SEPULUH

Caca menelan ludah dengan susah payah, jantungnya serasa melompat dari dada. Pandangannya terpaku horor pada sosok di depannya.

"Pak Faza....!"pekik Caca dengan mata melotot.

Ternyata suara pekikan Caca rupanya cukup untuk membuat Faza terbangun. Faza, dengan santai mengangkat kepalanya dari bantal, tampak bingung berusaha mengumpulkan nyawanya. Wajahnya bahkan masih setengah sadar.

"Ada apa?" tanyanya dengan nada begitu santai, seolah tidak ada hal aneh yang terjadi. "Kenapa Pak Faza bisa tidur di kamarku?"Ini tidak mungkin..! Apa yang dia lakukan di sini?" pikir Caca  berusaha memproses apa yang baru saja dia lihat.

Caca menatap Faza dengan tajam, memastikan jika dirinya dalam kondisi aman.Namun jawaban yang keluar dari mulut Faza justru semakin membuat Caca terpaku, mulutnya  setengah terbuka karena tidak percaya.

"Ada apa?" tanya Faza, dengan nada yang terlalu santai yang membuat Caca semakin panik.

"Kenapa Pak Faza bisa tidur di kamarku?" suara Caca setengah terpekik, matanya masih menatap tajam pada Faza yang kini mulai menyadari situasi yang aneh.

"Ooo...saya pikir ada apa," jawab Faza yang kemudian meregangkan punggungnya dan menyalakan lampu kamar, mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba menjadi tegang.

"Ayo wudu," ajaknya sembari berdiri, seolah tidak terjadi apa-apa. Caca, masih terpaku di tempatnya, hatinya berkecamuk dengan rasa bingungnya.

Tampak Caca menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal, matanya menyapu setiap sudut kamar yang baru saja ia tempati. Namun, alisnya tiba-tiba berkerut ketika menyadari sesuatu yang aneh.

"Tunggu… ini bukan kamarku. Ini kamar Pak Faza! Astaga, apa aku salah masuk kamar?" batin Caca mulai panik, dan tubuhnya mendadak terasa dingin saat rasa malu menjalar begitu cepat.

"Bagaimana aku bisa seceroboh ini? Oh tidak," batin Caca lagi. Saat Caca mencoba menyusun keberanian, tiba-tiba suara lembut namun penuh keheranan itu terdengar, menghentikan detak jantung Caca untuk sesaat.

"Ada apa, Caca? Kenapa gak ambil wudu?" tanyanya, wajahnya menatap Caca penuh tanda tanya. Caca tak berani lama-lama membalas tatapannya. Tanpa berkata-kata, hanya kalimat pendek yang mampu keluar dari mulut Caca.

"Oo… iya, Pak," jawab Caca tergagap, dengan  suara bergetar. Tanpa membuang waktu, Caca  berlari keluar dari kamar Faza dengan wajah yang memerah seperti tomat.

"Eemm...kenapa aku bisa salah kamar sih" gumam Caca menahan rasa malunya. Apa yang Pak Faza pikirkan sekarang tentangku?" batin Caca sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Namun, saat Caca berbalik sekilas sebelum keluar, ia sempat melihat kening Faza  berkerut, tanda kebingungan atas tingkah laku aneh Caca. Itu benar-benar hari yang memalukan untuk Caca.

Caca dan Faza baru saja menuntaskan salat subuh berjamaah di rumah, saat hujan deras mengguyur di luar. Hawa dingin menyelimuti ruangan, tapi justru ada rasa hangat yang samar di hati Caca. Ketika Faza mengulurkan tangannya, Caca terpaku, matanya tertuju pada tangan besar yang menggantung di depannya.

"Apa maksudnya? Apa dia ingin aku mencium tangannya?" pikir Caca, jantungnya mulai berdegup lebih cepat. Dalam kebingungannya, Caca ragu-ragu menyambut uluran tangan Faza.

Tangan itu begitu kokoh, sekaligus memancarkan ketegasan, membuat Caca semakin gugup. Ketika jari-jarinya menyentuh tangan Faza, tiba-tiba tangan itu bergerak perlahan ke arah wajah Caca.

"Ini perintah kah..? Apa aku harus mencium tangannya seperti saat akad nikah kemarin?" batin Caca penuh keraguan. Ia menelan ludah, merasa canggung dan sedikit malu. Tapi Caca tidak ingin membuat Faza tersinggung, hingga akhirnya Caca memberanikan diri. Dengan pelan, Caca mencium tangan Faza dengan takzim, sebuah tindakan yang membuatnya teringat kembali pada momen menegangkan  saat ia pertama kali melakukannya di hari pernikahan mereka.

Namun kali ini, ada perasaan berbeda—lebih tenang, lebih penuh makna, meski hatinya masih ragu. "Apa ini bagian dari tanggung jawabku sebagai seorang istri? Atau hanya cara dia menginginkan kedekatan kami?" tanyanya dalam hati, berusaha meredakan detak jantungnya yang tak beraturan.

Faza melipat sajadahnya dengan rapi sebelum bangkit berdiri, berniat meninggalkan ruang salat. Langkahnya tenang, hingga suara lembut namun ragu dari arah belakang memanggilnya.

"Pak Faza..." suara Caca terdiam  sejenak,"maaf..." suara Caca terdengar jelas, penuh getar malu yang sulit disembunyikan. Faza berbalik, alisnya mengerut pelan.

"Maaf untuk apa?" tanyanya, nada suaranya mencerminkan kebingungan. Caca menggigit bibirnya, tampak berusaha menenangkan diri meskipun pipinya mulai merona.

"Maaf, semalam... sepertinya saya salah masuk kamar, Pak Faza," ucapnya tergagap, suaranya hampir tenggelam oleh rasa malunya. Faza terdiam sejenak, kemudian sebuah senyuman kecil terbentuk di sudut bibirnya.

"Untuk ke depannya,"kamu akan seterusnya tidur di kamar saya." Kalimatnya singkat namun cukup membuat Caca terbelalak tak percaya. 

"Maksud Pak Faza...?" tanya Caca, nyaris tak mampu menutupi keterkejutannya. Matanya membesar, mencari kepastian dari pria di depannya. Namun, bukannya menjelaskan, Faza hanya menatapnya dengan sorot mata yang sulit Caca artikan, senyuman tipisnya  menghiasi wajah Faza yang datar. 

Faza lalu berjalan ke dapur, meninggalkan Caca yang masih bergulat dengan pikirannya.

Tak lama Faza keluar dari dapur dengan membawa roti bakar sebagai sarapan pagi mereka.

"Ayo sarapan" ujar Faza sembari menarik kursi dan duduk dengan penuh wibawa.

"Emm.." gumam Caca mengangguk kaku.

Sat Caca dengan canggung mengunyah roti bakar buatan Faza, tiba tiba saja tangan Faza mengulurkan sebuah kartu ATM, ke hadapan Caca. 

"Ini, ambil di dalamnya ada sejumlah uang yang bisa kamu kelola untuk keperluanmu, dan keperluan rumah," ucap Faza membuat Caca semakin syok, menatap kartu berukuran kecil itu.

"Maksudnya...?" Caca lagi lagi dibuat tercengang dengan tindakan Faza yang membuat Caca semakin baper.

Sungguh, Caca benar-benar tidak mengerti dengan sikap Pak dosennya itu. Bukankah Pernikahan mereka hanyalah—sebuah ikatan yang hanya terwujud karena keadaan, bukan karena cinta atau kemauan—tidak seharusnya menciptakan tanggung jawab sedemikian rupa di antara mereka, bukan? Lalu, kenapa dia bersikap seperti seorang suami sejati yang berusaha menunaikan tugasnya? Rasanya sulit dipercaya, bahkan membingungkan.

Caca hanya bisa menatap Faza tanpa kata, mencoba mencari logika di balik tindakannya. Mengapa pak dosennya itu mengulur kartu ATM itu ke arah Caca, seolah itu adalah solusi? 

Tentu hal itu, membuat hati kecil Caca seakin berkecamuk; ini tidak benar. 

Caca berpikir, dia merasa tidak pantas menerima ini semua, dan tidak ingin menerima ini. "Maaf, Pak. Saya tidak bisa menerimanya," ucap Caca dengan suara yang terdengar gugup, tapi Caca berusaha untuk tetap tegas. 

Namun, Faza tak menunjukkan tanda-tanda tersinggung. Matanya lurus menatap Caca  dengan ketegasan yang membuat Caca semakin merasa kecil. 

"Ambil. Karena saya memiliki tanggung jawab atas dirimu," katanya tanpa ragu, nadanya memotong semua argumen yang mungkin ingin  ia utarakan. Caca terpaku. Kata-kata Faza barusan terasa menggema di pikirannya.

"Tanggung jawab?" Batin Caca sembari terus memikirkan ucapan pak dosennya.

"Apa sebenarnya yang dia pikirkan? Kenapa dia seolah merasa berkewajiban dalam hubungan ini yang bahkan tidak pernah kami inginkan?" batinnya terus berkecamuk.

Terpopuler

Comments

Ria Agustina

Ria Agustina

lama up ny tor

2025-04-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!