EMPAT

Sebelum Faza mengambil tempat di ruangan yang luas, ia mendekati Caca dengan hati yang berat."Saya akan menikahimu, Ca. Ini demi kebaikan kita," ucap Faza pelan, mencoba menahan gejolak emosi yang muncul di dalam dirinya. 

Cincin yang seharusnya menjadi simbol cinta pada kekasihnya, kini terpaksa akan melingkar di jari manis mahasiswinya. "Saya mengerti, Pak Faza. Maaf, karena saya Anda harus terjebak dalam ikatan yang tidak pernah Anda inginkan," bisik Caca dengan mata berkaca-kaca, merasa bertanggung jawab atas situasi pahit ini.

Kata-katanya menusuk hati, memperjelas konflik batin yang selama ini berusaha kuabaikan. Dia tak sepenuhnya salah, tapi Faza tahu mereka berdua menjadi korban keadaan. 

Faza menghela napas berat, mencoba untuk menenangkan pikiran yang berkecamuk. "Tidak, ini bukan salahmu sepenuhnya, Ca. Kita jalani saja sesuai hukum adat yang berlaku," ucapnya, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri.

Faza menatap mata Caca, mencoba mencari rasa tenang yang tidak pernah ada sejak peristiwa ini terjadi. 

"Eeem...untuk kedepannya, kita pikirkan nanti," timpal Faza lagi. Caca mengangguk memahami maksud dari ucapan pak dosennya.

Meski hatinya berteriak ingin mengakhiri semua ketidakadilan yang sedang mereka jalani. Namun, entah bagaimana, perasaan tanggung jawab dan norma adat tetap memaksa mereka berjalan di jalan ini.

Dengan ragu, Faza merogoh ke dalam tasnya, memperlihatkan sebuah cincin berlian yang berkilau—simbol cinta yang seharusnya menghiasi jari manis calon istrinya. Namun, nasib memintanya untuk meletakkan cincin itu di jari mahasiswi yang tidak pernah dia duga sebelumnya.

"Maaf, hanya cincin ini yang bisa saya jadikan maskawin untukmu," suara Faza serak, penuh penyesalan, saat dia memainkan cincin itu di ujung jari-jarinya. Caca, yang telah menahan napas, akhirnya bertanya dengan hati hati.

"Apakah itu cincin yang akan Bapak gunakan untuk melamar,calon istri,Pak Faza?" Sorot matanya mencari kepastian. Faza hanya bisa mengangguk, pahit.

"Ya, itu rencananya,Ca" suaranya hampir tidak terdengar, diliputi rasa bersalah yang mendalam. "Tapi, apa arti semua ini sekarang?,sepertinya takdir Tuhan berkata lain" katanya dengan nada yang menggantung, seolah-olah seribu kata tidak cukup untuk menjelaskan kekacauan yang terjadi dalam hidupnya.

Suasana menjadi begitu pekat dengan kekecewaan dan kesedihan, sembari dia menghadapi realita yang menyakitkan.

Caca menatap Faza dengan penuh rasa bersalah, suara lirihnya terdengar pelan seperti sebuah pengakuan yang tidak ingin disampaikan.

"Ya, saya mengerti,perasaan Pak Faza. Maaf saya telah menghancurkan,rencana Pak Faza." Kata-katanya terasa mengoyak jantung Faza.

Faza faham, jika Caca tak sepenuhnya salah,dan bukan Caca yang menghancurkan rencananya yang akan segera melamar kekasihnya.Faza menghela napas berat, mencoba untuk menenangkan pikiran yang berkecamuk. 

"Tidak,saya tak pernah menayalahkanmu,situasi yang membawa kita diposisi ini" ujar Faza berusaha memberi ketenangan pada mahasiswinya itu.

Tak lama suara salah satu warga,datang memanggil kedua calon pengantin yang terlihat tengah berdiskusi.

"Bagaimana sudah ditentukan maharnya?" tanya pria dengan jangut berwarna putih itu.

Faza mengangguk.

"Sudah.." ujarnya.

"Jika begitu, mari duduk di sana,tetuah adat dan penghulu sudah menunggu" ujarnya. Faza dan Caca berjalan beriringan menuju balai.

Faza dengan jantung bergemuruh, berusaha memantapkan hatinya meluruskan niat,untuk menikahi Caca,salah satu mahasiswi tingkat akhir.

Seiring dengan suara tetuah adat yang menghantarkan kata sambutan sebelum akat nikah dimulai.

Tetuah tidak berkedip menatap ke arah Caca yang terisak dalam balutan pakaian adat,sebagai baju pengantin mereka. Faza pun, tampak gugup, duduk di sebelah penghulu adat, dengan pakaian nikah yang senada dengan yang Caca kenakan, Faza mencoba menelan ludah, suaranya serak seakan ada yang mencekik lehernya saat mengucapkan kalimat sakral tersebut. 

Faza merasakan beratnya setiap kata yang terucap, seolah kata-kata itu adalah rantai yang mengikatnya dalam keputusasaan.

Penghulu pun menjabat tangan Faza dengan tegas. Suara penghulu terdengar jelas, sat menjadi wali hakim untuk Caca.

"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau saudara Faza Herlambang dengan saudari Caca Wijaya binti Wijaya yang walinya telah mewakilkan kepada saya dengan mas kawin satu buah cincin berliai tunai". 

