolisian berstatus keluarga Asrul. Mereka kemudian menghubungi ponselnya.
Mumtaz merogoh kantong celananya, ia bingung dengan nomor asing di layar ponsel itu. Dengan ragu ia pun mengangkatnya, "Halo?" sapanya.
"Benar ini dengan bapak Mumtaz?"
"Iya, benar."
"Ada berita duka dari keluarga Bapak yang bernama pak Asrul. Beliau mengalami kecelakaan tunggal bersama istri dan anaknya. Sekarang pak Asrul dan ibu Kania berada dikamar jenasah rumah sakit Selong."
Mumtaz serasa disambar petir.... Tubuhnya langsung oleng dan ia terjatuh. Sita berteriak histeris, "Bapak kenapa?!" pekiknya.
Tio terperanjat dan bangkit.Tiara bersusah payah bangun untuk melihat Mumtaz. Tiba-tiba saja Mumtaz menangis meraung, "Asrul!!"
Sita melotot dan dan memeluknya erat dengan mata yang berkaca-kaca. "Ada apa Pak?! Apa yang terjadi?!" tanyanya berusaha menenangkan Mumtaz.
"Asrul meninggal!" jawab Mumtaz lemas.
Mumtaz seolah seperti orang yang hilang akal, ia bangkit dengan gusar, "mereka ada di kamar jenasah!" ucapnya kebingungan.
Mumtaz dan Sita serta Tiara dan Tio bergegas ke kamar jenasah. Tiara bersusah menguatkan dirinya diatas kursi roda untuk melihat keadaan Asrul dan Kania. Bertapa terkejutnya mereka ketika melintas jenasah Asrul dan Kania terbujur kaku. Dengan wajah sembab Sita pun mencari keberadaan Sabila kebingungan, "Mana Sabila?"
Polisi yang menghubunginya tadi mendekatinya dan memberitahukan bahwa Sabila berada di UGD.
"Aku akan melihat keadaan Sabila!"
"Aku ikut!" sergah Tiara.
Mereka lantas bergegas menuju UGD.
Sita langsung memeluk tubuh kecil Sabila yang masih belum sadarkan diri. Ia membelai pipi Sabila lembut dengan linangan air mata.
Tiara terenyuh menatap Sabila. Naluri keibuannya bangkit, ia pun berusaha berdiri dan menyentuh pergelangan kaki Sabila.
Perlahan mata Sabila terbuka, "Ma...." bisiknya.
Sita berusaha tersenyum, "Ini Nenek, Sayang," bisiknya.
Tiba-tiba Sabila menangis. Anak itu merasa trauma ketika mengingat kejadian yang menimpanya beberapa saat yang lalu. "Mama! Papa!" teriaknya.
Tiara berjalan tertatih ke sebelah kiri tempat tidurnya dan menyentuh kepalanya, "Sayang, ini Ibu," ucapnya lembut seraya tersenyum.
Sabila mengamati wajahnya dengan tangisan yang mulai mereda. "Ibu siapa?" tanyanya polos.
"Ibunya, Sabila." Kelembutan dari seorang ibu yang bertahun-tahun mendambakan seorang anak membuat Sabila merasa tentram di dekatnya.
Mumtaz menghubungi seluruh keluarganya dan keluarga Kania.
Jenasah keduanya disemayamkan dirumah orangtua Kania, tapi sayang Munah sudah tak ada lagi, ia meninggal satu tahun yang lalu akibat darah tinggi. Yang ada kini hanya ayah Kania yang terkulai lemah diatas kursi roda dalam keadaan struk. Beliau menangis pilu menatap putrinya dan anak menantunya. Sabila hanya terdiam menatap kedua orangtuanya di pangkuan Tiara, ia sudah paham bahwa kedua orangtua sedang beristirahat dan sebentar lagi akan pulang ke pangkuan Allah swt.
