TUJUH

Cahaya pagi membelai dinginnya udara, mewarnai kesenduan wajah ayu Caca, tangannya bergerak lembut menyingkap tirai jendela dengan tatapan yang jauh melayang. 

Terilah dari jendela gerakan dedaunan tertiup angin membawa aroma nostalgia, mengingatkannya pada Wijaya, satu-satunya orang tua yang dia miliki. Biasanya, setiap pagi, ia bisa memandang wajahnya sambil menyajikan secangkir kopi pahit. Kini, rutinitas itu, hanya bisa tersimpan dalam kilasan bayang yang semakin luntur.

Saat tangisannya hampir pecah, Caca berusaha keras untuk menahan air matanya yang seakan ingin melepaskan segala penat. Rambutnya terurai seolah melambangkan kekacauan hati yang ia rasakan.

Dari balik pintu terdengar langkah tegas menggema dari arah samping, menggantikan kesunyian pagi. Faza, dosen yang kini menjelma sebagai suami, muncul dengan aura yang mengubah alur hari itu.

Caca membalik badan, dengan ramah Caca menyapa pak dosennya.

"Pagi, Pak Faza," sapanya dengan senyum yang jarang ia gunakan untuk orang lain. Caca rasa ekspresi itu membuat Faza terkejut, karena terlihat Faza segera menyipitkan matanya, memandang Caca seperti sedang mencari sesuatu di balik wajah ayu Caca.

"Pagi... Ca," sahut Faza pada akhirnya, nada suaranya datar, namun ada rasa heran yang tak bisa ia sembunyikan.Caca bisa memahaminya, mungkin dia bingung dengan perubahan sikap mahasiswinya itu.

Ya, Caca bukan tipe mahasiswi yang ramah, apalagi pada dosen seperti Pak Faza. Bahkan Caca sendiri bingung, bagaimana ia harus melanjutkan ucapannya.

"Pak," panggil Caca sambil menahan napas, mencoba memberanikan diri. Caca tahu panggilan ini sudah menghentikan langkah pak dosennya, dan kini pria dewasa itu menoleh, membalikkan badan hingga wajah seriusnya tertuju pada Caca.

"Iya, Ca?" Suaranya tegas namun dingin, cukup untuk membuat jemari Caca makin gemetaran saat meremas satu sama lain.

"Saya... ingin bicara. Apa Pak Faza ada waktu?" Entah kenapa suara yang keluar terdengar begitu gugup, padahal ini bukan pertama kalinya Caca mencoba mengungkapkan sesuatu.

Tapi kali ini berbeda. Terlalu banyak yang Caca pikirkan, terlalu banyak yang ingin Caca tanyakan.

"Emm... ada," jawab Faza setelah jeda yang terasa begitu panjang, seakan ia sedang menimbang sesuatu dalam pikirannya. "Tunggu sebentar, saya bersihkan badan dulu," tambahnya sebelum berbalik dan berlalu pergi. 

Caca hanya bisa mengangguk, tidak berani menyela lebih jauh. Dengan langkah berat,Caca duduk di ruang tengah, mencoba menenangkan hati yang entah kenapa semakin gelisah. Apa yang ingin ia sampaikan begitu berantakan di kepalanya. Ada perasaan ragu, takut, dan khawatir. Tapi di sisi lain, Caca tahu ini harus dilakukan, harus segera dia tanyakan. 

Bagaimana Caca bisa melangkah kalau semua ini tetap menggantung tanpa kejelasan? Matanya menatap ke arah pintu kamar yang tadi Faza masuki. Pertanyaan dalam benak Caca semakin meraja lela,berseliweran di kepalanya.

Sembari menunggu Faza keluar dari kamar, Caca terus memutar cincin berlian di jari manisnya, pikirannya tersesat di lorong waktu. Saat cincin itu akhirnya terlepas dari jemari mungilnya, matanya menyipit mencoba membaca inisial yang terukir di bagian dalam. 

Huruf "ff" terpahat di sana—jelas itu bukan inisial nama Caca, dan itu memang bukan cincin miliknya. Hati Caca semakin terusik, meski itu hanya benda kecil.

"Ini bukan milikku, jelas jelas ini cincin Pak Faza untu kekasihnya. Aku harus mengembalikannya," bisik Caca kepada dirinya sendiri.

Pintu kamar perlahan terbuka, Faza keluar dengan rambut setengah basah dan pakaian santai. Ia berjalan mendekat tanpa tergesa, lalu duduk di sebelah Caca dengan jarak yang cukup terjaga.

Aroma khas sabunnya melintas cepat di antara rongga hidung Caca, tapi perasaannya sudah terlalu terhimpit untuk memedulikan hal semacam itu. Saat Caca sibuk dengan pikirannya, suara Faza mengagetkannya.

"Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya lugas tanpa basa-basi.Caca menelan ludah dengan susah payah, tangan menggenggam cincin berlian itu semakin erat. Ada begitu banyak kata yang berputar dalam benaknya tapi terasa sulit sekali untuk menyuarakannya?

"Em..." Suara Caca terdengar samar, seperti pecahan kecil dari ribuan beban yang menghimpit hatinya.Faza lantas  memperhatikannya dengan seksama, menunggu apa yang ingin dia sampaikan. 

Perlahan, tangannya yang gemetar menaruh  cincin berlian dari genggamannya, lalu meletakkannya di atas meja. Faza merasakan sesuatu bergejolak dalam dadanya, membuatnya secara refleks menegakkan punggung dan memasang tatapan yang lebih tajam kepada Caca.

"Apa maksudnya, ini Ca?" tanya Faza dengan wajah serius.

"Pak Faza," suaranya bergetar, seolah memilih kata-kata dengan hati-hati. "Mengenai pernikahan kita... apa tidak sebaiknya kita sudahi saja?" katanya dengan wajah yang semakin pucat, seakan keberanian yang baru saja ia kumpulkan perlahan sirna di udara.

Faza mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Caca seperti palu yang menghantam dinding keheningan.

"Kita tahu, bahwa pernikahan ini hanya karena keadaan yang terpaksa. Saya tidak mau, di kemudian hari, status kita menjadi penghalang bagi Pak Faza. Apalagi saat ini, Pak Faza sedang menjalin hubungan serius dengan seorang wanita," lanjutnya. 

Faza terdiam, lidahnya ikut kelu. Tidak mudah mencerna setiap kata yang keluar dari mulutnya. Ada rasa bersalah yang menekan keras di hati Faza, seperti bayangan kesalahan yang kembali menghantui. Caca terlihat rapuh,namun Faza bisa melihat keteguhan di hati mahasiswinya itu.

Faza meraih cincin berlian itu dengan tatapan dalam, seolah memahami berat maknanya, lalu dengan gerakan penuh determinasi, ia menarik tangan Caca. Dengan perlahan namun pasti, Faza menyematkan kembali cincin tersebut ke jari manis Caca, seakan mengunci takdir yang telah tersurat. 

"Ini adalah simbol dari apa yang telah menjadi milikmu, dan kamu berhak mengenakannya," ucap Faza, suaranya mengalun dengan kedalaman yang menenangkan.

"Tentang hubungan kita, saya menyadari bahwa baik kamu maupun saya, kita sama-sama tidak memiliki rasa cinta. Namun, kita berdua bisa mencoba untuk memulai, mengingat pernikahan bukan sekadar permainan. Ada beban tanggung jawab yang mesti kita pikul bersama di hadapan Allah. Siapa tahu, mungkin inilah jalur takdir yang telah Dia gariskan untuk kita, dan di balik setiap kejadian, pasti ada campur tangan-Nya." 

Kata-kata itu mengalir dari mulut Faza dengan ketenangan yang terasa menyejukkan jiwa, seolah ia telah menghabiskan semalam suntuk untuk merenungkan setiap kata yang ia ucapkan.

Di sisi lain, Caca hanya bisa terpaku, hatinya terasa diliputi oleh kabut tebal. Dia terhanyut dalam dilema yang mendalam, di persimpangan antara kelegaan karena Faza telah memutuskan untuk bertanggung jawab atas pernikahan mereka, dan kepedihan karena harus mengarungi bahtera hidup bersama seseorang yang jelas-jelas tidak memiliki cinta padanya.

Caca kembali menarik nafas sebelum kembali bertanya.

"Apa Pak Faza benar yakin dengan keputusan,Bapak? Apa Bapak tidak akan menyesal menghabiskan sisa hidup Bapak dengan orang yang tidak Bapak cintai? Dan... bagaimana dengan kekasih Bapak nantinya?" 

Suara Caca terdengar bergetar, mengungkapkan apa yang sedari tadi membebaninya.Faza terdiam sejenak, lalu menjawab dengan nada datar namun tegas, 

"Soal dia, kamu tidak perlu memikirkannya. Saya akan menyelesaikannya. Dan soal perasaan kita, biarlah waktu yang menjawabnya. Anggap saja saat ini kita sedang taaruf."

Jawaban itu sejenak membuat Caca menarik napas lega, tapi benaknya belum benar-benar tenang. "Biar waktu yang menjawabnya?" Caca  mengulangi kalimat itu dalam hati. Apakah waktu benar-benar cukup kuat untuk menjahit perasaan cinta,untuk bisa menyatu?  Bagaimana jika waktu yang akan membuatnya malah terluka? Caca terdiam merenungi ucapan Faza. Tapi di satu sisi,Caca ingin percaya pada kata-kata pak dosennya itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!