"Keuntungan buatku?"
Kurasa gemuruh amarahku bergejolah di dada ini, mendengar kata-kata itu.
"Baiklah kalau begitu."
Segera kulepas cincin yang beberapa saat lalu tersemat di jari manisku.
"Gila !?"
"Apa yang kamu lakukan?"
Lèbih baik aku diam. Dari pada aku mengeluarkan amarahku yang sudah memuncak, siap untuk meledak.
Tapi rasa ini sangat menyesakkan. Hingga air mataku tak terasa keluar dengan sendirinya.
"Aku tak mau bermain-main untuk pernikahan."
"Lalu?"
"Aku sendiri tak tahu tujuan perjodohan ini untuk apa. Yang ku tahu Bapak, ibu sepertinya juga tertekan dengan masalah ini."
"Maumu?"
"Kita yang menjalani, kita yang putuskan."
"Kamu terlalu berani."
"Akankah aku akan mengikuti imam yang hanya maunya sendiri. Tak mungkinlah."
"Aku tak punya keberanian sepertimu."
"Bagaimana mungkin, kamu seorang laki-laki?"
"Kali ini aku mengalah padamu. Pakailah!"
"Tak mungkin. Kamu sama sekali tak bisa menghargaiku. Aku tak bisa."
"Ya, kalau itu maumu. aku tak menghalangi."
"Itu lebih baik."
Aku meninggalkannya seorang diri. Lepas sudah beban yang ada. Meski aku tak tahu akhirnya dimana.
"Hai sudah selesai ngobrolnya?" Kak Nadya menemui kami.
"Nggak ada yang perlu diomongkan lagi." aku berlalu begitu saja tanpa berpamitan dengannya.
"Ada apa denganmu, Nur."
"Ada apa dengan kalian?" Hamdan melihat tajam ke arah Bahrul.
"Nur tak menginginkan pernikahan ini."
"Mengapa?"
"Aku tak tahu."
"Dan kamu?"
"Aku tak perduli dengan ini semua."
"Maksudmu?"
"Sejak awal aku tak punya keinginan sedikitpun atas pernikahan ini."
"Lalu?"
"Maafkan aku."
"Kamu harus bisa jelaskan pada keluarga."
"Tidak saat ini."
"Menunggu kamu bisa menikahi adikku. Dan adikku merasa terhina. Begitu maksudmu."
Hampir saja telapak tangan Hamdan melayang, kalau saja Nadya tidak mencegahnya.
"Sejak pertama, orang tuamu menghendaki untuk menjalin hubungan kekeluargaan. Kamu hanya diam. Seolah-olah kamu mengiyakan keputusan mereka."
"Maafkan."
Bahrul hanya menunduk, tak punya keberanian mengangkat wajahnya.
"Benar keputusan , Nur."
Lalu Nadya dan Hamdan meninggalkan Bahrul sendiri. Terduduk di kursi beranda.
Tak lama, Bahrul juga beranjak dari tempat itu. Dengan meninggalkan cincin pertunangannya tergeletak di atas meja. Mendekati abahnya. Mengatakan sesuatu dengan berbisik. Terlihat abah Arif mengangguk
Lalu dia berdiri dengan enggan. Memberi salam pada semua. Berjalan menyusuri jalan yang sepi dan gelap. Hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang tersenyum malu. Meninggalkan tempat yang seharusnya jalan untuk kebahagian untuk sebagian besar orang.
Namun tidak untuk dirinya. Seorang hamba yang telah berlumur dosa. Hingga meninggalkan jejak di tubuhnya yang tak mungkin dia ungkap. Bahkan pada orang tuanya sekalipun.
Bulir-bulir air mata tak sanggup lagi untuk dibendung, dalam danau kecil di bening matanya. Tak menghentikan langkahnya, untuk menjauh dari tempat ia menebar dan membakar amarah, dari orang yang ingin dia cinta.
Cukup jauh dia melangkah, hingga tak terasa
mengarah pada sebuah sendang, di dekat sebuah Masjid kecil nan asri. Meski dalam bayangan yang samar.
Terdengar suara gemiricik air yang mengalir, menggoda untuk disentuh dalam damai.
Berlahan dia turun dimana suara gemericik itu ada. Membasuh air matanya hingga menyatu dalam rasa dingin dari embun yang mulai turun. Untuk hilangkan sedikit keresahan yang selama ini dipendamnya.
Setelah itu dia melangkah pada jalan yang sedikit mendaki untuk mencapai gerbang masjid untuk bersujud.
Di kesendiriannya mencoba untuk mengadukan semuanya.
Dalam air matanya, dia mencoba berbisik pada Yang Maha Pendengar. Meski lirih dia ucapkan.
Ampuni hambamu,
Wahai Robbku yang penuh Kasih
Biarlah kemarahan yang kucipta membakar diriku yang tiada arti lagi.
