Waktu berjalan bak kilat, hingga tanpa terasa hari ujian skripsi telah mengintai di ambang pintu. Hari ini, Caca berkunjung ke rumah Wijaya, meminta restu agar ujian tersebut dapat dilaluinya dengan lancar. Di sana, Wijaya tampak asyik tenggelam dalam kedamaian, menyesap kopi yang baru saja disedu oleh Bik Nah.
"Pa..." suara Caca memecah kesunyian. Hanya tatapan singkat yang dilempar Wijaya sebelum kembali larut dalam nikmatnya kopi.
"Pa..." Caca mencoba lagi, suaranya lebih mendesak.
"Hem...?" respon Wijaya akhirnya tiba, namun nada suaranya membuat jantung Caca terasa ditusuk es.
Tak masalah, ini sudah lebih baik. Setidaknya, papanya tidak langsung mengelak dan mengurung diri di kamarnya seperti biasanya. Entah mengapa, dinginnya sikap Wijaya terhadap putri bungsunya ini begitu menusuk hingga ke tulang, namun Caca sudah terbiasa, seakan Caca sudah membebal menghadapi sikap Wijaya yang seperti itu. Bagi Caca, Wijaya bersedia menyahut panggilannya saja itu sudah membuatnya bahagia.
Caca berdiri tepat di hadapan Wijaya, lalu duduk bersimpuh dihadapan Wijaya seperti biasa, seakan memohon agar Wijaya tak menghindarinya.
"Pa, besok Caca sidang skripsi, Caca minta doa Papa, agar langkah Caca kedepannya Allah permudah," ucap Caca.
"Doa Papa selalu bersamamu," ucap Wijaya.
"Terima kasih Pa..." ucap Caca bahagia. Wijaya mengangguk pelan.
"Kamu sendiri? Mana suamimu?" suara Wijaya tiba-tiba memecah keheningan. Pertanyaan itu—yang sebelumnya tak pernah Wijaya lontarkan—terdengar menusuk di telinga Caca.
"Iya, Pa. Caca sendiri. Pak Faza sedang ada kegiatan di luar," jawab Caca, mencoba terdengar biasa saja. Namun, Caca sadar, jawabannya terasa kosong. Wijaya mengangguk perlahan, tapi kulihat kerutan di keningnya semakin dalam.
"Kenapa masih panggil 'Pak' ke suamimu, Ca?" tanyanya lagi, kali ini lebih pelan, namun tetap membuat dada Caca tercekat. Caca mendongak sedikit, kaget, tapi buru-buru menyembunyikan reaksinya.
"Em... karena sudah terbiasa, Pa," jawab Caca asal. Senyumnya mengembang, tapi tak ada rasa bahagia di baliknya. Rasanya seperti tersenyum untuk menutupi retakan yang semakin lebar. Batin Caca semakin bergemuruh, memuntahkan semua keresahan yang selama ini dia hindari.
"Mulai sekarang belajarlah memanggil suamimu dengan panggilan yang pantas," ucap Wijaya dengan nada penuh penekanan. Caca terdiam, mencoba mencerna kata-kata Wijaya.
"Haruskah aku memanggilnya dengan sebutan yang lebih akrab? Tapi panggilan seperti apa, Pak Faza tidak pernah meminta itu. Rasanya, suaraku ini bahkan tak pantas untuk menyebut namanya dengan panggilan yang intim. Terlalu asing. Ya, dia terlalu jauh dariku, bukan hanya secara fisik, tapi juga di dalam hati. Mungkin… mungkin dia bahkan tidak menginginkanku di dalam hidupnya,Pa. Bagaimana aku harus memanggilnya dengan sebutan yang istimewa jika aku merasa seperti hanya bayangan yang tak dianggap?" Batin Caca semakin bising, setiap gumaman dalam hati hanya memperdalam rasa getir yang melilit.
Caca menahan air mata, takut terlihat rapuh di depan Wijaya. Namun setelah itu,Wijaya tak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya menatap ke arah langit, mungkin berusaha mencari jawaban di sana. Dan aku? Aku diam di tempat, merasa lebih kecil dari sebelumnya. Sepanjang obrolan kami, Wijaya tampak menghindari tatapan Caca.
"Mulai sekarang belajar lah memanggil suamimu dengan panggilan yang pantas" ucap Wijaya. Caca termangu, mendengar nasehat Wijaya.
"Aku haru panggil apa, lagian Pak Faza, gak pernah memintaku untuk memanggil dengan panggilan lain," batin Caca merasa bingung dengan usulan Wijaya.
