Senja merona di ufuk Barat, tangan lembut Caca menarik daun jendela dan tirai bergantian. Suara adzan berkumandang mengalun lembut, menandakan waktu salat magrib telah tiba. Faza bergegas ke masjid sementara Caca memilih salat sendiri di rumah.
Seusai salat, Caca menyiapkan makan malam untuk suaminya Faza. Caca berusaha keras tidak memperlihatkan kesedihannya di depan pria yang dia cintai.
"Masak apa Ca?" tanya Faza setelah pulang dari masjid. Caca yang sedang menyiapkan piring menoleh ke arah Faza.
"Saya buat sambal ikan asin cabai hijau, Pak Faza doyan?kalok gak doyang saya juga masak nila kuah kuning kok,Pak" jawab Caca, seakan tak terjadi apapun dalam hidupnya. begitu lah Caca, dia begitu pandai menyimpan luka hatinya.
"Apa saja saya doyan," ucap Faza sambil menarik kursi di meja makan dan duduk menunggu Caca menyendokkan nasi ke piringnya. Caca tersenyum menatap Faza sekilas. Mereka pun makan dalam diam.
"O ya Ca, gimana perkembangan skripsimu?" tanya Faza memutus kebisuan yang sejak tadi membungkam percakapan mereka. Caca mendongak sekilas, mencoba menangkap ekspresi wajah Faza, tapi tak ditemukan apa-apa selain tatapan tenangnya.
"Alhamdulillah sudah sembilan puluh lima persen, Pak. Tinggal edit sedikit aja." Caca terdiam sejenak, menarik napas dalam sebelum melanjutkan, "Em... Pak Alfin meminta saya untuk segera menyelesaikan skripsi, dan insya Allah besok pagi saya mau daftar untuk sidang munaqasyah."
Faza tampak menghentikan kunyahannya sejenak, dengan tatapan menelisik, "Dia bilang apa ke kamu?" tanya Faza kemudian, suaranya terdengar datar tapi penuh penekanan. Matanya tak berkedip, tajam mengawasi reaksi Caca.
Caca sontak mengerutkan dahi, sedikit bingung dengan reaksi Faza.
"Pak Alfin cuma bilang mahasiswa bimbingannya harus segera menyelesaikan skripsi. Itu aja sih," jawab Caca sambil tersenyum menyuap nasi ke mulutnya sendiri, berharap jawaban itu cukup untuk memadamkan rasa ingin tahu Faza.
"Gak ada yang lain?" Kali ini suaranya sedikit lebih dalam, nyaris terdengar menyelidik. Caca menggeleng pelan, mencoba mengingat-ingat kembali percakapannya dengan Pak Alfin. "Enggak sih... kayaknya. Eem, cuma dia bilang, kalau Pak Alfin pengen saya segera menyiapkan skripsi minggu ini, dan sedikit mendesak supaya saya ikut ujian minggu depan," sahut Caca, dengan jawaban polosnya.
Seketika Caca merasa jika Faza sedang menyelidik,hingga Caca berpikir keras, "Kenapa Pak Faza begitu tertarik pada percakapanku dengan Pak Alfin? Apa yang sebenarnya dia pikirkan?" batin Caca.
Faza masih menatap tajam ke arah Caca, mencoba menahan gelombang pikirannya yang bertubrukan di dalam kepala.
"Apa menurutmu dia tak sedang melancarkan strategi?" tanya Faza dengan suara yang lebih tegas dari biasanya.
Lagi lagi, Caca mengerutkan kening, terlihat bingung dengan maksud dari pertanyaan Faza. "Strategi...? Maksud Pak Faza...?" jawab Caca polos, dengan nada yang membuat Caca semakin gelisah.
"Tidak, bukan apa apa, cepat habiskan makananmu,nanti tolong bantu saya pasangkan salep penghilang pegal" ucap Faza, mencoba menyembunyikan kegelisahan di balik nada santainya. Faza tahu, Caca pasti tidak akan menyadari apa yang sebenarnya Faza pikirkan.
Dalam diam, Faza memutar kembali setiap potongan informasi yang ia simpan rapat-rapat. Alfin ingin mempersunting Caca.
Faza terlihat mengmenghela napas pelan.
Jika Faza memberitahunya sekarang, apa Caca akan mengerti? Apa dia cukup bijak untuk memahami implikasi dari apa yang akan Faza katakan? Tidak. Dia terlalu naif, dan itu justru membuat Faza semakin khawatir. Alfin bukan pria yang sembarangan. Faza tahu betul caranya bermain, cara Alfin selalu mencapai tujuannya tanpa gagal.
Selesai makan, Faza berdiri dan segera berjalan menuju kamar, langkahnya terburu-buru. Dengan gerakan yang cepat, dia membuka lemari dan mengambil salep anti pegal yang sering dia gunakan setelah lelah bekerja.
Faza lantas kembali ke ruang tamu, dia mendapati Caca masih duduk di sofa, menatap televisi. "Ini Ca, bantu oles ya," ucap Faza, sambil membuka kaosnya dan duduk membelakangi Caca.
Caca menatap punggung Faza yang penuh dengan otot dan garis-garis yang menunjukkan kelelahan. Dengan perasaan ragu, dia mulai mengoleskan salep itu, jemarinya menyentuh kulit Faza yang hangat. Faza merasakan dinginnya salep di punggungnya, tapi lebih dari itu, dia merasakan kelembutan tangan Caca yang perlahan membuatnya rileks.
