Matahari benar benar tak muncul,ditelan hujan deras dan bersembunyi di balik senja, Butiran air tak kunjung berhenti membasahi bumi.
Faza yang sedang duduk menatap kearah luar, mulai merasa cemas, pandangannya terhalang oleh guyuran hujan yang semakin pekat. Ia menarik napas dalam, merasakan kesulitan yang akan dihadapi jika terus melanjutkan perjalanan di tengah hujan seperti ini.
"Sepertinya kita terpaksa harus bermalam di sini, Ca. Saya khawatir terjadi sesuatu jika kita nekat menerabas hujan, jalanan cukup licin, saya tak ingin mati sia-sia," ujar Faza, mencoba menjelaskan situasi seraya mengarahkan pandangan ke mahasiswinya.
Caca, yang sejak tadi diam, akhirnya menoleh menatap Faza dengan tatapan yang serius. Kegelisahan terpancar dari matanya, bukan hanya karena hujan tapi juga situasi yang mereka hadapi.
"Saya lebih tak yakin jika kita bermalam di sini berduaan, Pak. Saya khawatir kita akan kena hukum adat," tegas Caca. Karena mereka tahu konsekuensinya jika berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya di kampung dalam tersebut.
Faza memahami kekhawatiran Caca, ia mengangguk perlahan.
"Saya mengerti kekhawatiranmu, Ca. Tapi, kita juga perlu mempertimbangkan keamanan dan keselamatan kita, soal hukum adat, kita bisa jelaskan kondisi alam yang memaksa kita harus bermalam di sini, jika kita kepemukiman jarak tempuhnya masih cukup jauh, sekitar tiga kilo lagi,kita gak punya pilihan lain"saran Faza, berusaha menenangkan mahasiswinya itu.
Caca masih tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk lemah, mengakui bahwa mereka memang tidak memiliki banyak pilihan. Keduanya kemudian memutuskan untuk bermalam di gubuk tua itu, berharap hujan tidak berlangsung lama dan mereka bisa melanjutkan perjalanan dengan selamat.
Faza segera mengeluarkan lampu emergensi dari dalam tasnya, berjuang melawan terpaan angin dingin yang terasa menusuk tulang. Dalam temaram yang kelam, dia merapatkan tumpukan kayu, berusaha menyalakan api untuk memberikan sedikit kehangatan pada mereka berdua.
"Ca, pakai ini," ucap Faza dengan lembut, melepaskan jaket tebalnya dan menyodorkannya kepada Caca yang menggigil. "Tapi Pak Faza, juga butuh jaket itu," kata Caca dengan suara bergetar, merasakan dingin yang amat sangat.
Faza tersenyum tipis, matanya tetap fokus pada nyala api yang mulai hidup.
"Gak apa, saya sudah biasa dengan hawa dingin di gunung, kamu yang harus tetap hangat," katanya penuh ketegasan, menolak kekhawatiran Caca.
Caca tersenyum canggung, menerima jaket itu dan dengan hati yang hangat.
"Terima kasih, Pak, izin saya pakai ya." Caca dengan cepat mengenakan jaket tersebut, merasakan sedikit kehangatan mengusir dingin yang menyelimuti.
Di depan api yang kini berkobar, Faza dan Caca duduk berdampingan. Faza merogoh tasnya dan mengeluarkan dua bungkus roti.
"Ini, makanlah, lumayan untuk mengganjal perut yang keroncongan," katanya sambil memberikan sebungkus kepada Caca.
Caca dengan syukur menerima roti itu, menggigit dengan lahapnya, menghangatkan tubuh dan hatinya yang kedinginan. Keduanya duduk bersama di hadapan api, menyaksikan semburat percikan api yang menjadi teman dalam kesunyian malam yang membeku.
Suara jangkrik terdengar saling bersahutan, menambah suasana semakin terasa mencekam.
"Kamu sudah kabari orang rumah Ca?" Faza bertanya dengan nada khawatir. Caca terhenti sesaat, saat menggigit rotinya, lalu menggeleng lemah sambil menunduk. Faza menatap mahasiswinya itu dengan kedalaman mata yang mencari jawaban.
"Mereka mungkin bahkan tidak peduli. Mereka pasti lebih senang jika saya tidak pulang," jawab Caca, membuat Faza terkejut dengan respons yang tidak terduga itu. Ada rasa prihatin yang melayang di antara kata-kata Caca yang getir.
"Kenapa ada keluarga yang bisa sebegitu acuhnya, Ca? Ini pertama kali saya mendengar sesuatu yang sedemikian menyedihkan," ujar Faza, suaranya lembut, penuh dengan empati yang tulus.
"Saya pun tidak mengerti, Pak, bagaimana segalanya bisa jadi begitu," Caca menyahut dengan nafas panjang yang berat, seolah menarik beban yang teramat berat dari dalam dadanya.
"Apakah kamu pernah mencoba bertanya, menggali lebih dalam tentang keluargamu, Ca?" Faza mempertanyakan, mencoba membuka pintu bagi Caca untuk mungkin menemukan jalan penyelesaian atas duka yang tersembunyi.