"Sudah minta izin ke suamimu untuk datang kemari?" Wijaya mempertanyakan dengan nada yang mengintimidasi. Caca hanya menggeleng lemah.
"Pak Faza sedang tidak ada di rumah, jadi Caca tidak meminta izin," jawab Caca dengan suara yang berusaha terdengar santai namun terasa ada rasa bersalah yang terselip.
"Pulanglah. Seharusnya kamu tidak pernah meninggalkan rumah tanpa seizin suamimu," kata Wijaya dengan suara berat yang sarat dengan peringatan. Sementara itu, Caca hanya bisa terpaku di tempatnya, merasakan setiap kata yang keluar dari mulut Wijaya bagaikan pukulan yang menghujam hatinya.
"Dan tutup pintu saat kamu keluar," lanjut Wijaya tajam, sebelum dia berdiri dan berjalan menuju kamar, meninggalkan Caca yang berdiri termangu, meresapi getir yang tersirat dalam setiap kata yang dilemparkan kepadanya, seolah setiap langkah Wijaya meninggalkan jejak yang lebih dalam di hati Caca.
Caca pun buru buru pergi meninggalkan kediaman Wijaya. Karena Wijaya tak ingin berlama lama berbincang dengan Caca.
Merasa tak tenang dengan perkataan Wijaya prihal izin suami, akhirnya Caca menghubungi Faza melalui ponselnya.
Faza menyipit, menatap layar ponsel yang terus berbunyi dengan nomor tak dikenal di sana. Derasnya dering membuatnya kesal, hingga akhirnya ia menyerah dan mengangkatnya.
"Iya, halo...dengan siapa ini?" tanyanya dengan nada datar, menunggu suara dari seberang. Di sisi lain, Caca tergagap, telapak tangannya berkeringat dingin. Hatinya bertalu, dadanya sesak oleh pertanyaan yang Faza lontarkan.
Caca menggigit bibir, menelan ludah, lalu tanpa pikir panjang segera menekan tombol merah di layarnya, memutuskan sambungan sebelum keberanian yang tersisa semakin hancur.
"Kenapa aku melakukannya? Apa yang kupikirkan?" Caca memarahi dirinya sendiri dalam hati, menundukkan kepala penuh rasa sesal. "Kamu benar-benar bodoh, Ca. Kamu berharap apa? Dia menyimpan nomormu? Jangan mimpi! Bahkan namamu pun tidak ada dalam daftar hidupnya." Kata-kata itu menggema di pikirannya, menusuk seperti ribuan jarum tajam, mempertegas luka yang sejak lama tertanam.
Caca mendongak, menatap awan biru dengan kosong, berharap harapannya yang entah sejak kapan ia bangun, bisa terbang bersama doa-doanya. Namun, di dalam hati kecilnya, dia tahu bahwa semua ini sia-sia. Hatinya yang hancur lebih memilih berbicara dengan Tuhan dibanding mengizinkan dirinya melanjutkan delusinya.
Sementara itu, Faza mengerutkan kening, menatap layar ponselnya yang kini menunjukkan "sambungan terputus". "Aneh, kenapa dimatikan?" gumamnya ringan, tak terlalu memikirkan lebih lanjut. Setelah menimbang sejenak, ia memutuskan untuk memblokir nomor asing tersebut. "Pasti nomor spam. Aku tak punya waktu untuk diganggu hal-hal yang tidak jelas seperti ini," pikirnya seraya meletakkan ponsel di meja dan kembali pada kesibukannya.
Sesampainya di rumah, Caca buru buru ke kamar. Meletakkan tas selempang yang barusan dia kenakan. Untuk mengusir kesedihan da rasa sakitnya, Caca menyibukkan diri dengan menyetrika pakaian.Selesai menyetrika Caca mengurus bunga bunga mawar yang ia tanam. Berharap cintanya seindah mawar yang bermekaran satu saat nanti.
Hingga Faza pulang. Caca masih menyibukkan diri di taman belakang, Caca menghindar untuk bertemu Faza saat ini, ia belum siap menatap wajah Faza, Caca tak ingin kesedihannya terbaca oleh pria yang sangat ia cintai.
Faza pun yang lelah karena pekerjaannya langsung istirahat di kamar. Tepat pukul lima sore, Caca baru masuk ke rumah untuk menutup jendela. Saat jemarinya menutup tirai, tiba tiba suara Faza muncul dari belakang.
"Darimana kok baru pulang..?" tanya Faza mengagetkan Caca.
