Beberapa saat kemudian
Mumtaz keluar dari bank dengan membawa beberapa surat dan buku tabungan milik Sabila yang ia taruh didalam tas selempangnya dan masuk kembali kedalam mobil. Ia terdiam sejenak, ia berpikir untuk menemui Sabila tanpa kehadiran Sita, padahal Sita sudah berpesan padanya agar mengajaknya turut serta ketiga menemui Sabila. Akan tetapi rasa rindu nya pada cucu kecilnya itu tak dapat ia tahan lagi. Apalagi ia harus balik terlebih dahulu pulang ke Lombok Timur yang jaraknya sangat jauh dari kota Mataram.
Mumtaz lantas meluncur ke kediaman keluarga Salman.
..........................
Didalam kamar Salwa, Tiara mendandani Sabila diatas tempat tidurnya. Sebentar lagi Tio akan segera tiba untuk menjemput mereka. Sabila merasa sangat senang sebab janji Tiara yang dulu untuk mengajaknya jalan-jalan ke mall kini akan segera terlaksana. Ia begitu manis dengan bandana cantik yang terpasang diatas kepalanya. Ia terus saja menatap wajah Tiara dengan senyum tersinggung di bibir kecilnya yang nampak merah alami.
"Nah, sekarang anak Ibu sudah beres dandannya. Kita tunggu Papa didepan yuk!" ajaknya dan menurunkan Sabila dari atas tempat tidur. Sabila menggenggam tangannya dengan sangat erat. Ia pun meraih tubuh Sabila dan mendekapnya dalam gendongannya. "Jika memang aku tak ditakdirkan untuk memilih seorang anak.... Aku harap Sabila akan selamanya bersamaku,'" batinnya menatap Sabila lekat.
Tak berselang lama Mumtaz tiba disusul Tio yang berada dibelakang mobilnya masuk kedalam halaman rumah keluarga Salman. Kedua mobil itu parkir didepan pintu masuk. Mumtaz lantas turun disusul Tio. Senyum kelegaan tampak jelas diraut wajah Mumtaz. Ia lantas menghampiri Tio dan mengulurkan tangan, "Tio, apa kabar?!"
Tio tersenyum ragu, "Selamat datang. Mari masuk."
Tiara terkejut melihat sosok Muntaz dan segera menghampirinya, Mumtaz tersenyum senang melihat sosok Sabila.
"Cucu, Kakek!" serunya dan mengambil Sabila dari gendong'an Tiara.
Mereka bercengkrama hingga dua jam lamanya. Muntaz memberikan bekal beberapa juta untuk Sabila kepada Tiara. Setelah merasa cukup dengan semua keperluannya akhirnya Mumtaz pun memohon pamit. Ia berpesan kepada Tio dan Tiara untuk menghubunginya jika ada perlu yang bersangkutan mengenai Sabila. Tiara menyambutnya dengan baik, namun Tio merasa itu adalah sebuah beban.
"Jadi kan Bu, ke mall nya?" rengek Sabila yang kini dalam gendongan Tiara.
Tio mengernyit kesal, "Kenapa aku dalam masalah yang seharusnya tak ku tanggung?" desahnya kesal menatap Sabila. "Aku balik ke resto," ucapnya tanpa memperdulikan Tiara dan lantas menuju mobilnya.
Tiara menatap kepergiannya tanpa bisa berbuat apa-apa. Ia memeluk Sabila erat, "Ke mall nya besok aja ya."
Sabila menunduk kecewa. Tiara sungguh tak tega padanya. Ia mengusap wajah Sabila yang hampir menangis. Sabila lantas memeluknya erat. Perlahan isak tangisnya terdengar.
20.00 wita
Tio naik keatas ranjang dan langsung menyelimuti tubuhnya sampai kedada. Ia memejamkan mata berusaha untuk tertidur. Tiara mulai merasa Tio kini telah berubah padanya. Sejak pulang tadi suaminya itu hanya mengajaknya berbicara dua kali. Ia pun pasrah dan berusaha juga untuk tertidur.
Sabila diam-diam keluar dari kamar menuju dapur. Ia membuka kulkas dan mengambil sepotong kue yang dibuat Tiara untuknya. Ia duduk diatas lantai disamping kulkas dan menghabiskan kue itu sambil terkantuk. Setelah selesai ia kembali kedalam kamar dan menatap jam dinding. Karena merasa ini sudah waktunya sholat malam ia pun segera mengambil air wudlu.
14 tahun kemudian:
Sabila mencium telapak tangan Tiara dan memohon izin untuk berangkat ke sekolah. Ia bergegas menuju sepedanya dan meluncur dengan kecepatan tinggi. Hari ini gilirannya untuk menjadi pengeret bendera.
10 menit kemudian ia tiba di sekolah. Setelah sampai ia berlari menerobos kerumunan teman-temannya yang menghalangi jalannya menuju ke kelas.
"Guys!" teriaknya kepada sekumpulan gadis-gadis berhijab yang tengah asyik mengobrol dibangku kelasnya paling dengan.