Aku hanya tak ingin menyakitinya lebih jauh lagi.
Sekali lagi
Ampuni aku atas semua ini
Sejenak dia duduk menatap langit yang jernih tak berawan. Indah dengan bintang yang bertebaran. Kerlipnya semitsal mutiara. Membimbing khayalnya untuk melukiskan wajah seseorang. Yang telah dinantinya sejak 17 tahun silam. Namun tiada sangkah kalau dirinya akan menemukannya jua.
💎
Nur Aini fil Islam. Itu adalah sebuah nama yang selalu ku ingat semenjak kelas 7.
Adalah gadis kecil yang selalu dibawa bu Farhan ketika bekerja di tempatku.
"Kakak ...." sambil berteriak, dia berlari ke arahku. Ketika sepasang ayam talkun terus mengejarnya
Dia dengan cepat berpegangan erat di kakiku. Lalu bersembunyi di belakangku. Dengan rasa takut dia mengibas-ngibaskan tangannya agar ayam itu pergi. Membuatku tertawa.
"Kenapa?"
"Ayamnya nakal."
Lalu kuraih tubuh kecilnya dalam gendonganku. Mengajaknya ke dalam kamar.
Disana meja belajarku pasti akan diacak-acaknya. Tapi biarlah ....
Habis gemesin banget. Digoda sedikit, ngeeek .... nangis tapi hanya sebentar.
"Ayo bergaya ..." dengan centilnya dia mengikuti arahanku. Dan ceklik ...
Lupa dech ... dengan tangisnya.
Inisiatif dan tak mudah mengalah.
Adik yang menyenangkan.Membuatku kangen untuk segera pulang. Dan berjumpa dengannya. Dengan membawa hadiah kecil yang selalu dia nanti.
Begitu aku datang, dia akan mengikutiku terus, hingga ke dalam kamar. Lalu tanpa permisi membuka tasku. Dan mengeluarkan semua isinya. Sampai menemukan hadiah yang dia cari. Tak perduli meski aku dari sekolah. Pasti dia akan cari hadiah itu sampai ketemu. Kalau nggak, dia pasti akan menghukumku.
Ini anak pembantu sama tuannya nggak ada takutnya ....
Terkadang membuat bu Farhan tak enak hati, atas tingkah laku putri kecilnya itu. Tapi ummi dan abah malah senang dengan tingkah laku Nur yang lucu itu. Dan membiarkan dia bermain-main denganku. Bahkan tertidur di kamarku. Atau ketika aku mengajaknya makan bersama. Mereka sama sekali tak keberatan dan tak ambil pusing.
Mungkin mereka sudah tak mungkin memberiku seorang adik.
Ini karena ummi pernah terkena kanker rahim. Hingga harus merelakan rahimnya diangkat.
Hari-hari bersamanya sangat menyenangkan. Hanya sayang kami harus berpindah tempat tinggal. Mengikuti abah kemana dia bekerja. Sehingga aku harus berpisah dengan adik kesayanganku.
Ingin rasanya aku mengajaknya pergi bersama kami. Tapi Ummi dan abah keberatan. Takut kalau kenapa-napa. Apalagi pak Farhan dan bu Farhan juga menahannya.
Meski kutahu Nur itu bukan putri mereka. Tapi kasih sayang mereka sungguh luar biasa. Sehingga Nur akan sulit terpisah dari mereka.
Abah dan Ummi tak keberatan waktu aku mengajak ke bandara. Tentu dengan ditemani ibu dan bapak Farhan dan keluarga.
Nur kecil memakai baju yang dibelikan ummi . Berwarna pink pastel dengan kerudung senada dengan gambar froze. Tampak lucu dan unik. Dia selalu menutup wajahnya dengan ujung kerudungnya hingga tak terlihat. Membuatku gemas.
Dia mengikutiku dari belakang dengan menggandeng tanganku. Maksudnya ... aku yang menggandengnya.
"Kakak akan pergi ya ..."
Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaanya.
Aku melihat mata yang sayu dan sedih seakan ingin menangis.
Makanya dia tutup wajah imutnya dengan kerudung. Hingga ku tak bisa mencium pipinya yang tembem itu.
Untunglah di depanku ada supermarket yang ada es krimnya. Segera kuajak ke sana sebentar. Membelikan 2 es cream kesukannya.
Dia tertawa tapi masih menutup wajahnya.
"Bagaimana bisa makan es cream kalau wajahmu, kau tutupi."
Lalu dia melepas ujung kerudung yang menutup wajahnya dan meraih es cream yang ku beri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
juni
👍👍👍
2021-09-14
0
Lia Rosita
Nur ingat gak ya
2021-04-17
1
🍾⃝ ͩSᷞɪͧᴠᷡɪ ͣ
semangat😉🙏
2021-03-28
0