Caca hanya menggeleng pelan, matanya menghindari kontak langsung.
"Tidak ada yang perlu dipertanyakan, Pak. Saya malah takut mendengar jawaban dari mereka. Lebih baik saya tidak tahu, bukan? Bagaimanapun juga, mereka tetap keluarga saya, dan saya tetap menyayangi mereka," ujarnya, suara bergetar dan kedua matanya berkaca-kaca seperti menahan luka.
Faza memperhatikan dengan seksama, terpaku pada ketegaran hati Caca yang terpendam. Caca yang selama ini dia anggap sebagai mahasiswi yang keras kepala. Kini, di hadapannya, sosok yang sama itu menunjukkan kelembutan dan kedewasaan yang tak pernah dia sangka. Faza hanya bisa mengangguk, memahami pilihan Caca untuk mencintai keluarganya dalam diam dan kesakitanya.
Tepat saat jam menunjukkan pada pukul dua puluh satu, hujan yang turun dengan derasnya mulai mereda.
"Pak, hujan sudah reda, bagaimana jika kita mencari tempat berteduh untuk menginap di rumah warga terdekat?" usul Caca dengan suara penuh harap pada Faza. Faza merespon, meresapi cuaca yang tampaknya mulai bersahabat.
"Iya, kita bisa berjalan perlahan." Ia segera membenahi perlengkapan mereka. Setelah itu, dia mencoba menyalakan motor dengan starter, namun mesin tak juga menyala. Faza kemudian berusaha dengan mengengkolnya, usahanya sia-sia, motor tetap bungkam, tidak memberikan tanda-tanda hidup.
"Sepertinya mogok, Ca," kata Faza dengan nada frustasi. Caca, yang terlihat cemas bertanya, "Apa mungkin bahan bakarnya habis, Pak?"
"Sepertinya tidak, saya sudah isi penuh," jawab Faza sambil membuka dan menunjukkan isi tangki minyak yang masih terlihat banyak. Faza menerawang sejenak.
"Sepertinya masalahnya ada pada busi." Faza, lalu berusaha mengutak-atik komponen mesin dengan harapan kecil motor itu mau beroperasi, namun semua upaya tampak sia-sia.
Dengan kekecewaan yang mendalam, Faza akhirnya menyampaikan keputusan mereka yang tak terhindarkan, "Sepertinya kita memang harus bermalam di sini, Ca." Ucapnya, suaranya rendah, dengan rasa bersalah. Caca melirik pak dosennya sekilas, lalu Caca meraih ponselnya, mencoba mencari bantuan.
"Aduh, sinyalnya hilang lagi! Bagaimana kita bisa minta bantuan dalam keadaan seperti ini?" keluhnya, frustasi semakin mendalam menyelimuti suasana di antara mereka.
Malam semakin larut menghunjam kegelapan yang membungkus langit, sementara angin dingin menusuk sampai ke tulang. Persediaan kayu api pun hampir habis,udara dingin dari kaki gunung semakin tak tertahankan.
Caca menggigil parah, jaket pinjaman dari Faza tidak cukup hangat untuk melawan dingin yang mencekik. Kulitnya terasa seolah-olah akan membeku.
“Pak Faza, apa tidak dingin?” Suara Caca terdengar bergetar, hampir seperti pecahan es yang meretakkan keheningan malam. Faza bisa melihatnya, tubuh Caca yang gemetar, bibirnya memucat. Suhu dingin malam ini menusuk hingga ke tulang.
Faza mencoba menahan diri, mengendalikan rasa dingin yang merayap di sekujur tubuhnya. Tapi tak bisa untuk dibohongi—suara Faza pun ikut bergetar ketika Faza menjawab.
“Sama, Caca, saya juga merasa dingin.” Tatapannya menunduk sesaat, lalu kembali mengangkat wajah.
Faza bisa melihat kilauan kecil rasa ragu di mata mahasiswinya itu. Apa yang ingin dia katakan? Lalu, dengan suara lirih yang hampir terbenam dalam gemerisik angin, Caca akhirnya berucap.
“Maaf…Pak Faza,bi..bi… bisakah Anda membantu saya, menghilangkan rasa dingin ini? Sa...sa... saya tidak kuat lagi dengan dingin ini.” Kata-katanya terdengar terbata-bata, penuh keragu-raguan, namun Faza tahu itu bukan sekadar permintaan—itu adalah jeritan keputusasaan.
Faza menelan ludah, dadanya terasa berat. Bagaimana ia harus menanggapi? Haruskah Faza menjaga jarak, mematuhi norma yang selama ini ia genggam erat? Faza paham betul, bersentuhan dengan yang bukan mahramnya adalah dosa besar.
Namun, melihat wajah Caca, mahasiswinya yang penuh keinginan untuk bertahan hidup,tak tega mengabaikannya.Bibir Caca semakin membiru, Faza tahu tak ada pilihan lain. Namun pria berhidung mancung itu madih ragu dengan keputusannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments