TUJUH BELAS

Tepat pukul sembilan pagi, Caca buru buru ke pos satpam meminta Pak Diman mengantarnya ke halte,tak jauh dari rumah Faza. Caca sengaja menunggu Citra di halte, ia tak ingin hubungannya dengan Faza diketahui banyak orang sebelum mereka melakukan pernikahan secara resmi.

Mobil merah berhenti tepat di depan Caca, dengan cepat Caca membuka pintu mobil Citra, yang ternyata di dalamnya sudah ada Hana.

Tak butuh waktu lama, mobil Citra memasuki halaman rumah Alfin. Alfin yang sudah tahu akan kedatangan para mahasiswanya langsung menyambut mereka dengan ramah.

"Ayo masuk," Alfin membuka pintunya lebar lebar dan tak lama keluar wanita paruh baya dengan membawa minuman dingin dan cemilan.

"Wah..kok jadi repot repot gini, Pak" ujar Caca jadi merasa sungkan.

"Gak papa, biar makin semangat garap skripsinya, jadi minggu depan kalian sudah bisa ngajukan ujian," ujar Alfin penuh harap.

"Aamiin..." sahut mereka berbarengan.

Alfin menatap tumpukan skripsi di meja  dengan ekspresi serius. Setiap lembar kertas dia periksa dengan teliti, mencari kesalahan yang mungkin masih tersisa. Tangan kanannya terus bergerak, membuat catatan pada margin halaman dengan pulpen merah. Sesekali dia menghela napas, menyesuaikan kacamata baca di hidung mancungnya.

 "Mereka, benar-benar telah melakukan perbaikan yang saya minta," gumamnya pelan, dengan wajah serius. Alfin kembali mengambil satu skripsi yang telah dia revisi minggu lalu,itu skripsi milik Caca, membuka halaman demi halaman yang telah diberi tanda.

"Ini yang sudah diperbaiki ya,Ca..? Ini sudah benar, tinggal dirapihkan saja," ucap Alfin sambil menunjuk pada beberapa paragraf yang masih memerlukan penyusunan ulang.

"Iya Pak.." ucap Caca, dengan semangat karena tinggal edit paragrafnya saja agar lebih rapi.

"Nanti kamu perbaiki,Senin kamu sudah bisa daftar ujian ya Ca, saya tunggu kabarnya besok" ujar Alfin, berharap Caca segera menyelesaikan studinya.

"Baik Pak," ujar Caca dengan semangat. Alfin menatap Caca sekilas, sembari tersenyum, dalam senyumnya tersirat makna yang dalam, yang hanya Alfin yang tahu.

Alfin kembali menunduk, kembali ke dalam dunia akademik yang penuh dengan teori dan penelitian, mencoba memberikan bimbingan terbaik bagi mahasiswanya, agar mereka dapat lulus dengan hasil yang memuaskan.

Karena skripsi Caca sudah selesai revisi, Caca pun duduk dengan santai menikmati cemilan yang Bude Tami sediakan. Namun tak sengaja Caca melihat album foto di rak bawah meja.

"Pak Alfin, boleh saya melihat album foto ini?" Caca menunjukkan album foto yang terletak di atas rak meja, penuh dengan rasa penasarannya.

Alfin, yang sedang sibuk merevisi skripsi Hana, menoleh dengan cepat.

"Silakan, tapi harap jangan tertawa, foto-foto saya cukup memalukan," ucap dosen yang tampak tampan itu dengan nada bercanda. Caca tertawa ringan, rasa ingin tahunya semakin memuncak. Dia mulai membalik-balik halaman album, memperhatikan setiap detail foto yang menunjukkan berbagai momen dalam hidup Alfin. 

Ketika sampai pada halaman terakhir, napasnya tertahan. Di sana terdapat sebuah foto Alfin di upacara wisuda di universitas Harvard Amerika, tak hanya foto Alfin, di dalamnya juga terdapat foto orang orang yang Caca kenal salah satunya Faza.

"Ooo...jadi mereka satu universitas Harvard." Caca tersenyum kagum pada pencapaian pak dosennya itu. Caca kembali melihat gambar di sebelahnya, dan tepat di sebelahnya, foto Alfin bersama seorang wanita yang sangat familiar bagi Caca. Rasa penasarannya pun makin memuncak, bibirnya tak kuat untuk tidak bertanya.