Mumtaz menatap sekelilingnya, ia benar-benar merasa kecewa terhadap seluruh keluarganya yang sama-sekali enggan untuk hadir, terutama kedua orangtua Asrul, luka yang di goreskan Asrul ternyata lebih dalam dari dugaannya.
Keranda jenasah diangkat dan lantunan kalimat tauhid dilantunkan mengiringi jenasah Asrul dan Kania ke liang lahat. Tiara mendekap erat tubuh Sabila di dalam mobil. Cuaca panas tak memungkinkan Sabila untuk berjalan menuju kuburan yang letaknya lumayan jauh. Terlebih ia tak ingin berpisah dengan Tiara yang masih dalam tahap pemulihan.
Sabila melambaikan tangannya tatkala Asrul dan Kania ditimbun tanah. Ia tersenyum seolah melepas kepergian kedua orangtuanya ketempat terindah.
Ketika hendak berpisah dengan Tiara diluar pemakaman Sabila memekik tak ingin lepas saat Sita akan mengambilnya dari pelukan Tiara. Sita merasa kebingungan, ia berkali-kali mencoba tetapi tetap saja Sabila tak menginginkannya. Tio hanya diam dengan wajah masam. Ia tak suka pada anak itu hanya karena ia adalah anak dari pria yang dahulu hampir menjadi suami dari istrinya. Kalau bukan karena penolakan Asrul, Tiara takkan pernah menjadi miliknya.
Sita menyerah, Sabila tersenyum dengan kemenangan kecilnya. Sopiah kakak tertua Kania pun mendekat kepada mereka,
"Kalau bisa bagaimana jika Tio dan Tiara menginap malam ini dirumah Amak (bapak)."
Tiara tersenyum dan menatap Tio meminta persetujuannya. Tio merasa tak enak hati dan hanya mengangguk sekali dengan wajah datar.
Tepatnya ba'da isya seluruh keluarga besar Kania berkumpul di ruang tamu rumah mungil itu. Sabila berputar-putar mengelilingi meja bermain dengan miniatur mobil yang diberikan almarhum ayahnya. Semuanya memikirkan nasib bocah malang itu.
"Siapa yang akan merawat Sabila?" tanya Sopiah.
"Tiang (aku) ingin sekali merawatnya, tetapi ndak mungkin karena tiang dan Bapak bekerja,'" timpal Sita.
"Andai Amak sehat, biar Amak yang merawat Sabila," ucap Markum (ayah Kania) terbata tak kuasa menahan air matanya.
Seluruh anaknya mendekat dan memeluknya.
Tiara kini sadar dengan kondisi keluarga itu yang serba salah. Ia pun berinisiatif untuk mengangkat Sabila menjadi anaknya, "Saya yang akan merawat Sabila."
Tio terkejut. Seluruh anggota keluarga juga merasa terkejut.
"Ngomong apa kamu!" pekik Tio tertahan sembari menyentuh pundaknya.
Tiara menatapnya penuh harap, "Aku mohon.... Kita juga belum dikaruniai anak, siapa tahu dengan kehadiran Sabila suatu hari nanti kita akan memiliki seorang anak. Aku sangat menyayangi anak ini. Aku tak mau berpisah dengannya walau sedetik pun," tukasnya lirih.
Tio selalu tak tega melihat sorot mata Tiara yang memelas. Ia sangat ragu. Melihat itu Sita tak enak hati dengan sikap keberatan Tio yang nampak jelas, ia pun dengan terpaksa hendak mengatakan akan mengurus Sabila, "A..." belum sempat ia melanjutkan ucapnya Tio mengangguk,
"Aku setuju," ucapnya sangat ragu. Mata Tiara berbinar dengan senyum yang begitu merekah. Ia tak pernah merasa sebahagia ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
~lk~
ternyate dengan Lombok author astagee😂😂
2021-05-17
1
Uun Setyaning Airiel
i like...
2021-04-27
1
ARSY ALFAZZA
like like 👍🏻
2021-03-04
1