LIMA BELAS

Angin senja yang lembut menyibak tirai jendela kamar Faza, seolah-olah membawa pesan kelam dari cakrawala yang merona merah memudar menjadi hitam.

Di sudut kamar yang remang, Faza duduk termangu, menatap secangkir kopi yang baru saja ia buat. Asap hangatnya masih mengepul perlahan, bergumul dengan dinginnya udara senja. Tangan Faza sesekali mengusap wajahnya yang tampak kusut, memperlihatkan kelelahan yang mendera.

Malam ini Faza benar benar sendiri, Caca yang masih menginap di tempat Tante Saras membuat rumahnya terasa sepi. Entah kenapa tiba tiba Faza berubah pikiran,selesai salat isya Faza menyusul Caca ke kediaman Saras.

Saat sampai dirumah Saras,Faza disambut oleh Hardi yang tengah duduk santai di teras rumah.

"Loh, Nak Faza,mau jemput Caca. .? Bukannya dia bilang mau bermalam disini" sambut Hardi dengan pertanyaan.

"Iya Om, di rumah sepi," sahut Faza jujur. Hardi tersenyum memaklumi tingkah pengantin baru.

"Caca ada di belakang, sedang berenang. Pergi saja ke belakang, Za" ujar Hardi.

 "Oo..iya Om, gak papa ini, saya langsung ke belakang,Om? " tanya Faza tampak sungkan.

"Gak papa...jangan sungkan, ini juga rumah Caca, berarti juga rumahmu," ujar Hardi, membuat hati Faza menghangat.

Faza lantas ke belakang menuju kolam renang.

Mata Faza menyipit saat melihat istrinya sedang berenang bersama seorang pria, yang tadi Faza lihat di kafe.

Caca yang sedang berusaha menenangkan pikirannya terkejut saat melihat Faza muncul tiba-tiba di hadapannya.Caca langsung menepi dengan gugup, perasaan tidak nyaman menyeruak, begitu wajah Faza terpampang jelas.

"Pak Faza...?" gumam Caca pelan, menatapnya penuh heran dan tidak percaya.

"Ayo naik, kita pulang," ajak Faza dengan nada serius yang tak bisa ditawar. Suaranya mengandung otoritas yang menekan Caca. 

"Tapi, Pak...sayakan sudah izin nginap disini" Caca mencoba menolak ajakan Faza. Caca tak mau ikut pulang, Caca masih ingin menghabiskan waktu dengan Zio.

Namun, Faza mengucapkan satu kata, lebih tegas kali ini. "Pulang." Nada dingin itu membuat dada Caca bergemuruh, hingga suara seseorang menyela suasana penuh ketegangan di antara caca dan Faza.

Zio, yang entah sejak kapan memperhatikan, berenang mendekat ke arah Caca dengan tatapan bingung yang sedikit marah.

"Ada apa ini? Kenapa kamu memaksa Caca?" Suaranya terdengar tajam, memberikan sedikit rasa aman di tengah kekacauan emosi.

"Apa tindakan saya salah, jika menjemput istri saya?" Faza akhirnya membuka mulut, suaranya sedingin angin malam yang menusuk. "Istri...?" Zio tampak terpana. Ekspresinya berubah, kebingungan begitu jelas terpancar di wajahnya. 

"Dek, kamu bisa jelasin maksud dari ucapannya?" Suaranya menusuk, seolah memaksa jawaban atas ucapan Faza.

"Meem,Dia Pak Faza, suami Caca. Dia itu dosen yang aku ceritain, Kak," bisik Caca lembut di telinga Zio.

"Hem...jadi ucapannya itu benar, lalu kapan kalian menikah? " tanya Zio penasaran

"Ceritanya panjang, tanya Mama ajah,ya" ujar Caca, sambil tersenyum. Zio menyipit menggelengkan kepalannya.

"Caca... kamu mendengar saya?" Suara Faza terdengar begitu tegas, menandakan batas yang tak boleh Caca langgar dengan pria lain. Tanpa menoleh, Caca bangkit dengan balutan pakaian renang yang mini dan menempel sempurna di lekuk tubuhnya.

"Astagfirullah," desah Faza dalam hati, dengan gerak cepat dia meraih handuk yang tersampir di kursi dan melilitkannya pada tubuh Caca.

"Di mana rasa malumu, Caca? Berenang dengan pria, lupa kamu jika statusmu kini bukan lagi gadis bebas?" Dengan nada penuh kekecewaan, Faza berusaha menegaskan norma-norma yang seharusnya dijaga oleh istri.

"Kenapa harus salah? Aku hanya berenang bersama kakakku, kami memang selalu bersama sejak kecil," balas Caca, suaranya tercampur kebimbangan, tak ingin dipojokkan oleh sang suami. Faza hanya bisa menghela nafas panjang, meredam kekesalan yang kian memuncak di dadanya.

Sementara Zio, masih terbengong di dalam kolam saat Faza membawa Caca begitu saja dari hadapannya.

"Heem...dasar pria..." Zio tersenyum melihat kelakuan Caca dan Faza.

"Ganti bajumu,kita pulang" titah Faza tak ingin dibantah. Caca tak menyahut, namun tetap mematuhi apa yang Faza ucapkan.

Setelah Caca berganti pakaian, Faza dan Caca berpamitan dangan Saras dan Hardi sebagai pemilik rumah.

Mobil melaju, namun suasana di dalam mobil itu seperti gua yang pekat dan senyap, hening layaknya kuburan, tak ada obrolan, hanya suara mesin yang menyapa dalam kebisuan. Beberapa menit berlalu, suara Faza tiba tiba  menggema, mengoyak keheningan yang menyelimuti. 

"Lain kali, kamu tidak boleh pergi tanpa seizin saya." Kata-katanya datang bagai petir di langit yang cerah, membuat Caca menoleh dengan pandangan tak percaya. Keheranan melanda Caca, entak sejak kapan Pak Faza berubah menjadi sosok yang overprotektif.

"Saya memberi kebebasan padamu, tapi itu bukan berarti kamu dapat berbuat semau hati,Ca" Faza melanjutkan, dengan suara datar, jelas terlihat dia geram dengan perilaku Caca yang semakin tak terbatas sejak mereka menikah. "Apa kamu tahu? Suami itu bisa jadi surga atau neraka bagi seorang istri. Keridhoan suami adalah keridhoan Allah. Istri yang tidak diridhoi suaminya karena tidak taat adalah wanita yang durhaka dan kufur nikmat," ucap Faza dengan nada yang tegas, seakan memberikan kultum tiba-tiba.

Caca mengerutkan dahi, matanya menyipit, menatap Faza dengan campuran rasa terkejut. Tidak ada sedikit pun persetujuan dalam pandangannya yang tajam, berubah total dari kesejukkan awal perjalanan yang kini seolah berubah menjadi medan pertempuran.

"Lah, emang saya ngelakuin apa, Pak? Orang cuma berenang bareng Kak Zio doang," sangkal Caca dengan nada kesal, merasa tuduhan sebagai istri durhaka itu tak masuk akal. Caca benar-benar tidak mengerti, kenapa Faza harus membesar-besarkan masalah sepele seperti ini.

"Terus kamu pikir saya ridho? Tubuh istri saya dilihat orang, walau Zio itu sepupumu?" balas Faza tajam, nadanya seperti menusuk, seolah dia ingin memastikan Caca memahami kesalahannya. Tapi di telinga Caca, semua itu terasa seperti tuntutan yang berlebihan. 

"Emang hubungan kita apa, Pak? Suami istri beneran?" Suaranya naik sedikit, kata-katanya terasa seperti percikan api yang tak bisa ia tahan. "Emang Pak Faza pernah perlakukan saya sebagai istri? Bapak nyentuh saya di ranjang aja nggak pernah!" Ucapan itu terlontar begitu saja dari mulut Caca, seakan bibirnya berbicara lebih dulu daripada otaknya.

Faza menoleh cepat, matanya menatap Caca lekat, seperti sedang terkejut, membuat Caca mendadak merasa kecil. Tatapan itu seperti mencoba menembus dinding keberaniannya.

"Saya anggap ucapan kamu barusan, memberi lampu hijau untuk saya," ucap Faza dengan tenang namun sarat makna, sambil terus  menambah kecepatan mobilnya. Kata-katanya memukul keras, dan Caca hanya bisa menelan ludah. Panik mulai menjalari pikirannya saat ini.

"Haa… emang aku tadi ngomong apa?" batin Caca, mencoba mencerna ucapannya kembali, yang entah bagaimana terucap begitu saja. Matanya melirik gugup ke arah Faza, mencari jawaban di balik tatapan dinginnya, namun ia justru mendapati dirinya semakin tenggelam dalam kegugupan.

Faza seketika melunak saat melihat wajah Caca yang memucat.

"Apa kamu tahu, tanggungjawab saya sebagi  suami itu tidak ringan, seorang suami harus memastikan ketaatan seorang istri pada suaminya. Kamu juga harus tahu Ca, bahwasannya kewajiban seorang istri dalam urusan suaminya itu, setahap setelah kewajiban dalam urusan agamanya. Hak suami diatas hak siapapun setelah hak Allah dan Rasul-Nya, termasuk hak atas dirimu, dan  kedua orang tuamu. Mentaati suami dalam perkara yang baik menjadi tanggungjawab terpenting seorang istri," ujar Faza. 

"Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang wanita melaksanakan shalat lima waktunya, melaksanakan shaum pada bulannya, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja ia kehendaki.” (HR Ibnu Hibban dalam Shahihnya).

Tak tanggung tanggung Faza pun lantas menyebutkan hadis yang membuat Caca menelan ludah. Caca terdiam tak membantah ucapan Faza,setelah suaminya itu menggunakan dalil untuk menyerangnya.

Tak lama setelah mereka tiba di rumah, Faza segera membawa Caca ke kamar, memintanya untuk mengambil air wuduh. Meskipun ragu, Caca menurut tanpa banyak bicara. Kemudian, Faza mengajaknya untuk melaksanakan salat sunah dua rakaat, yang telah mereka abaikan selama sebulan.

Selama menunaikan salat, Caca tidak bisa konsentrasi sama sekali, pikirannya berkelana tanpa arah. Setelah salat selesai, Faza berbalik menghadap Caca, mengulurkan tangan sebagai isyarat salam. Dengan gerakan penuh kasih sayang, Faza menarik Caca mendekat dan mencium keningnya dengan lembut. 

Kejutan dari tindakan Faza membuat Caca membeku, badannya terasa mendidih dan denyut nadinya berpacu kencang. Dalam hitungan detik yang terasa seperti melayang, Faza menggendong Caca bagaikan bidadari yang lemah lembut, meletakkannya dengan hati-hati di atas ranjang. Tubuh Caca bergetar di bawah tatapan Faza yang mendalam.

Namun, alih alih romantis, Caca malah bukannya berbaring pasrah, melainkan langsung duduk meringsut.

"Pak Faza mau ngapain...?" tanyanya, suaranya tergetar saat Faza mulai membuka mukenah Caca. Rasa takut memenuhi matanya yang memandang Faza tak berkedip.

"Kamu pikir kita mau melakukan apa setelah salat sunah dua rakaat..?" balas Faza dengan tatapan mengintimidasi, membuat bulu kuduk Caca merinding. "Bisa besok saja, Pak?" Caca mencoba menawar dengan suara yang terdengar hampir tak berdaya, sambil menyeka keringat dinginnya, namun kata kata Caca itu hanya terdengar seperti lelucon bagi Faza.

"Gak bisa,kamu mau nyiksa saya. Siapa suruh kamu memancing, harimau yang sedang tidur?memakai pakaian renang seperti itu" kata Faza dengan nada tegas.

"Baju renang memang seperti itu," jawab Caca mencoba membela diri, namun hanya menambah kekesalan Faza. Tanpa peringatan, Faza meraih wajah Caca dan membungkam protesnya dengan ciuman yang penuh dominasi, menyegel setiap kata yang mungkin akan terlontar dari bibirnya.

Caca menatap tajam sambil berusaha mendorong tubuh Faza yang lebih besar daripadanya, tapi usahanya sia-sia, seakan semua kekuatannya menguap ke udara. Napasnya tercekat, rasa pasrah mulai menyelimutinya. Perlahan-lahan, ia mulai kehilangan kontrol atas dirinya sendiri, terbuai oleh sentuhan-sentuhan Faza yang begitu penuh nafsu. Tangan Faza yang dingin menyusup perlahan di bawah pakaian Caca, melucuti satu per satu dengan sabar, seolah sedang membuka sebuah hadiah yang tak sabar ingin ia nikmati.

"Lain kali, jangan perlihatkan tubuhmu ini pada pria lain, mengerti...?" bisik Faza dengan suara rendah yang mengandung ancaman dan keinginan. Faza menundukkan kepala, menikmati setiap lekuk tubuh Caca yang mulus dan memikat, seolah itu adalah kerajaan pribadi yang baru saja ia taklukkan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!