Bayang-bayang Nur semakin nyata mengusik angannya. hingga tak terasa mata terkatup membawanya ke alam mimpi.Tak sangka baru tersadar waktu menjalang fajar.
Dia hanya mampu bergumam sendiri dalam sepi. Ah ... ternyata semuanya masih berupa mimpi. Belum sepenuhnya aku mengikatnya dan menjadi milikku secara sempurna.
Berlahan Andre beranjak dari ranjang, mengusap wajahnya dengan sentuhan tangan yang berisikan doa. Lalu membasuh dengan sempurna, dengan dinginnya air yang bercampur embun pagi yang telah merata turun bersama pekatnya malam.
Adakah rasa kan tepat bila aku ungkap pada saat ini, kepada pemilik cinta dari segala cinta.
Lenaku berpasrah pada inginNya yang berupa qudrat irodah yang senantiasa mengiringi kaki melangkah. Dalam indah nikmat yang terhampar sempurna tanpa cela.
Bila saat itu kan nyata mengantar dirimu dalam pelukku yang berharap sempurna akan cinta yang mengantarkan kita pada ridhoNya. Aku akan bersabar.
Dan kini tinggal selangkah, cinta ini menjadi nyata. Aku bermohon padaNya agar terhindar dari angan yang tiada hanif untuk memilikimu. Ku harap dirimu juga demikian.
Tak beda dengan Nur saat ini.
Di dalam sepertiga malam, kembali dia bermunajat. Membisikkan kerinduan akan cinta, dalam alunan tasbih yang coba dia ucapkan dalam doa.
Agar pilihannya saat ini membimbing dalam kebenaran yang nyata. Dan memohonkan jalan kemudahan dalam mewujudkannya.
Dia baru beranjak manakala sayup-sayup terdengar suara adzan awwal sebelum subuh dan juga alunan ayat-ayat suci al Qur'an. Yang dikumandangkan dari masjid dekat tempat tinggalnya.
Sebentar dia keluar kamar menuju dapur yang sudah tampak terang. Ada bu Farhan di sana. Sedang masak air, yang akan dia gunakan untuk mandi.
"Kamu sudah bangun, Nur."
"Injjih, Ibu. Biar Nur yang siapkan. Mumpung Nur di rumah."Kata Nur.
Manakala air telah mendidih, dia segera menyiapkan bak di kamar mandi. Dan mengisinya dengan sedikit air dingin yang mengalir selalu dari sumbernya langsung.
Setelah semua siap, dia mengangkat panci yang berisi air mendidih itu, memasukkannya ke dalam bak.
"Sudah siap, Bu."
"Terima kasih, Nduk."
Lalu bu Farhan masuk ke kamar kamar mandi, meninggalkan Nur yang sedang menyeduh teh manis untuk mendapat kehangatan. Agar dapat mengusir dingin yangn mulai menembus kulit arinya.
Maklumlah rumah terletak di kaki pegunungan, udara amat dingin dia rasakan.
Tak lama kemudian, adzan subuh terdengar. Pak Farhan terlihat keluar kamar dengan pakaian yang telah rapi, bersiap-siap menuju masjid.
"Bu ne, aku duluan." ujarnya berpamitan.
"Iya Pak. Aku berangkat dengan Nur."
"Ayo Ndduk." kata bu Farhan pada Nur yang masih asyik menghabiskan tehnya.
Bu Farhan kini tampak lebih segar. Dengan cepat beliau kembali ke kamarnya untuk mengambil mukena.
Demikian pula dengan Nur. Dia cepat-cepat ke kamarnya untuk memperbaiki wudhu dan mengambil mukena.
Berdua mereka melangkah keluar rumah menuju masjid, untuk sholat subuh berjamaah.
Usai melaksanakan sholat, mereka bertiga kembali ke rumah. Setelah meletakkan rukuh, Nur kembali ke dapur untuk membuatkan pak Farhan semug kopi hitam kesukaannya.
Meletakkannya di meja ruang terngah. Dimana pak Farhan kini sedang santai membaca sebuah buku.
"Makasih, Ndduk." kata pak Farhan tanpa menoleh.
"Nggeh, Bapak."
Nur kembali lagi ke dapur hendak meletakkan napan. Bertemu dengan bu Farhan.
"Nur, kita jalan-jalan yuk. Nanti mampir ke sawah. Metik sayuran."
"Oke, Bu." kali ini Nur memakai kata-kata nggak resmi-resmi amat. Cenderung milenial. Kata anak zaman sekarang.
"Pakne, aku jalan-jalan disek."
