DUA BELAS

Faza menatap air laut jang saling berkejaran menghantam karang, pikirannya melayang jauh mengingat kembali kehidupannya bersama Caca dan Felina. 

Di satu sisi, Caca, istrinya yang ia nikahi secara terpaksa karena keadaan, wajahnya yang lembut tiba tiba hadir dalam bayangan. Saat Caca menyambut Faza pulang ke rumah. Namun, di sisi lain, ada Felina, wanita yang selama tujuh tahun memberikan cinta tanpa syarat kepadanya, yang selalu ada ketika Faza merasa terpuruk dan membutuhkan seseorang untuk berbicara.

Faza menghela napas berat, merasakan beban di pundaknya semakin berat. Faza mengangkat cangkir kopinya dengan penuh makna menyeruput cairan berwarna hitam itu. Lalu meletakkan ke atas meja, tanpa sadar tangan kanannya memainkan cincin kawin yang melingkar di jari manisnya. Konflik batinnya semakin memuncak, bagaimana mungkin dia bisa terjebak dalam situasi serumit itu?

Faza, menutup mata sejinak sambil menyandarkan punggungnya di kursi kafe,  gambaran Caca dan Felina bergantian muncul dalam pikirannya. Caca dengan senyumnya yang manis, dan Felina dengan tatapan penuh kasihnya. Faza merasa terpecah menjadi dua, dirobek antara kewajiban dan perasaan.

"Apa aku terlalu serakah?" tiba tiba pertanyan itu memutus pikiran Alfin yang tengah memikirkan ucapan Faza tentang poligami yang tadi Faza lontarkan.

"Serakah...?apa kamu merasa begitu?"

Alfin bertanya balik pada Faza.

"Hemm...entah lah" Faza tertawa dengan nada sumbang,merasakan kegetiran di hatinya.

“Poligami..? Itu artinya kamu memilih keduanya?” tanya Alfin dengan suara yang mengandung keterkejutan. Faza hanya terkekeh, seperti seolah-olah itu hanya hal candaan.

“Maunya sih gitu, soalnya kedua-duanya punya sisi berbeda,” katanya ringan, sementara otak Caca mulai sibuk memutar ulang ucapan itu, dari balik dinding pembatas.

"Kedua-duanya?" Caca meringis ngilu, saat ia kembali dibangunkan atas kenyataan. Telinga Caca kembali menangkap pengakuan berikutnya dengan jelas saat Faza mengangguk, mengonfirmasi.

Caca ingin berlari dari situ, tetapi langkahnya  tertahan oleh fakta, Caca ingin mendengar semua isi hati Faza yang tak pernah ia dengar sebelumnya. Mengetahui, Bagaimana Faza  berbicara tentang hal itu dengan santai.

"Gilak kamu, bisa bisanya kamu hianati Elin. Emang semenarik apa perempuan keduamu itu,Za?" Alfin sedikit kecewa dengan sikap Faza yang pasti akan menyakiti hati Elina, sahabat mereka dari sejak kuluah.

"Emmm.., jika dilihat dari penampilan yang kedua ini,dia lebih cuek dan tak begitu memperhatikan penampilan dan tak sesolehah Elin, tapi aku merasa jika dia lebih dewasa dari Elina,meski usianya jauh lebih muda, gak manja, mandiri dan lebih bijak menurutku. Tak hanya itu yang buat aku mempertimbangkan keberadaannya, dia berbeda dengan wanita kebanyakan" jawab Faza menilai dari sisi Caca.

Caca yang mendengar pujian pak dosennya, ada rasa bahagia di hatinya, tak menyangka jika Pak Dosen sekaligus suaminya itu, memujinya didepan Pak Alfin, namun ada rasa ngilu saat dirinya dibandingkan dengan wanita lain, jika dirinya tak sesolehah kekasih Faza.

Disela pikiran Caca yang kusut, terdengar suara Pak Alfin,kembali bertanya.

"Apa pernyataanmu itu,bentuk kekagumanmu padanya? Apa semua itu, dapat mengalahkan rasa cintamu pada Elin?" tanya Alfin mendesak, suaranya tajam dan menusuk telinga. Faza menghela napas panjang, menggeleng, sebelum menjawab, 

"Kayaknya cintaku udah mentok untuk temenmu, si Elin," jawabnya, dengan nada yang terdengar jujur tapi penuh keraguan. Caca diam mematung saat kata-kata itu meluncur dari bibir suaminya. Bagai dihantam ombak besar, rasanya sesak. Saat mengetahui Faza, Pak Dosennya yang Caca kagumi sejak di semester tiga, ternyata tak memiliki perasaan apa pun untuknya.

