Bertemu dengan sahabat waktu SMA dulu sejenak, semoga mampu mengurai kegundahan yang kurasa menyesakkan di dada ini.
"Apa kabar, Rima?"
"Baik, akhirnya kita bisa ketemu lagi. Kalau kamu ?
"Alhamdulillah baik juga."
"Sini sama siapa?"
"Sama kakak ipar dan ponakan."
"Masak ditunggui. Nggak asyik. aku masih kangen sama kamu. Bisa kamu bilang pada mereka untuk meninggalkanmu. Biarlah nanti sore aku yang antar kamu."
"Baiklah."
Nur pergi menemui kakak iparnya sebentar, lalu kembali lagi.
Terlihat wajah Rima tersenyum gembira.
"Alhamdulillah kamu bisa ke sini. Aku bener-bener bete sendirian di rumah. Mama dan papa sedang ada urusan ke Singapura. Katanya sich cuman 2 hari. Tapi kok molor."
"Lalu kakakmu?"
"Jangan tanya tentang kakak, dech. Itu orang hanya urusin pekerjaan doang. Sampai-sampai melupakan dirinya."
"Ada saja kamu, Rima"
"Hei, habis ini kita selesai kuliah bukan?"
"Iya ..."
"Jawabnya kok sedih."
"Mungkin aku akan mengabdikan diri di desaku. Mengembangkan ilmu. Bukankah jurusan pendidikan di situ tempatnya."
Dia acungkan jempol dua padaku.
"Luar biasa, aku salut sama kamu. Sambil menunggu yang mau melamar." ujar Rima lepas.
Kata-kata Rima benar-benar menyentuh hatiku yang lembut (😣) hingga terasa perih. Bukan sakit hati, lebih pada penyesalan yang tiada arti.
Aku hanya tersenyum kecut, mengingat kebodohannku.
"Hai itu wajah kok muram. Dan matamu seperti mau hujan saja?" dia menatapku dengan canda dan senyum tanpa beban. Ikhlas gitu lho ...
"Apa Nur yang selalu ceria ini, sedang patah hati?"
"Ada-ada saja. Kalau kamu?" jawabku menghindar.
"Sepertinya aku pingin melanjutkan studyku dulu sampai S3 gitu."
"Beruntung sekali kamu dapat melanjutkan."
"Tapi Nur, sekarang bukannya banyak beasiswa kuliah, bahkan ada yang dari luar negeri. Kamu bisa ikut tuch. Siapa tahu rizkimu"
"Ide yang bagus, nanti aku coba."
"Mumpung lagi sepi, kita bikin rujakan yuk."
"Boleh." Jawabku bersemangat.
"Tapi kita ambil buah-buahan di belakang rumah dulu, bagaimana?"
"Oke."
Meski di tengah kota, rumah Rima cukup asri dengan berbagai pohon-pohonan yang rindang yang kini sedang berbuah lebat. Ada jambu air, jambu biji, belimbing, mangga, pepaya, dan masih banyak buah lainnya.
"Bagaimana, aku ambil galah dulu."
"Oke."
Sementara Rina mengambil galah,
Nur menuju pohon buah belimbing madu. Terlihat menggoda. Buahnya yang sudah berwarna kuning tua menanti untuk dipetik dan dinikmati. Kebetulan sekali buahnya rendah. Hingga dapat diraih dengan tangan saja.
Ada lagi pepaya california. Kali ini sudah masak juga. Dia petik pula. Jambu air kancing warna merah, jambu air camplong warna putih. Sambil menunggu Nur mencicipinya terlebih dahulu.
Memang, kalau sudah melihat buah, Nur mudah sekali tergoda. Untuk memetiknya, sesekali memakannya.
Sebagai akibatnya, belum memetik buah mangga, sudah terkumpul banyak, hampir 1 ember plastik.
"Wah Nur, ini semua untuk rujak?" Rina, sang tuan rumah sampai terheran-heran.
"Eh maaf. Janganlah ...."
"Lalu?"
"Dijual."jawab Nur tersenyum tanpa dosa. Kalau lagi berdua dengan sesama muslimah, Nur membuka cadarnya.
"Oke kita ambil mangga madu yang itu. Nggak lengkap kalau tanpa mangga."
"Ngidam kali, ya? " ujar Nur sambil bercanda.
"Belum punya suami masak mau ngidam?"
Mereka memetik mangga itu sambil bercanda. Sehingga tak sadar, 5 buah mangga jatuh dengan sendirinya. Begitu tersentuh galah meski tidak keras.
2 masuk ke dalam jaring di ujung galah. 3 lainnya lolos. Menyebabkan Nur sibuk menangkapnya. 1 ketangkap. 1 lagi terkena kepala Nur. 1 lagi ketangkap Rina.
"Innnalillahi .... aduh." Nur berteriak lirih.
"Eh ... maaf Nur."
Nur mengusap kepalnya dengan tertawa. Tetapi tangan Nur menyetuh benda lembut di atas jilbabnya. Dia lihat tangannya, terlihat kotor oleh adonan berwarna orange. Dari mangga masak yang sudah mendarat indah di jilbabnya.
Rupanya mangga yang telah masak itu, jatuh 'mbonjrot' di kepala Nur.
"Ya ... kotor."
Rima makin keras tawanya. Menyaksikan jilbab Nur yang 'blepotan' oleh daging mangga yang telah masak.