"Pak Alfin, wanita ini..." Caca berhenti, tidak yakin bagaimana harus bertanya, "apakah dia... calon istri Pak Alfin?" Kata-katanya tergantung. Alfin menghentikan pena di tangannya, matanya tertuju pada foto tersebut.

"Oh... bukan," jawabnya pelan, "Itu Felina, teman baik saya. Sebenarnya, dia calon istri sahabat saya, Faza," ujarnya mencoba memberi penjelasan yang tepat. Caca terpaku, wajahnya memucat seakan darah mengalir meninggalkan wajahnya.

Kata-kata Alfin yang singkat itu, mampu menghentikan detak jantung Caca.

"Calon istri Pak Faza...?" ulang Caca dengan suara terbata-bata, masih sulit memproses kalimat yang baru saja  ia dengar. 

Alfin mengangguk mantap, wajahnya dipenuhi kebahagiaan. "Iya, kamu baru tahu? Sebenarnya Faza itu sangat beruntung mendapatkan wanita sebaik dan sesolehah Felina. Gak cuma baik, dia juga wanita paling setia. Alhamdulillah, tahun ini mereka akan menikah. Tunggu saja undangannya," jelas Alfin panjang lebar, senyumnya merekah seperti ingin membagikan kebahagiaannya dengan semua orang. 

Namun, tidak untuk Caca. Kabar itu bak belati yang menusuk lehernya. Tangan Caca  gemetar, tanpa sadar meremas ujung album di pangkuannya dengan keras.

Caca terdiam menatap foto Felin dengan perasaan campur aduk,"Kak Felin? Jadi... pria yang Kak Felin cintai itu Pak Faza?" desisnya  dalam hati.

Dada Caca terasa begitu sesak, seakan udara di sekitarnya tiba-tiba menghilang seketika. Bagaimana mungkin? Pria yang menjadi suami Caca.. adalah cinta pertama kakaknya sendiri? Perasaan itu terlalu rumit untuk ia terima—campuran antara hancur, marah, dan rasa bersalah yang membakar dari dalam.

Tanpa ingin berlama-lama terjebak dalam situasi, Caca menutup album itu dengan tergesa, berusaha menyembunyikan ekspresi wajahnya yang mungkin sudah kacau. Caca berdiri, meraih skripsi di atas meja dengan tangan yang masih bergetar.

"Pak, saya izin pulang dulu. Terima kasih untuk bimbingannya hari ini," ucap Caca buru-buru mencoba sekuat tenaga menahan tangis dan getir yang menghimpit hatinya. Caca hanya ingin keluar dari ruangan itu, menjauh sejauh mungkin dari kebenaran yang baru saja menghancurkan seluruh dunianya.

Tangisnya tertahan, suaranya teredam oleh tapak tangannya.

"Kenapa nggak pulang bareng mereka aja, Ca?" tanya Alfin dengan nada khawatir, matanya menyiratkan rasa cemas yang sulit disembunyikan.

"Nggak, Pak," jawab Caca dengan suara tegas, mencoba menyembunyikan gemuruh di dada. Namun, sahabatnya Citra, tampak tidak semudah itu dibohongi. Tatapan matanya berubah. Dia pasti menyadari sesuatu sedang tidak beres pada Caca.

"Ca, pulang bareng aja, bentar lagi juga kami selesai kok," ujarnya dengan lembut, berharap aku mau mengalah pada logika. Aku menggeleng lagi, kali ini lebih keras.

"Nggak bisa, aku duluan ya." Tanpa menunggu jawaban, aku segera bergegas keluar, meninggalkan Citra dan Hana yang masih sibuk bimbingan.

Caca buru buru naik angkutan umum, menuju sebuah taman di atas bukit. Caca duduk di bawah pohon tempat Caca biasa menenangkan diri,saat Caca merasa sendiri.

Angin menerpa wajahnya, tapi bukannya membawa ketenangan, malah seakan membangkitkan air mata yang ia tahan sepanjang perjalanan. Caca lantas memejamkan matanya menahan segala rasa yang tak dapat Caca tahan lagi.

"Tuhan, kenapa..aku harus jatuh cinta pada pria yang sama?" Caca memejamkan mata, mencoba mengusir rasa sakit yang menusuk. Hatinya berteriak dalam sunyi.

Tanpa sadar, tangannya mencengkeram baju di dadanya, mengepal erat seakan ingin memeras keluar semua rasa kegetiran yang terperangkap di dalam dada.

"Kenapa harus dia, Tuhan...? Kenapa setelah aku menyerahkan hal yang paling berharga, baru Engkau tunjukkan semuanya...? Kenapa harus sekarang...?!" Suaranya menggema dalam kesunyian, memecah sepi, meninggalkan denyut rasa luka yang teramat dalam. Jantungnya terasa tercekat, seolah segala kenyataan pahit itu mencoba mencekiknya perlahan-lahan.

Suara tangis Caca pecah di tengah sepi, hanya ditemani angin dan gemerisik dedaunan. Tidak ada yang bisa mendengar—dan mungkin lebih baik begitu. Rasa sakit itu begitu nyata, seperti duri yang menancap tanpa ampun di relung hatinya.

"Tidak...bagaimana mungkin aku harus bersaing dengan kakakku sendiri? darah kami sama, mana mungkin aku sanggup menyakiti hatinya."

Namun, kenyataan tak pernah peduli pada ikatan atau kasih sayang. Hati Caca terus menjerit setiap kali Caca mengingat Faza. Faktanya Caca  mencintainya, diam-diam, jauh sebelum Faza menikahi Caca. Cinta yang tak pernah berani  Caca ucapkan, bahkan kepada dirinya sendiri. 

Apakah Caca salah? Ataukah dia hanya terlalu pengecut untuk melawan perasaannya? "Faza..." namanya berputar di benak Caca, membuat dadanya sesak. Tapi bersamaan dengan itu, Caca membayangkan wajah Felina—senyum hangatnya yang selalu membuatnya merasa di rumah. 

Caca tidak bisa melukai hati Felina. Tidak akan pernah bisa. Tapi kenapa Caca terus merasa seperti itu? Kenapa Caca tidak bisa memadamkan api cinta, sebelum membakar seluruh dunianya? Caca ingin kuat. Caca ingin bisa menghapus cinta itu seperti mencoret sebuah kata di atas kertas. Tapi perasaan yang dia rasakan terlalu kuat, terlalu dalam untuk sekadar diabaikan.

"Tuhan, apa yang seharusnya aku lakukan? Kenapa harus dia? Kenapa harus Pak Faza?" Pertanyaan itu terus bergulir 

Tepat pukul lima sore, Caca tiba di rumah dengan perasaan yang kacau balau. Saat pintu  terbuka, mata hitam Caca langsung tertuju pada Faza yang sudah lebih dulu tiba. Sorot matanya yang tajam langsung mengunci pergerakan Caca.

"Kenapa baru pulang? Bukannya Alfin bilang kamu pulang dari siang? Kamu ke mana saja sampai jam segini?" Suaranya terdengar tegas, seperti menyelidik. Caca hanya mampu menundukkan kepala, mencoba menghindari tatapan tajam itu.

"Maaf Pak, tadi saya ada sedikit urusan. Maaf juga saya tidak memberitahu Bapak," jawab Caca pelan, hampir tanpa nyawa. Suaranya  terasa hampa, seperti menyembunyikan sesuatu yang tidak ingin aku akui. 

Caca buru-buru berbalik, melarikan diri dari tatapan Faza. Rasanya dia tidak sanggup berada lebih lama di ruangan itu, takut semua yang kupendam terkuak begitu saja. Tapi Caca  tahu, Faza mengamatinya. Dia tidak langsung mengikuti Caca, hanya berdiri di sana, memaku pandangannya pada Caca.

Dari sudut mata, Caca bisa merasakan Faza memperhatikan dengan tatapan menyelidik, seolah mencoba membaca apa yang tidak bisa kulafalkan dengan kata-kata.

"Ada apa dengan dia?" Pertanyaan itu jelas terpancar dari raut wajahnya. Caca bisa merasakannya, bahkan tanpa dia harus mengucapkannya. Tetapi Caca tidak punya jawaban. Atau mungkin Caca  tidak siap menjawabnya. Yang  Caca tahu, ada perih yang tengah menggerogoti hatinya sendiri saat ini, dan Caca terlalu takut untuk untuk berkata jujur tentang apa yang tengah dia rasakan saat ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!