Seandainya aku bisa mengulur waktu, tak ingin ku berada di situasi saat ini. Kami belum pernah bertemu, tahu-tahu sudah lamaran.
Bagaimana mungkin, bapak dan ibu seakan tak berdaya, dengan kemauan calon besannya.
Meski hati bimbang, Nur keluar kamar juga. Dengan memakai baju yang diberi oleh Nadya. Ikut membantu Nadya mempersiapkan segala keperluan, dalam menyambut tamu yang akan datang.
Tapi kegelisahannnya, membimbing Nur Aini menghampiri ibu Farhan. Mungkin dia akan mendapatkan penjelasan, agar resah yang dia rasakan, bisa terkurangi.
Belum sempat dia ungkapkan apa yang dia pendam di dadanya. Ibu Farhan telah mendahului.
"Nur, maafkan ibu."
Nur memeluk bu Farhan, keinginan untuk bertanya dia urungkan. Rupanya itu juga menjadi beban bagi bu Farhan. Gerangan apa yang disembunyikan oleh bapak/ibu Farhan dariku.
"Tak apa-apa, ibu. Aku rela."
"Terima kasih, Nak. Semoga kelak engkau dapatkan kebahagiaan."
"Ibu tak bisa menceritakan siapa dia yang menginginkanmu. Yang ibu tahu mereka teman ayahmu. Yang telah lama di kerja di Oman."
"Apakah Nur harus ikut mereka ke Oman."
"Bukann begitu, Nak. Putranya yang akan menikah denganmu. Dia tidak ikut orang tuanya. Dia tinggal di Indonesia."
Kemudian ibu Farhan menyibukkan diri kembali. Mempersiapkan semuanya hingga rapi hingga deteil-deteilnya. Terkadang diselingi oleh keusilan keponakanku.
"Nek, ini boleh dicicipi?"
"Boleh."
Ternyata mencicipinya tidak cukup satu. Habis satu dimakan, ambil lagi. Hingga tak terasa kue satu toples tinggal separuh.
Kayaknya, waktu aku masih kecil, juga seperti itu dech ....
"Noval, Novi ... tamunya nanti tak kebagian dong."
"He ... he ... he ...." satu tangkup ada di tangan, baru mereka pergi meninggalkannya.
Sholat Isya sudah selesai dilaksanakan. Tampak orang-orang sudah mulai turun dari tempat sholat. Tak lama kemudian tamu yang ditunggu-tunggu datang juga.
Entah berapa banyak hantaran yang di bawa. Sampai-sampai kak Nadya dan diriku harus bolak-balik. Ditambah dengan Noval dan Novi yang membantu dengan hati riang.
Rupanya mereka keluarga besar, sehingga 2 mobil terlihat penuh terisi. Aku tak tahu ini lamaran atau kunjungan antar keluarga. Kok sebegini banyak orang yang diajak. Untunglah ibu menyiapkan cukup banyak hidangan.
"Nur, sini!" Ibu memanggilku.
Aku berjalan menghampirinya, duduk di sampingnya.
Setelah berbincang-bincang penuh kehangatan, layaknya dua keluarga yang sedang bertemu. Akhirnya acara resminya terutarakan dengan jelas.
Seoranag pria dengan membawa bingkisan yang terbungkus indah, berjalan melewati ruang tamu, tempat para pria bercengkrama menuju ke ruang tengah. Dimana kami, para wanita berkumpul.
"Nur, berdirilah!"
"Mbak Nadya." aku berbisik lirih pada kakak yang duduk di sampingku. Aku benar-benar ragu, tapi tak mampu berbuat apa-apa.
Mbak Nadya hanya menepuk lembut pundakku. Memberiku kekuatan. Meski aku rasakan bahwa dia juga sebenarnya ragu.
"Bismillah, Nur."
Aku memberanikan diri, untuk berdiri. Menghampiri lelaki itu yang telah tiba terlebih dahulu, di tengah-tengah antara ruang tamu dan ruang tengah.
Tak berani aku menatap pria itu. Entah dia tersenyum, entah dia gelisah seperti yang kurasa saat ini. Dengan keringan dingin yang mulai keluar di telapak tangan dan dahiku. Aku tak tahu ....
Sambil menyerahkan bingkisan itu, dia berbisik,
"Nur Aini fil Islam. Harusnya kamu buka cadarmu. Agar aku bisa melihatmu. Bukankah aku ke sini untuk melamarmu?!"
Subhanallah!...
Apa aku tak salah dengar. Ada apa dengan laki-laki ini. Meski yang dikatakannya benar. Tapi apa dia tahu, aku masih bingung dengan keadaanku saat ini. Kenal saja tidak.
Ya kalau bisa lanjut ke pernikahan, kalau tak ....
Rasanya kata-kata itu telah mengintimidasiku.
Untunglah aku memakai cadar, sehingga perubahan raut wajahku, tak ada yaang mengetahui.
"Kalau saatnya tiba." jawabku singkat. Lalu kualihkan pandangan kepada ibu dan mbak Nadya yang tersenyum menatap kami.
Beberapa orang mengabadikan moment itu. Lalu, seorang wanita separuh baya mendekati kami,
"Bahrul, mana cincinnya. Biarlah umi yang menyematkan!"
Dia merogoh sakunya, mengeluarkan kotak kecil berwarna merah. Lalu membukanya.
Satu cincin dia berikan pada uminya. Yang diterimanya dengan meraih jari manisku. Lalu secara berlahan, cincin itu dia sematkan padaku.
"Terima kasih, Nak.Kamu telah menerima lamaran, untuk putra kami." dia berkata sambil memelukkku.Dari balik cadar, aku tersenyum.
Setelah itu, kami kembali ke tempat masing-masing. Dia kembali ke ruang tamu. Sedangkan diriku meninggalkan mereka semua, kembali ke kamarku. Untuk meletakkan bingkisan itu .
Sambil menenangkan perasaanku yang terbawa gelisah, oleh kata-kata yang baru saja kudengar dari bibirnya.
"Nur ." Suara mbak Nadya memanggilku.
Kulihat dia telah berdiri di tengah pintu sambil menyingkap tirai.
"Jangan di kamar saja. Temui mereka."
"Ya, Mbak."
Aku mengikuti langkah mbak Nadya. Mempersilahkan para tamu untuk menikmati hidangan yang sudah ibu sediakan.
Kulihat kak Hamdan melambaikan tangan kepada mbak Nadya.
"Mbak Nadya, itu dipanggil sama kakak ipar."
Mbak Nadya menoleh. Lalu kutinggalkan mereka yang bicara memakai bahasa isyarat. Aku melanjutkan menemani para tamu menikmati hidangan dan bercengkrama.
"Nur, sini ikut kakak." Sambil menepuk pundakku.
"Ada apa, Mbak?"
"Sudah, ikut saja."
Mau tak mau, aku mengikuti langkahnya. Tak tahu mau membawaku kemana.
Mbak Nadya mengajakku melangkah, melalui samping rumah menuju beranda. Di sana telah telah menunggu kakak ipar dan Bahrul yang sedang mengobrol santai.
"Nur ... "Panggilnya. Terlihat dia terkejut. Menatap kami berdua datang.
"Ku lihat kalian belum berkenalan. Aku berinisiatif untuk mengajak kalian ngobrol. Nggak keberatan?" kata kak Hamdan.
"Nggak,"jawabnya ringan.
Ternyata ini, maksud mbak Nadya mengajakku kemari. Rasanya canggung, aku berada di tengah-tengah mereka. Apalagi Bahrul sepertinya tak peduli dengan keberadaanku di sisinya. Hanya sesekali dia menyapaku.
"Nur, kamu sekarang masih kuliah."
"Masih Kak. sebentar lagi selesai."
"Oh ..."
Sudah hanya kata itu saja yang kudengar. Habis itu ya ... sudah. Tak ada lagi obrolan.
Nyaris sepi tanpa suara.
Tetapi ketika mbak Nadya dan kakak ipar meninggalkan kami berdua. Baru kami mencoba mengobrol yang tujuan nggak tahu.
"Kenapa kamu tak mau buka cadarmu. Sekarang kita sendiri."
"Haruskah?" aku dibuatnya terkejut dengan permintaan yang aneh itu.
"Sebenarnya aku tak tahu tujuan perjodohan ini. Yang aku tahu, aku tak mau menyakiti abah."
"Apakah kakak merasa tak nyaman?"
"Aku tak tahu harus bagaimana. itu saja."
"Mengapa kakak katakan itu. Dan kakak menyetujui proses lamaran ini?"
"Harus bagaimana, mereka yang menginginkannya."
"Lalu?"
"Aku malas untuk membahas."
Mendengar pengakuannya, aku sendiri juga tak tahu harus bagaimana.
"Kak, bisakah kita batalkan. Kalau kakak nggak nyaman."
"Tak semudah itu."
"Apakah kakak akan mengorbankanku."
"Mengorbankanmu?" terlihat nadanya mengejek.
"Justru kamulah yang diuntungkan dengan perjodohan ini."
"Apa maksudmu, kak Bahrul."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Baihaqi Sabani
aduh bahrul
2022-09-18
0
نور✨
Masya Allah aku deg-degan kak😁🥺
2022-06-09
1
نور✨
kok aku yg deg-degan ya Nur yg dilamar bukan aku😁🤭... gmna rasanya dilamar 🤭
2022-06-09
1