"Bahagia di atas penderitaan teman. Tega nian kau, Rima."
"Iya ... iya ... aku pinjamin jilbab nanti."
"Bukan nanti!"
"Ya sekarang, aku ambilkan. Tapi aku nggak punya kerudung seperti itu. Hanya punya kerudung sebahu. Atau aku ambilkan rukuh potongan bagian atas."
"Ada-ada saja. Kerudung saja asal nutupi dada."
"Tunggu sebentar."
"Tolong kumpulkan mangganya sekalian bawa ke dapur. Kita bikin bumbunya sama mbok Iyem."
"Oke, kutunggu kerudungnya."
Rima ke kamar, bingung mencari-cari jilbab yang pernah dia punya. Maklumlah, jilbab baginya adalah busana ketika pengajian. Atau kalau akan sholat id. Sehingga sedikit koleksi yang dia punya.
Dan dia meletakkannya teramat istimewa. Di almari kecil bagian atas. Lipatan paling bawah diantara tumpukan syal-syalnya. Sempurna dengan kesulitan untuk mengambilnya.
Dengan sedikit susah payah, jilbab itu terambil juga.
Rima memberikannya kepada Nur yang kini sedang sibuk membuat sambalnya bersama bik Iyem di dapur.
" lni jilbabnya, Nur. Semoga kamu suka."
"Terima kasih, Rima. Aku bisa cuci jilbabku di sini. Agar pulangnya bisa aku pakai lagi."
"Boleh Nur."
Sementara Nur mengganti jilbabnya, Rima melanjutkan mengupas buah-buahan dan mengiris tipis-tipis. Kemudian diletakkan ke dalam mangkok besar.
"Sudah jadi saosnya, Mbok?"
Rima menyebut sambal kacang untuk rujak adalah saus.
"Sudah, Den Rima."
"Kita bawa ke meja makan yuk, kita makan di sana."
"Nggak kita bawa ke halaman belakang saja, Rima. Sambil menikmati semilir angin."
yang sepoi-sepoi."
"Boleh, ide yang bagus."
Mereka berdua membawa rujak yang sudah jadi beserta saosnya, ke halaman belakang. Yang di bantu oleh mbok Iyem.
"Mbok, mari sini gabung. Kita makan sama-sama."
"Nggak, Den. Mbok makan di dapur saja." Jawabnya
Mbok Iyem adalah orang yang setia bekerja di keluarga Sunarya, semenjak Rima kelas 7 di SMP yang sama dengan Nur. Tapi sayangnya dia pindah sekolah. Tapi akhirnya ketemu lagi saat SMA.
"Ya sudah, kalau nggak mau. Masihkan buahnya?"
"Masih, Den."
"Oh ya, Mbok. Tolong irisan buah-buahan yang ada di piring dan juga saosnya yang di mangkuk kecil. Tolong letakkan di atas meja makan. Untuk kak Andre."
"Ya, Den." Jawabnya. Tak lama kemudian mbok Iyem pergi meninggalkan kami. Yang sedang asyik menikmati rujak, telah menggoda untuk disentuh. Lidahku sudah 'kemecer' ingin segera menikmatinya.
Selesai menikmati rujak. Nur melaksanakan sholat dhuhur. Lalu keduanya bersantai ria di ruang keluarga sambil membaca koleksi novel yang Rima punya. Hingga tak menyadari kalau Andre pulang.
"Assalamu'alaikum semua." sapanya dari tirai yang menghubungkan dengan ruang utama.
Nur agak gugup karena dia tidak memakai cadar. Segera dia menutup wajahnya dengan ujung jilbabnya. Sambil mencari-cari cadarnya yang pergi entah kemana. Akhirnya ketemu juga. Ternyata masih melekat di kerudung tapi agak kebelakang. Ya begini nich, efek gugup.
"Hai, adik kakak yang cantik. Gimana kabarnya hari ini?"
"Baik-baik saja Kak. Tumben kakak pulang cepat?"Rima menyambutnya dengan hangat. Meninggalkann Nur yang sedang memperbaiki letak cadarnya
Sekilas Andre melihat wajah Nur sebelum tertutup.
Cantik. Batinnya berbisik lirih.
"Siapa dia?" Sambil melepas sepatu dan dasinya.
"Kakak lupa ... dia Nur Aini. Teman SMA Rima."
"Nur ... Nur ... oh ya, sekarang kakak ingat. Nur yang jutek. Nur yang pernah jatuh dari pohon mangga itu."
Mendengar itu Nur geram sendiri. Ternyata kak Andre ingat kejadian yang memalukan itu.
"Kakak masih ingat juga, ha ... ha ... ha ...,"
Ditambah dengan tawa Rima yang nyaring, membuat Nur semakin geram. Nich orang, kalau lagi berdua pasti ngeledekin gue melulu. Awas .....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Sri Lestari
lho.. lho.. SMP kok kls 12 bukannya cuma sampai kls 9 ya.. 🤔🤣🤣
revisi lagi donk thor.. tapi it's ok cerita seru aku suka novel yg ada genre religi..👍👍👍
semangat thor.. 💪💪💪
2022-09-14
2
Lia Rosita
Cewek kalau ngumpul, kalau gak makan bakso ya ngerujak
2021-04-18
1
🍾⃝ ͩSᷞɪͧᴠᷡɪ ͣ
aku mampir 2 bab dulu ya ka👋😃
2021-04-16
0