"Heeh...ini yang harusnya aku mengerti dari awal. Aku harus sadar diri... gak mungkin Pak Faza tertarik denganku. Hemm... bodoh!" batin Caca mengutuk dirinya sendiri. Caca sungguh merasa Bodoh, karena diam diam dirinya berharap pada pernikahannya dengan Faza, dan berharap dari seseorang yang hatinya sudah terkunci untuk orang lain. 

Alfin lantas melanjutkan dengan nada lebih serius, "Konyol kamu, Za. Jangan coba-coba menjalani hubungan dengan orang yang gak ada di hatimu. Itu cuma akan menyiksa dirimu sendiri. Tinggalkan dia, fokuslah pada hubunganmu dengan Elina." 

Caca mencengkeram ujung meja di sampingnya, kata-kata Pak Alfin, seperti pisau yang makin mengiris hati Caca. Faza terlihat terdiam, memijat batang hidungnya seakan mencoba mencari ketenangan dalam kegalauan di hatinya.

Sementara Caca, menelan ludahnya yang terasa pahit. "Apa yang Pak Alfin katakan itu benar Ca... hubunganku dengan Pak Faza, memang hanya akan menjadi sandiwara kosong," Caca bergumam pelan dalam hati. "Cinta Pak Faza jelas bukan untukku. Hanya nama Elina yang ada di dalam hatinya, meski aku dan Pak Faza sudah menikah. Aku tahu, aku ini hanya seseorang yang kebetulan ada di jalannya, tidak pernah jadi pilihan." Caca mencoba merenung, menahan rasa sesak di dada yang terus membesar.

"Jadi... apa gunanya tetap bertahan kalau cinta yang kuinginkan tidak pernah benar-benar jadi milikku?" Pertanyaan itu berputar di dalam kepala Caca, tak berhenti menyiksa pikirannya.

Caca tak kuat untuk terus menguping pembicaraan dua pria dewasa itu. Caca lantas kembali ke mejanya dan buru buru membawa Citra untuk meninggalkan kafe dari pintu samping.

"Kenapa Ca, kok buru buru?" tanya Citra menatap heran.

"Iya. Aku lupa, hari ini aku ada acara di rumah," ujar Caca berbohong pada sahabatnya.

"Oohh..." sahut Citra berusaha mengerti.

Sementara Faza dan Alfi masih melanjutkan obrolannya, di kafe itu.

"Za, tinggalkan perempuan itu sebelum semuanya berantakan!" Alfin kembali mengingatkan dengan nada tegas, tatapan matanya penuh kekhawatiran. Namun, ucapan Faza berikutnya membuat kopi di tenggorokan Alfin seolah berhenti mengalir. 

"Nggak bisa, Fin. Aku sudah nikah dengannya," jawab Faza pelan, nyaris seperti bisikan, tapi cukup jelas untuk menghancurkan keterkejutan Alfin.

"Kamu gak sedang bercandakan,Za?" Alfin menatap Faza dengan mata yang melebar, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

"Hem... Aku sudah nikah. Sebulan yang lalu," Faza mengulang, kali ini dengan nada pasrah. Alfin hanya bisa melongo beberapa detik sebelum menggeleng cepat. 

"Astagfirullah, Za. Terus gimana sama Elina? dia terlalu berharap padamu. Gila kamu! Tega nyakitin Elina yang udah jelas mencintai kamu sejah dulu" Suaranya meninggi, bukan hanya marah, tetapi juga diliputi rasa tidak habis pikir. Dalam hatinya, Alfin bergulat dengan serangkaian emosi. Ia mencoba menghubungkan sosok Faza yang ia kenal, yang selalu bijak, dengan kenyataan yang baru ia ketahui. 

"Apa yang terjadi, Za? Bagaimana bisa kau mengkhianati seseorang seperti Elina?" Alfin berusaha keras mencari akal sehat dalam keputusan sahabatnya, tapi ia tidak mampu.

Sementara Faza tak dapat menjawab pertanyaan yang terlontar dari mulut Alfin.

Siang itu Faza memutuskan untuk kembali ke rumah.

Saat membuka pintu, Faza menatap Caca yang sedang membaca buku di ruang tamu,wajahnya datar tak seperti biasanya.

Faza menatapnya lama, mencoba menerjemahkan segala perasaan yang bergejolak dalam hatinya. Namun,hari itu, tidak ada kata yang terucap lebih lanjut. Hanya hening yang memenuhi ruangan, seolah menjadi saksi bisu atas perperangan batin seorang Faza.

Caca menatap punggung Faza yang hilang tertelan pintu kamar. Tiba tiba hati Caca serasa sakit seperti ada yang menjepit dadanya.

Faza melanjutkan langkahnya menuju kamar,menutup pintu kamar perlahan,dan  membenamkan pikirannya yang kusut ke atas bantal.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!