Lira dan Fina menyambutnya heboh. "Nona sempurna!" pekik Fina dan lantas memeluknya erat. Semua teman-temannya tersenyum, "pangeranmu belum tiba! Sebentar lagi kali!"
Sabila melotot menahan rasa malunya sembari mencubit pergelangan tangan Fina.
"Sini, tas mu," pinta Hanifah yang yang duduk di bangkunya.
Tiba-tiba bel tanda upacara bendera akan segera dimulai berbunyi. Seluruh guru dan siswa SMA N 12 berhamburan keluar ruangan dan berkumpul dilapangan upacara.
Setengah jam berlalu. Setelah serangkaian proses upacara dilalui oleh anak-anak dan guru dibawah terik sinar matahari yang menyengat, tiba saatnya pengibaran bendera merah putih. Sabila berada di posisi tengah diapit Mona dan Sinta, rivalnya dalam merebut hati Soni, ketua kelas mereka. Mata Soni tak lepas menatap Sabila. Sekilas Mona menatapnya, gadis berambut pendek sebahu itu tahu jika ia sedang memandangi Sabila. Wajahnya yang muram nampak jelas dimata seluruh siswa yang menatapnya. Ini akan menjadi hot gosip di sekolah itu.
Setelah upacara berakhir Sabila tak lantas kembali ke kelasnya. Ia menuju ruangan guru untuk mengambil soal ujian untuk ulangan harian bersama Mona. Saat perjalanan kembali ke kelas Mona menghadangnya tiba-tiba. Sabila menatapnya tajam, "Ada apa?" bentaknya.
"Kamu belagu sekali! Kamu pikir sesempurna apa dirimu?!" hardiknya bengis. Saat ini suasana koridor sepi. Ia mendorong bahu Sabila hingga gadis itu surut kebelakang.
Sabila masih bersabar, ia hanya terdiam menatap Mona tajam. Karena melihat reaksi dan tatapan Sabila, Mona semakin geram. Ia menarik kerah bahu baju Sabila dan menjinjingnya, "Kamu jangan coba-coba menantangku!" bisiknya tajam dan menusuk urat syaraf Sabila.
Sabila tersenyum sinis, "Coba lakukan jika kamu mampu!" tukasnya. Ia menginjak telapak kaki Mona dengan keras.
"Auh!!" pekiknya membungkuk sambil berjingkrak kesakitan.
Sabila nampak puas dan berlalu meninggalkannya. Sejujurnya ia tak ingin melakukan itu, tapi apa boleh buat. Mona adalah gadis yang sangat emosional dan mampu berbuat apapun, bisa-bisa ia merobek baju seragamnya jika ia tak cepat mengambil tindakan.
Sabila mengetuk pintu kelasnya dan masuk dengan santun. Ia berjalan menuju meja guru dan menaruh soal ujian itu.
"Mana, Mona?" tanyanya pak Farhan.
"Dia masih di belakang, Pak,''' jawab Sabila ragu.
Mona muncul dengan langkah terpincang-pincang. Sabila berbalik ke belakang menatapnya dengan wajah datar.
"Kenapa dengan kakimu?" tanya pak Farhan heran.
"Sabila menginjak kaki saya," jawabnya merengut.
Pak Farhan bangkit, "Kalian bertengkar?!" hardiknya.
Sontak seisi kelas heboh. Sabila tak terima dan lantas membela diri, "Kamu kan yang cari masalah?!"
"Memangnya apa yang sudah ku lakukan padamu!" hardik Mona.
"Kamu yang mendorong dan menarik kerah bajuku!"
"Sudah!" bentak pak Farhan. "Ini sekolah. Kalian anak gadis tak sepatutnya berkelahi seperti ini! Sekarang duduk!" perintahnya.
Senyum tengil anak-anak laki-laki mengembang. Soni hanya diam dan geleng-geleng kepala melihat kelakuan kedua gadis yang menyukainya itu. Ia tahu mereka bertengkar pasti gara-gara dirinya. Sedikit rasa bangga muncul dibenaknya.
13.00 wita
Sabila tiba didepan pintu rumah. Ia menoleh kebelakang masih di atas sepedanya, "Papa," bisiknya.
Tio keluar dari dalam mobil dan membuka kacamata hitamnya.
Sabila turun dari sepedanya dan segera menghampirinya, "Papa baru pulang?" tanyanya tersenyum.
Tio membuang muka dan meninggalkannya. Hati Sabila kian nyeri dengan sikapnya.
Malam harinya entah Tio berbicara dengan siapa lewat ponselnya disamping pintu kamar mandi. Tiara terbangun saat mendengar suara tawanya. Baru pertama kalinya suaminya itu tertawa lepas setelah kandungannya keguguran 10 tahun yang lalu karena menyelamatkan Sabila yang hampir tertabrak sepeda motor saat anak itu hendak mengambil bolanya yang berguling ke tengah jalan ketika mereka bermain di taman Sangkareang, hingga rahimnya harus diangkat. Sejak saat itu Tio tak pernah lagi tertawa lepas seperti itu bersamanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Tiurma Sibarani
Lanjut thor
2020-12-05
1