"Saya terima nikah dan kawinya Caca Wijaya binti Wijaya dengan maskawin satu buah cincin berlian tunai,"jawab Faza dengan suara setengah tercekik.

Caca tertunduk, wajahnya yang basah oleh air mata, merasa dunianya runtuh. Hatinya hancur mengetahui bahwa kebebasannya telah direnggut dalam sekejap. "Ya Tuhan,apa yang harusku lakukan setelah ini?" bisiknya lirih dalam hati, merasakan pahitnya realitas yang kini harus dihadapinya.

Caca tahu ini akan berat untuknya, dimana mengingat Faza yang bukan pria jomlo, melainkan ia memiliki seorang kekasih. Itu sudah pasti akan membuat mereka berdua semakin terjebak dalam kerumitan.

Tangisan Caca semakin menjadi-jadi saat penghulu mengucapkan kalimat penutup, "Sah" yang diucapkan serentak oleh tetuah adat seolah menggema menghantui seluruh balai. Penduduk desa yang menyaksikan pernikahan itu memberikan tepuk tangan, namun di mata Caca, tepukan itu bagai dentuman gendang perang yang mengumumkan kekalahan dirinya.

Saat Faza berbalik untuk menghadap Caca, matanya bertemu dengan tatapan hampa dari Caca. Dalam diam, Faza merasakan seribu kata yang tak terucap dalam pandangan itu, menggambarkan rasa sakit dan kekecewaan. Di tengah keramaian dan sorakan, di sanalah dua hati merasa terkurung oleh ikatan suci yang tak pernah mereka harapkan.

Setelah upacara pernikahan yang dilakukan secara paksa, Faza dan Caca bertekad untuk meninggalkan kampung yang masih dikuasai adat kolot itu. Begitu motornya selesai diperbaiki, mereka akan segera mengucapkan selamat tinggal pada kampung yang terasa seperti kutukan tersebut.

Di tengah persiapan keberangkatan mereka, tiba-tiba tetua adat mendekat. Dengan wajah serius, ia memberikan kepada mereka masing-masing sebuah lembar kertas putih yang telah ditempeli materai. Lembaran itu adalah bukti pengganti surat nikah mereka.

"Ini akan menjadi bukti bagi kalian berdua," ucap tetua adat dengan nada tegas. "Untuk akta nikah yang resmi, kalian bisa mengurusnya di kantor KUA tempat kalian berdomisili, agar pernikahan kalian tercatat di mata negara."Faza hanya bisa mengangguk, matanya menangkap kilasan harapan yang datang bersama lembaran kertas tersebut.

Mereka berdua kemudian berpamitan dengan tetua adat, memohon maaf atas keributan yang sempat terjadi.

Di perjalanan Caca hanya duduk diam di atas motor milik Faza, merenungi nasibnya yang akan datang. 

Setelah menempuh perjalanan kurang lehih dua jam, Faza menawarkan Caca untuk makan siang.

"Kamu lapar, Ca?kita singgah di rumah makan terdekat ya" tanya Faza dengan nada datar, seolah-olah mencoba menyembunyikan sesuatu di balik pertanyaannya.

"Saya nggak berselera makan, Pak," jawab Caca lirih, suara yang bahkan tertahan oleh isakan kecil yang tak mampu untuk Caca tahan lagi. Rasanya berat untuk menjawabnya, karena bukan makanan yang memenuhi pikirannya  saat ini. Ada yang lebih menyesakkan dada kali ini.

"Kamu harus tetap makan, Ca," ujarnya, seperti mencoba menguatkan hati Caca. Namun, kalimat sederhana itu malah membuat air mata yang sejak tadi Caca tahan mulai mengalir perlahan.

"Bagaimana saya bisa menelan nasi, Pak?" tanya Caca sambil terisak, suara bergetar menyayat. "Memikirkan status kita yang sekarang saja sudah bikin perut saya kenyang. Apa kita benar-benar menjadi pasangan suami istri?atau justru Pak Faza akan membuat statusku menjadi seorang janda..?" Faza terdiam.

Suara motornya yang semula memecah kesunyian kini hanya terdengar sayup karena lajunya dipelankan. Dia menghela napas panjang. Napas itu terdengar begitu berat.

 "Kita bicarakan nanti, setelah sampai di rumah," ucap Faza akhirnya, tapi intonasi itu terdengar jauh dari kejelasan. Tidak ada janji, tidak ada penegasan. Seperti angin lalu, hanya menyisakan lebih banyak keraguan di benak Caca.

"Ya Tuhan, apa artinya ini? Apakah Pak Faza akan benar-benar mengubah statusku menjadi janda kembang?" Batinnya bergemuruh dengan berbagai pertanyaan yang kian menjerat.

Caca tahu,pak dosennya itu adalah sosok yang kompleks, dan hatinya pun sudah lama disematkan pada wanita spesial di kehidupannya. Pikiran itu semakin jelas memenuhi kepala Caca, seakan tak mau pergi lebih jernih.

Caca menggigit bibirnya, berusaha menghentikan isakan, lalu menggelengkan kepala keras-keras. "Tidak, ini hanya pikiran liar yang meracuni logikaku. Jangan berpikir terlalu jauh, Ca," gumamku pelan, seperti menenangkan diri sendiri. Tapi siapa yang bisa menjamin?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!