"Saya dari belakang Pak, bersihkan taman," ujar Caca, Faza menyipit.
"Saya kura kamu di luar," ujarnya sambil berlalu. Caca tak menyahut, ia hanya menatap punggung Faza dengan tatapan datar.
Waktu berlalu begitu cepat. Caca dengan seragam hitam putihnya sudah siap untuk berjuang dalam mempertahankan argumen argumennya saat sidang skripsi.
Caca berjalan dengan langkah tegas, Faza yang sedang menikmati kopi di dalam cangkirnya langsung menelisik penampilan Caca.
"Ujian hari ini Ca?" tanya Faza,pertanyaan itu terdengar seperti basa basi saja di telinga Caca.
"Iya Pak..." sahut Caca singkat.
"Oo...semoga ujiannya lancar" ucap Faza, Caca mengangguk, lalu pamit ke kampus duluan.
Caca sampai di kampus tepat pukul delapan karena sidang skripsi dimulai jam sembilan.
Semua duduk dengan tenang menyaksikan ujian skripsi. Kali ini nama Caca mendapat giliran ke tiga.
Caca mengatur napasnya, mencoba menenangkan detak jantung yang berdegup kencang saat namanya dipanggil. Dengan setelan hitam putih yang rapi, dia duduk tegap di depan meja panjang tempat dosen penguji berada. Matanya mencari dukungan di antara wajah-wajah yang menatapnya dengan ekspresi serius.
"Silakan mulai,saudari Caca Wijaya," ujar salah satu dosen dengan nada tenang. Caca mengangguk, membuka laptopnya dan mulai mempresentasikan skripsi yang telah dia persiapkan selama berbulan-bulan. Setiap slide dijelaskan dengan detail, mencoba menyampaikan semua penelitian dan analisis yang telah dia lakukan.Sesekali, dosen penguji mengajukan pertanyaan yang membuat Caca harus berpikir keras.
Keringat mulai membasahi dahinya, tapi dia berusaha menjawab dengan sebaik mungkin. Suaranya kadang tergagap, namun dia berusaha keras untuk tetap fokus dan menjelaskan poin-poin penting dari penelitiannya.Saat sesi tanya jawab selesai, Caca menarik napas lega. Dia melihat ke arah dosen penguji, mencoba membaca ekspresi wajah mereka. Apakah penjelasannya cukup memuaskan? Atau masih ada kekurangan yang perlu dia perbaiki? Caca menunggu dengan napas yang tertahan, berharap semua usahanya selama ini membuahkan hasil yang memuaskan.
Sukurnya skripsi Caca dinilai baik dan tidak ada revisi ulang. Caca merasa bersyukur.
Caca melangkah keluar dari ruang ujian dengan perasaan campur aduk. Matanya dengan penuh harap menyapu setiap sudut lorong, mencari sosok yang sejak tadi bersemayam di benaknya. Namun, yang ia lihat hanyalah orang-orang berlalu-lalang, bukan dia yang ia nanti.
Caca menelan kekecewaan kecil yang perlahan menyusup, dan tiba-tiba suara ramah Pak Alfin, dosen pembimbingnya, menyapa. “Selamat ya, Ca. Kamu luar biasa tadi. Saya ikut bangga dengan presentasimu,” ucapnya penuh apresiasi.
Caca tersenyum, menyembunyikan sedikit gundah di hatinya. “Terima kasih, Pak. Semua ini berkat bimbingan dari Bapak juga,” jawab Caca, berusaha terlihat tulus. Setelah obrolan basa-basi selesai, Caca kembali melangkah dengan hati yang berharap. Bahwasannya Pak Faza…akan muncul.
Caca berpikir mungkin dia hanya terlambat, atau mungkin dia sedang mencari cara terbaik untuk mengucapkan selamat. Tapi seiring berjalannya waktu hingga jam pulang, kenyataan menampar harapannya. Tidak ada tanda-tanda Faza akan datang, apalagi menujukkan senyumnya untuk Caca.
Caca berhenti sejenak, menatap langit yang mulai memudar. “Cukup, Ca,” desahnya pada dirinya sendiri. “Apa lagi yang kamu harapkan dari Pak Faza? Kamu bukan seseorang yang penting untuknya. Kamu tahu kan, ini hanya mimpi yang salah tempat.”bisiknya getir dalam hati. Caca tersenyum getir,untuk tak merasa terlalu bodoh dan hancur atas sesuatu yang memang tidak pernah menjadi miliknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments