DUA

Matahari benar benar tak muncul,ditelan hujan deras dan bersembunyi di balik senja, Butiran air tak kunjung berhenti membasahi bumi.

Faza yang sedang duduk menatap kearah luar, mulai merasa cemas, pandangannya terhalang oleh guyuran hujan yang semakin pekat. Ia menarik napas dalam, merasakan kesulitan yang akan dihadapi jika terus melanjutkan perjalanan di tengah hujan seperti ini.

"Sepertinya kita terpaksa harus bermalam di sini, Ca. Saya khawatir terjadi sesuatu jika kita nekat menerabas hujan, jalanan cukup licin, saya tak ingin mati sia-sia," ujar Faza, mencoba menjelaskan situasi seraya mengarahkan pandangan ke mahasiswinya.

Caca, yang sejak tadi diam, akhirnya menoleh menatap Faza dengan tatapan yang serius. Kegelisahan terpancar dari matanya, bukan hanya karena hujan tapi juga situasi yang mereka hadapi.

"Saya lebih tak yakin jika kita bermalam di sini berduaan, Pak. Saya khawatir kita akan kena hukum adat," tegas Caca. Karena mereka tahu konsekuensinya jika berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya di kampung dalam tersebut.

Faza memahami kekhawatiran Caca, ia mengangguk perlahan.

"Saya mengerti kekhawatiranmu, Ca. Tapi, kita juga perlu mempertimbangkan keamanan dan keselamatan kita, soal hukum adat, kita bisa jelaskan kondisi alam yang memaksa kita harus bermalam di sini, jika kita kepemukiman jarak tempuhnya masih cukup jauh, sekitar tiga kilo lagi,kita gak punya pilihan lain"saran Faza, berusaha menenangkan mahasiswinya itu.

Caca masih tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk lemah, mengakui bahwa mereka memang tidak memiliki banyak pilihan. Keduanya kemudian memutuskan untuk bermalam di gubuk tua itu, berharap hujan  tidak berlangsung lama dan mereka bisa melanjutkan perjalanan dengan selamat.

Faza segera mengeluarkan lampu emergensi dari dalam tasnya, berjuang melawan terpaan angin dingin yang terasa menusuk tulang. Dalam temaram yang kelam, dia merapatkan tumpukan kayu, berusaha menyalakan api untuk memberikan sedikit kehangatan pada mereka berdua.

"Ca, pakai ini," ucap Faza dengan lembut, melepaskan jaket tebalnya dan menyodorkannya kepada Caca yang menggigil. "Tapi Pak Faza, juga butuh jaket itu," kata Caca dengan suara bergetar, merasakan dingin yang amat sangat.

Faza tersenyum tipis, matanya tetap fokus pada nyala api yang mulai hidup.

"Gak apa, saya sudah biasa dengan hawa dingin di gunung, kamu yang harus tetap hangat," katanya penuh ketegasan, menolak kekhawatiran Caca.

Caca tersenyum canggung, menerima jaket itu dan dengan hati yang hangat.

"Terima kasih, Pak, izin saya pakai ya." Caca  dengan cepat mengenakan jaket tersebut, merasakan sedikit kehangatan mengusir dingin yang menyelimuti.

Di depan api yang kini berkobar, Faza dan Caca duduk berdampingan. Faza merogoh tasnya dan mengeluarkan dua bungkus roti.

"Ini, makanlah, lumayan untuk mengganjal perut yang keroncongan," katanya sambil memberikan sebungkus kepada Caca.

Caca dengan syukur menerima roti itu, menggigit dengan lahapnya, menghangatkan tubuh dan hatinya yang kedinginan. Keduanya duduk bersama di hadapan api, menyaksikan semburat percikan api yang menjadi teman dalam kesunyian malam yang membeku. 

Suara jangkrik terdengar saling bersahutan, menambah suasana semakin terasa mencekam.

"Kamu sudah kabari orang rumah Ca?" Faza bertanya dengan nada khawatir. Caca terhenti sesaat, saat menggigit rotinya, lalu menggeleng lemah sambil menunduk. Faza menatap mahasiswinya itu dengan kedalaman mata yang mencari jawaban.

"Mereka mungkin bahkan tidak peduli. Mereka pasti lebih senang jika saya tidak pulang," jawab Caca, membuat Faza terkejut dengan respons yang tidak terduga itu. Ada rasa prihatin yang melayang di antara kata-kata Caca yang getir. 

"Kenapa ada keluarga yang bisa sebegitu acuhnya, Ca? Ini pertama kali saya mendengar sesuatu yang sedemikian menyedihkan," ujar Faza, suaranya lembut, penuh dengan empati yang tulus.

"Saya pun tidak mengerti, Pak, bagaimana segalanya bisa jadi begitu," Caca menyahut dengan nafas panjang yang berat, seolah menarik beban yang teramat berat dari dalam dadanya.

"Apakah kamu pernah mencoba bertanya, menggali lebih dalam tentang keluargamu, Ca?" Faza mempertanyakan, mencoba membuka pintu bagi Caca untuk mungkin menemukan jalan penyelesaian atas duka yang tersembunyi.

Caca hanya menggeleng pelan, matanya menghindari kontak langsung.

"Tidak ada yang perlu dipertanyakan, Pak. Saya malah takut mendengar jawaban dari mereka. Lebih baik saya tidak tahu, bukan? Bagaimanapun juga, mereka tetap keluarga saya, dan saya tetap menyayangi mereka," ujarnya, suara bergetar dan kedua matanya berkaca-kaca seperti menahan luka.

Faza memperhatikan dengan seksama, terpaku pada ketegaran hati Caca yang terpendam. Caca yang selama ini dia anggap sebagai mahasiswi yang keras kepala. Kini, di hadapannya, sosok yang sama itu menunjukkan kelembutan dan kedewasaan yang tak pernah dia sangka. Faza hanya bisa mengangguk, memahami pilihan Caca untuk mencintai keluarganya dalam diam dan kesakitanya.

Tepat saat jam menunjukkan pada pukul dua puluh satu, hujan yang turun dengan derasnya mulai mereda.

"Pak, hujan sudah reda, bagaimana jika kita mencari tempat berteduh untuk menginap di rumah warga terdekat?" usul Caca dengan suara penuh harap pada Faza. Faza merespon, meresapi cuaca yang tampaknya mulai bersahabat.

"Iya, kita bisa berjalan perlahan." Ia segera membenahi perlengkapan mereka. Setelah itu, dia mencoba menyalakan motor dengan starter, namun mesin tak juga menyala. Faza kemudian berusaha dengan mengengkolnya, usahanya sia-sia, motor tetap bungkam, tidak memberikan tanda-tanda hidup.

"Sepertinya mogok, Ca," kata Faza dengan nada frustasi. Caca, yang terlihat cemas bertanya, "Apa mungkin bahan bakarnya habis, Pak?"

"Sepertinya tidak, saya sudah isi penuh," jawab Faza sambil membuka dan menunjukkan isi tangki minyak yang masih terlihat banyak. Faza menerawang sejenak.

"Sepertinya masalahnya ada pada busi." Faza, lalu berusaha mengutak-atik komponen mesin dengan harapan kecil motor itu mau beroperasi, namun semua upaya tampak sia-sia.

Dengan kekecewaan yang mendalam, Faza akhirnya menyampaikan keputusan mereka yang tak terhindarkan, "Sepertinya kita memang harus bermalam di sini, Ca." Ucapnya, suaranya rendah, dengan rasa bersalah. Caca melirik pak dosennya sekilas, lalu Caca meraih ponselnya, mencoba mencari bantuan.

"Aduh, sinyalnya hilang lagi! Bagaimana kita bisa minta bantuan dalam keadaan seperti ini?" keluhnya, frustasi semakin mendalam menyelimuti suasana di antara mereka.

Malam semakin larut menghunjam kegelapan yang membungkus langit, sementara angin dingin menusuk sampai ke tulang. Persediaan kayu api pun hampir habis,udara dingin dari kaki gunung semakin tak tertahankan.

Caca menggigil parah, jaket pinjaman dari Faza tidak cukup hangat untuk melawan dingin yang mencekik. Kulitnya terasa seolah-olah akan membeku. 

“Pak Faza, apa tidak dingin?” Suara Caca terdengar bergetar, hampir seperti pecahan es yang meretakkan keheningan malam. Faza bisa melihatnya, tubuh Caca yang gemetar, bibirnya memucat. Suhu dingin malam ini menusuk hingga ke tulang.

Faza mencoba menahan diri, mengendalikan rasa dingin yang merayap di sekujur tubuhnya. Tapi tak bisa untuk dibohongi—suara Faza pun ikut bergetar ketika Faza menjawab.

“Sama, Caca, saya juga merasa dingin.” Tatapannya menunduk sesaat, lalu kembali mengangkat wajah.

Faza bisa melihat kilauan kecil rasa ragu di mata mahasiswinya itu. Apa yang ingin dia katakan? Lalu, dengan suara lirih yang hampir terbenam dalam gemerisik angin, Caca akhirnya berucap.

“Maaf…Pak Faza,bi..bi… bisakah Anda membantu saya, menghilangkan rasa dingin ini? Sa...sa... saya tidak kuat lagi dengan dingin ini.” Kata-katanya terdengar terbata-bata, penuh keragu-raguan, namun Faza tahu itu bukan sekadar permintaan—itu adalah jeritan keputusasaan.

Faza menelan ludah, dadanya terasa berat. Bagaimana ia harus menanggapi? Haruskah Faza menjaga jarak, mematuhi norma yang selama ini ia genggam erat? Faza paham betul, bersentuhan dengan yang bukan mahramnya adalah dosa besar.

Namun, melihat wajah Caca, mahasiswinya yang penuh keinginan untuk bertahan hidup,tak tega mengabaikannya.Bibir Caca semakin membiru, Faza tahu tak ada pilihan lain. Namun pria berhidung mancung itu madih ragu dengan keputusannya.

Terpopuler

Comments

Susanty

Susanty

apakah ini yang dinamakan jodoh atau musibah, tiba² motornya macet waktu di nyalain.

dan Caca kedingan meminta pak Faza memeluknya.

2025-04-24

1

nissa

nissa

duh kasian banget si caca, sampe menggigil gitu, sedih banget lihat nya

2025-05-05

0

Indradavais

Indradavais

Kayak nya bagus baru nyimak aku thour

2025-05-03

0

lihat semua
Episodes
1 SATU
2 DUA
3 TIGA
4 EMPAT
5 LIMA
6 ENAM
7 TUJUH
8 DELAPAN
9 SEMBILAN
10 SEPULUH
11 SEBELAS
12 DUA BELAS
13 TIGA BELAS
14 EMPAT BELAS
15 LIMA BELAS
16 ENAM BELAS
17 TUJUH BELAS
18 DELAPAN BELAS
19 SEMBILAN BELAS
20 DUA PULUH
21 DUA PULUH SATU
22 DUA PULUH DUA
23 DUA PULUH TIGA
24 DUA PULUH EMPAT
25 DUA PULUH LIMA
26 DUA PULUH ENAM
27 DUA PULUH TUJUH
28 DUA PULUH DELAPAN
29 DUA PULUH SEMBILAN
30 TIGA PULUH
31 TIGA PULUH SATU
32 TIGA PULUH DUA
33 TIGA PULUH TIGA
34 TIGA PULUH EMPAT
35 TIGA PULUH LIMA
36 TIGA PULUH ENAM
37 TIGA PULUH TUJUH
38 TIGA PULUH DELAPAN
39 TIGA PULUH SEMBILAN
40 EMPAT PULUH
41 EMPAT PULUH SATU
42 EMPAT PULUH DUA
43 EMPAT PULUH TIGA.
44 EMPAT PULUH EMPAT
45 EMPAT PULUH LIMA
46 EMPAT PULUH ENAN
47 EMPAT PULUH TUJUH
48 EMPAT PULUH DELAPAN
49 EMPAT PULUH SEMBILAN
50 LIMA LULUH
51 LIMA PULUH SATU
52 LIMA PULUH DUA
53 LIMA PULUH TIGA
54 LIMA PULUH EMPAT
55 LIMA PULUH LIMA
56 LIMA PULUH ENAM
57 LIMA PULUH TUJUH
58 LIMA PULUH DELAPAN
59 LIMA PULUH SEMBILAN
60 ENAM PULUH
61 ENAM PULUH SATU
62 ENAM PULUH DUA
63 ENAM PULUH TIGA
64 64. Akat Yang Tersembunyi
65 65. Perjalanan Panjang
66 66. Di Bawah Langit Cappadocia
67 Perjalanan Indah
68 Kebangkitan Jiwa Baru
69 Dua Remaja
70 Rahasia Dibalik Pengawasan
Episodes

Updated 70 Episodes

1
SATU
2
DUA
3
TIGA
4
EMPAT
5
LIMA
6
ENAM
7
TUJUH
8
DELAPAN
9
SEMBILAN
10
SEPULUH
11
SEBELAS
12
DUA BELAS
13
TIGA BELAS
14
EMPAT BELAS
15
LIMA BELAS
16
ENAM BELAS
17
TUJUH BELAS
18
DELAPAN BELAS
19
SEMBILAN BELAS
20
DUA PULUH
21
DUA PULUH SATU
22
DUA PULUH DUA
23
DUA PULUH TIGA
24
DUA PULUH EMPAT
25
DUA PULUH LIMA
26
DUA PULUH ENAM
27
DUA PULUH TUJUH
28
DUA PULUH DELAPAN
29
DUA PULUH SEMBILAN
30
TIGA PULUH
31
TIGA PULUH SATU
32
TIGA PULUH DUA
33
TIGA PULUH TIGA
34
TIGA PULUH EMPAT
35
TIGA PULUH LIMA
36
TIGA PULUH ENAM
37
TIGA PULUH TUJUH
38
TIGA PULUH DELAPAN
39
TIGA PULUH SEMBILAN
40
EMPAT PULUH
41
EMPAT PULUH SATU
42
EMPAT PULUH DUA
43
EMPAT PULUH TIGA.
44
EMPAT PULUH EMPAT
45
EMPAT PULUH LIMA
46
EMPAT PULUH ENAN
47
EMPAT PULUH TUJUH
48
EMPAT PULUH DELAPAN
49
EMPAT PULUH SEMBILAN
50
LIMA LULUH
51
LIMA PULUH SATU
52
LIMA PULUH DUA
53
LIMA PULUH TIGA
54
LIMA PULUH EMPAT
55
LIMA PULUH LIMA
56
LIMA PULUH ENAM
57
LIMA PULUH TUJUH
58
LIMA PULUH DELAPAN
59
LIMA PULUH SEMBILAN
60
ENAM PULUH
61
ENAM PULUH SATU
62
ENAM PULUH DUA
63
ENAM PULUH TIGA
64
64. Akat Yang Tersembunyi
65
65. Perjalanan Panjang
66
66. Di Bawah Langit Cappadocia
67
Perjalanan Indah
68
Kebangkitan Jiwa Baru
69
Dua Remaja
70
Rahasia Dibalik Pengawasan

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!