"Yo. Ojo suwe-suwe. Mengko keburu Nadya teko."
"Nggih, Pakne." dengan nada yang sedikit menggoda.
Membuat Nur tertawa manis. So sweet banget aku punya bapak dan ibu. Bisik hatinya yang paling dalam, hingga tak ada seorangkan bisa mendengarnya ... he ... he ... he ....
Suasana masih terlihat gelap dan sunyi, manakala mereka berdua melangkahkan kaki menyusuri jalanan setapak yang ada di tengah-tengah persawahan.
Meski berlahan semua itu sirna seiring dengan munculnya mentari yang malu-malu menyapa dunia.
Dari ufuk timur dia menampakkan senyumnya. Mengusir gelap yang merayam cepat meninggalkan persada. Guna memberi kesempatan pada surya untuk melukiskan warna pada setiap yang dilewatinya.
Demikian juga dengan embun pagi yang telah turun merata di gelapnya malam, kini berlahan sirna oleh cahaya surya yang berkenan menyapanya.
Berdua mereka berjalan memutari kampung kecil itu sebanyak satu kali, mereka berdua turun ke huma. Mengambil sayuran. Setelah dirasa cukup, mereka kembali ke rumah.
Di tengah jalan, langkah mereka terhenti. Terlihat bu Retno mengejarnya.
"Bu ... Bu Farhan."teriaknya memanggil.
Nur dan bu Farthan menghentikan langkah, berbalik menatap bu Retno yang mengejarnya.
"Ada apa, Bu Retno?"
"Bagaimana dengan lamaran anak saya, Anwar. Apakah diterima?"
Nur yang tak menyangka akan pertanyaan itu hanya menunduk dan menoleh pada ibunya.
Dengan bijak bu Farhan menjawab.
"Maafkan kami bu Retno."
"Maksudnya?"
"Sebagai orang tua kadang kala harus mengalah. Karena yang kita inginkan belum tentu sama dengan yang mereka ingin."
"Ditolak, gitu."
"Hari ini Nur akan dilamar. Dengan lelaki yang sudah menjadi pilihannya."
"Bukankah aku terlebih dulu datang memintamu, Nur."
"Maafkan Nur, bu Rento. Nur tidak tahu."
Terlihat kekecewaan yang amat sangat di wajahnya.
"Kalian itu keluarga nggak tahu diuntung. Dilamar orang sukses nggak mau." katanya berang.
"Bukan begitu, bu Retno. Mungkin mereka belum berjodoh." jawab bu Farhan setenang mungkin.
"Kamu tu ya Nur. Kita sekampung ini sudah tahu kalau kamu itu anak yang yang tidak tahu asal usulnya.Mungkin saja kamu itu anak ha*.. m yang nggak diharapkan orang tuamu. Hingga kamu ditinggal begitu saja di tengah sawah."
Hati siapa yang nggak sakit mendengar kata-kata itu. Wajahnya yang tegang dia sembunyikan di balik cadar. Berlahan air matanya jatuh menetes.
Demikian juga dengan bu Farhan. Amarahnya pun tak kuasa dibendung. Dengan keras dia berujar,
"Jaga ucapanmu, bu Retno. Sudah sering kata-kata itu kau lontarkan pada putriku. Mau dia ada orang tuanya atau tidak. Dia tetap putriku. Dan kamilah orang tuanya."
"Dan lagian juga kok buru-buru lamaran. Paling-paling ada sesuatu yang kalian sembunyikan."
"Astaghfirullah, bu Retno kok bisa ngomong seperti itu." Nur mencoba mengumpulkan keberanian untuk bicara.
"Itu kebenarannya. Nggak usah ditutup-tutupi."
"Maafkan. Kami tak seburuk yang ibu kira."
"Sebenarnya sejak dulu juga aku nggak setuju. Tapi karena anak bodoh itu, kami ingin melamarmu. Anak h*..m."
"Bu, kalau belum jelas kebenarannya, sebaiknya ibu jaga itu mulut." entah mengapa amarah ibu Farhan kali ini sulit reda. Menghadapi ocehan bu Retno yang sangat-sangat menyakitkan.
Untuk menghindari amarahnya berlanjut, bu Farhan menarik tangan Nur berlalu dari tempat itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Tati Suwarsih Prabowi
klo jadi mertua....semena2 tuh b retno julid
2023-05-10
0
Conny Radiansyah
minta di cabe tuch mulut ya bu Retno 😠
2021-05-18
1
Lia Rosita
Untung di tolak. Kalau diterima, nanti jd mertua nyinyir
2021-04-23
1