Caca tak sekadar mengoleskan salep pegal, tapi juga dengan lembut memijat punggung Faza,berharap pijatannya bisa membuat lelah Faza hilang. Namun tanpa Caca sadari, setiap gesekan jemari lentiknya mengirim gelombang kejut nan menenangkan, menembus hingga ke sudut-sudut tersembunyi hati Faza.
Dalam keheningan, Faza memejamkan mata, mengarungi sensasi luar biasa yang tercipta dari sentuhan hangat itu, tanpa Caca sadari seberapa dalam Faza menahan nafas. Gesekan tangan Caca mempengaruhi irama detak jantung Faza jang semakin terkompa laju.
Momen itu seolah membawa Faza pada dimensi lain,ia tak lagi kuat menahan gejolak nafsu sebagai seorang pria normal pada umumnya.
Ketika Caca menyelesaikan pijatannya dan berdiri untuk kembali ke kamar, kejutan itu datang tiba tiba. Dengan cepat dan spontan, Faza menarik tangan Caca, yang secara refleks terjatuh lembut ke pangkuan Faza, membawa kedua jiwa itu bertaut lebih dalam.
Caca, terkejut, menarik napas sejenak dan menatap mata Faza, mencari kejelasan atas tindakan mendadak itu. Ketika Caca hendak bangkit, Faza mendekat, wajahnya merunduk, sehingga jarak antara mereka semakin menipis hingga tak ada celah untuk menghindar.
"Maaf, tindakan saya mengejutkanmu. Biarkan seperti ini," bisik Faza dengan suara berat dan serak. Caca, yang hanya bisa terdiam tanpa kata,tiba tiba merasakan bibir Faza mendarat lembut di bibirnya. Mata Caca perlahan terpejam menikmati sensasi ciuman bibir Faza yang hangat.
Setiap lembut lumatan yang Faza berikan, membuat Caca terbuai, merasa sebuah aliran hangat menyusupi hatinya, tangan besar Faza sesekali bermain di dadanya, bermain manja hingga Caca mengetatkan tangannya di leher Faza,untuk menahan gejolak yang tak bisa Caca sembunyikan.
Berlahan tangan Faza menyusup lincah dan mengangkat kaosnya yang Caca kenakan hingga terbuka, sehingga kulitnya terpapar, ranum dan mengundang. Faza dengan keberaniannya mencium bagian-bagian sensitif milik Caca, bermain nakal yang membuat Caca tak mampu mengelak. Tidak tahu mengapa, seluruh adegan itu membuat Caca tak ingin menghindar; setiap sentuhan, setiap lumatan bibir Faza, membuatnya candu, menuntunnya ke dalam arus kenikmatan yang tak ingin dia akhiri.
Malam itu, Caca kembali melakukan adegan ranjang bersama pak dosennya. Caca semakin terbelenggu oleh permainan Faza.
Namun setelah permainan itu usai, perasaan bersalah kembali merongrong di relung hatinya. Bayangan wajah Felina kakak tercinta, terus menghantui ruang matanya.
Caca tergesa-gesa memungut pakaian yang berserakan di lantai, lalu berlari meninggalkan Faza yang masih bersandar di sofa, memandangnya dengan tatapan penuh tanya. Caca menangkap sekelebat senyumnya—mungkin dia berpikir jika Caca malu dengan apa yang baru saja terjadi. Tapi tidak, itu lebih dari sekadar rasa malu. Saat pintu kamar tertutup di belakang punggung Caca, dia merasa seperti membawa beban yang sulit untuk dilepaskan.
Hampir satu jam berlalu,Caca mengurung diri mengguyur tubuhnya dengan air,untuk membuang rasa bersalahnya,namun tak kunjung sirna. Hingga suara ketukan di pintu kamar mandi membuat Caca tersentak.
“Ca... kamu baik-baik saja?” Suara Faza terdengar lembut, tapi di baliknya ada kekhawatiran yang sulit Faza sembunyikan.
Caca menekan bibirnya erat-erat, menahan tangis yang terus mendesak keluar. Tapi semakin keras Caca mencoba, semakin sesak rasa di dadanya.
"Iya, Pak. Saya gak papa" ujar Caca, membuat Faza merasa lega, setelah mendengar suara Caca dari dalam.
"Ya Tuhan, kenapa rasanya sesakit ini?" batin Caca. "Kenapa situasi seperti ini harus muncul dalam cerita cintaku?" Air mata mengalir tanpa bisa Caca tahan lagi, bercampur dengan aliran air shower yang mengguyur tubuhnya.
"Tuhan, tolong aku... Apa yang harus kulakukan?" batin Caca berbisik penuh luka, hampir menyerupai jerit pilu. Rasa cintanya pada Faza begitu dalam, namun perasaan bersalah yang merajam hati Caca seolah tak memberi ruang untuknya bernapas.
Setiap tetesan air yang jatuh seakan menjadi saksi bisu pergulatan hatinya yang hancur: bertahan dalam cinta yang menyakitkan, atau melepaskannya demi meredakan luka yang tak berdarah? Tapi apakah Caca mampu melawan perasaan yang kini sudah mencengkeram seluruh nadinya..?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments