ENAM

Caca merasa kagum saat ia memasuki kediaman Faza yang cukup luas dan terang. Halaman rumah itu sangat luas diterangi oleh beberapa lampu taman yang dipasang dengan strategis, memancarkan cahaya hangat ke setiap sudut.

Di kedua sisi halaman, tanaman buah yang rapi dan subur menambah keindahan alami, memberikan kesan yang menyegarkan di malam hari.Rumah itu tampak megah namun sederhana.

Dinding-dindingnya dicat dengan warna netral yang memberikan suasana yang tenang dan elegan. Di dalam rumah, suasana menjadi lebih intim dengan pencahayaan yang lembut dan hangat dari lampu-lampu gantung yang menggantung rendah.

Perabotan di dalamnya tersusun dengan rapi, menggabungkan fungsionalitas dengan estetika yang bersih dan modern. Satu aspek yang tidak luput dari perhatian adalah keamanan yang ketat di kediaman ini,Caca yang masih canggung ragu ragu untuk menginjakkan kakinya ke dalam rumah Faza.

"Ayo masuk," ajak Faza dengan nada lembut, memecah kebekuan di udara. Caca hanya mengangguk pelan, mengikuti langkahnya menuju sebuah rumah yang cukup besar. 

Kegugupan Caca semakin terasa ketika mereka tiba di depan sebuah pintu kamar.

"Kemari, saya antar kamu ke kamar," katanya lagi sambil membuka pintu kamar tidur yang luas dan bersih. "Istirahatlah di sini," lanjutnya seraya menatap Caca sejenak, mungkin memastikan bahwa Caca tidak keberatan dengan suasana di kamar itu.

Caca menggigit bibir, merasa sedikit canggung. "Em... lalu, apa Pak Faza juga tidur di..." Ucapan Caca terputus,namun jari telunjuknya mengarak ke kamar tidur itu. Pertanyaan Caca terdengar begitu bodoh saat keluar dari mulutnya.

"Oh... jangan khawatir," potong Faza cepat, tampak berusaha menenangkan kegelisahan yang tampak jelas di wajah mahasiswinya itu.

"Saya tidur di kamar sebelah. Istirahatlah. Kita lanjut bicarakan besok, hari sudah malam," tambahnya dengan nada yang ramah tapi tegas.

"Em... Baik, Pak. Terima kasih," jawab Caca pelan sambil tersenyum kecil, meski senyum itu terasa dipaksakan.Ia masih berusaha menenangkan pikirannya yang bercampur aduk.

"Oya, Ca," Faza menambahkan sebelum menutup pintu kamar Caca, matanya menatap Caca sekilas.

"Jika membutuhkan sesuatu, panggil saya. Saya tidur di kamar sebelah." Caca hanya mengangguk, tidak ingin bicara lebih jauh. 

Pintu kamar pun tertutup perlahan, meninggalkan Caca sendirian di dalam ruangan. Hati Caca terasa tak menentu.

"Apa aku benar-benar bisa nyaman di sini?tinggal serumah dengan Pak Faza" pikir Caca mulai berkelana.

Caca duduk di tepian ranjang, pandangannya kosong menembus langit-langit kamar. Hatinya bergetar, tak mampu menahan rasa lara yang meluap.

"Ya Tuhan, jika ini adalah jalan yang Engkau pilihkan untukku, maka berikan aku kekuatan. Ikhlaskan hati ini untuk menerima semuanya, walaupun rasanya begitu berat," bisiknya dalam hati, penuh dengan kepasrahan yang rapuh.

Air mata tak lagi terbendung, mengalir deras di pipinya, membawa semua luka yang tertanam dalam jiwa.

"Pa..." lirihnya."Apakah ini caramu ingin aku pergi dari kehidupan kalian? Apa sebenarnya salah, Caca?" ucapnya lirih, berusaha menemukan jawaban yang tak pernah dia dengar. Hatinya tenggelam dalam perasaan kecewa yang mendalam.

"Sejauh ini, bukankah aku sudah menjadi anak yang penurut? Aku sudah mencoba menjadi seperti apa yang kalian mau, memenuhi semua keinginanmu tanpa banyak bertanya. Tapi kenapa? Kenapa aku tak pernah mampu menyentuh hati kalian?" Air matanya jatuh, bersama dengan rasa frustasi dan lelah yang menguasai diri. Caca menatap tembok kamar yang kini menjadi saksi keluh kesahnya.

"Aku hanya ingin kalian bisa merasakan ketulusan yang selama ini aku berikan. Apa itu terlalu banyak untuk diminta?" gumamnya dengan suara serak, seakan berbicara kepada kehampaan. Dalam keheningan itu, yang menjawab hanyalah sunyi, yang memeluknya hanyalah dinginnya ruangan, dan yang mendengarnya hanyalah dinding yang bisu.

Dengan pikiran yang kacau dan hati yang terbebani, Caca akhirnya terlelap dengan tubuh meringkuk di atas ranjang, air matanya yang kering seakan mengukir kesedihan di pipinya.

Lelahnya jiwa dan raga tak mampu membendung waktu yang terus berjalan, sampai-sampai suara adzan subuh yang merdu pun tak mampu menembus telinganya. Sementara itu, Faza yang telah terjaga sebelum adzan berkumandang, perlahan mengetuk pintu kamar Caca.

Meskipun Caca hanyalah orang asing dalam kehidupan Faza, namun status mereka sebagai suami istri di mata Allah, menuntut Faza untuk bertanggung jawab atas diri Caca. Tanggung jawab itu bukan hanya dari segi ibadah dan akhlak, namun juga dalam setiap perbuatan yang kini berada di bawah naungan nama Caca Wijaya sebagai istri dari Faza Herlambang. 

Bagaimana pun jalan cerita mereka, berujung pada ikatan pernikahan, Faza kini harus menghadapi kenyataan sebagai seorang suami di hadapan Allah, mengemban amanah yang tidak ringan, membimbing dan menjaga Caca untuk tetap di jalan Allah.

"Pak Faza, ada apa?" tanya Caca, saat pintu terbuka. Tampak Caca yang sedang mengucek mata yang terasa kering dan perih, mungkin karena bekas air mata yang sempat jatuh semalam.

Pandangan Caca buram saat matanya  mengerjap, menangkap bayangan wajah pak dosennya yang tiba-tiba tertegun.

"Emm... saya pikir kamu belum bangun. Sudah subuh," jawabnya pelan, suaranya lembut seperti biasa. "Kamu mau ikut salat ke masjid atau salat sendiri di rumah? Kalau mau ke masjid, saya tunggu," lanjutnya, terdengar penuh pengertian.

Caca menatap Faza beberapa saat, hatinya  bergeming melihat sosok yang begitu tenang di hadapannya itu.

"Saya salat di rumah saja, Pak," jawab Caca  akhirnya, sedikit menundukkan kepala. Dia mengangguk singkat.

"Kalau begitu, saya langsung ke masjid," ujarnya sambil perlahan berbalik, meninggalkan pintu kamar dengan langkah teratur seperti biasa.

Caca menghela napas panjang sambil menutup pintu, membiarkan punggung Faza hilang dari pandangan. "Masyaallah,Benar benar Imam masa depan,soleh, tutur bahasanya yang lembut dan sopan, bahkan sikapnya yang selalu menjaga jarak tapi tetap peduli" batin Caca yang dalam diam selalu mengagumi Pak dosennya itu.

"Sungguh dia sosok pria yang terlahir dengan sempurna" batin Caca, sambil tersenyum.

Wanita mana coba yang tidak akan menganggapnya sebagai pria idaman?, pikiran Caca entah kenapa tiba tiba rada konslet. Bisa bisanya dia menilai penampilan pak dosennya.

Caca bergegas mengambil air wudu dan menunaikan salat subuh. Usai salat, Caca langsung ke dapur, ia tak terbiasa bermalas malasan setelah salat. Caca mencari sesuatu di dalam kulkas, ia mendapatkan udang dan buncis, dengan sigap Caca mengolah dua bahan itu sebagai lauk untuk sarapan.

Selesai masak, Caca menyapu dan dilanjut dengan mengepel lantai rumah Faza. Faza yang baru pulang dari masjid, mengerutkan keningnya tak percaya dengan apa yang mahasiswinya itu lakukan. 

"Kamu ngapain, Ca?" tanya Faza, tak bisa menyembunyikan rasa heran saat melihat Caca bersimpuh di lantai, dan tangan mungilnya sibuk menggosok lantai dengan kain pel.

"Bersihin lantai, Pak," jawabnya santai, seolah tindakan itu adalah hal yang biasa saja.

"Sepagi ini kamu ngepel lantai? Kenapa?" tanya Faza sambil berdiri memandangnya takjub.

Caca tersenyum kecil, ekspresi wajahnya tetap cerah tanpa beban. "Saya bingung mau ngapain, Pak. Jadi saya ngepel aja." Faza hanya bisa mengangguk pelan, sedikit terkesima dengan kesederhanaan sekaligus kegesitan Caca.

Ada sisi dari gadis itu yang selalu membuat Faza terkejut. Sosoknya yang Polos, tapi penuh inisiatif. Dan entah bagaimana, Faza merasa kekaguman itu mulai mengusik dan merayap di pikirannya.

Faza lantas melanjutkan lagkahnya, untuk ke kamar, tak lama Faza keluar dengan setelan olahraga.

"Pak Faza mau ke mana?" tanya Caca saat melihat Faza beranjak keluar rumah. Pakaian olahraga yang  Faza gunakan tampaknya menarik perhatiannya.

"Mau lari pagi, sekalian cari sarapan," sahut Faza sambil mengikat tali sepatu dengan cepat. Caca tiba-tiba kembali bersuara, "Saya sudah buat sarapan, Pak. Untuk kita." Faza terdiam sejenak, menatapnya dengan rasa tak percaya. 

"Kamu bisa masak juga, Ca?" ucap Faza  spontan, rasa penasaran membuncah.

"Sedikit, Pak. Cuma bisa masak yang gampang-gampang, kayak tumis-tumis gitu," balasnya sambil kembali memeras kain pel, suaranya tenang seperti biasa.

Faza hanya menggumam, "Hem, gak nyangka," sambil terus memperhatikan gerak-gerik Caca  yang luwes dan ringan saat mengayunkan kain pel. Lagi-lagi, Caca berhasil membuat Faza  tercengang.

Mahasiswi semester akhir itu, yang selama ini Faza pikir anak manja, keras kepala dan kurang berpengalaman, ternyata diam-diam memiliki banyak sisi yang tak pernah Faza sangka.

"Ya sudah, saya lari pagi dulu, nanti saya sarapan di rumah saja," ujarnya, meski masih ada rasa penasaran yang menggantung dalam pikiran Faza, tentang sosok Caca yang begitu berbeda, dari Caca yang selama ini Faza kenal.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!