Caca menatap dalam ke mata hitam Faza, namun, dari kedalaman mata Faza yang tenang, tidak ada tanda-tanda gurauan, yang terlihat tatapan keseriusan.
"Apa maksud semua ini, Pak Faza?" teriak batin Caca, suaranya tercekik di kerongkongan, tidak mampu melewati bibir merahnya.
"Eee...ayo masuk, Tante butuh konfirmasi terkait pernyataan Nak Faza" ujar Saras membawa Faza dan Caca masuk.
Setelah itu, Saras meminta Caca untuk membuatkan teh. Sementara di ruang tamu, terlihat Faza,Saras dan Hardi tengah berbicara serius. Entah apa yang mereka bicarakan, membuat Caca merasa penasaran. Tak lama Faza pamit undur diri, padahal teh yang Caca buat belum sempat disajikan.
"Om,Tante, Saya pamit, karena masih ada urusan,"membuat hati caca sedikit kecewa karena Faza tak ikut bermalam di rumah Saras. Lagi lagi, Caca harus sadar diri, jika Faza bukan miliknya,hubungan mereka hanya status diatas kertas belaka.
Faza mendekat pada Caca yang tarlihat sedang melamun.
"Maaf, sya pulang, gak bisa ikut nginap di sini,"
Caca mengangguk lalu masuk setelah mobil Faza melaju meninggalkan kediaman Hardi.
Keesokan harinya, Caca dan Keluarga Hardi wijaya melaju ke bandara, Caca mengendarai mobil milik Zio, sesuai permintaan dari Zio.
Sesampainya di bandara Zio langsung memeluk Sarah dan Hardi, tak lupa Zio memeluk Caca,wanita kedua yang Zio sayangi setelah mamanya.
"Ma, Pa, Zio jalan dulu sama Caca, Mama, Papa pulang dulu aja," usir Zio pada kedua orang tuanya.
"Jadi Papa,Mama gak boleh ikut ni?" Zio tersenyum menatap sayang pada Sarah dan Hardi.
"Sekarang biarin, Zio sama Caca dulu ya Pa,Ma" pinta Zio setengah memohon meminta pengertian Sarah dan Hardi.
"Hem..mama tahu, ya sudah pergi sana. Hati hati" ucap Sarah pada kedua kedua anaknya.
"Daaa...Pa..Ma.." Zio tertawa sambil melajukan mobil kesayangannya.
"Kita mau kemana Kak?" tanya Caca, penasaran.
"Ada deh" goda Zio sambil mencubit hidung Caca.
Mobil berhenti tepat di sebuah kafe, Zio dengan cepat membukakan pintu untuk, Caca. Caca berjalan dengan bergelayut manja di lengan Zio.
Saat memasuki kafe Caca tak menyadari sepasang mata hitam menatap Caca dengan mata tajamnya.
"Caca..." Faza menyipit menatap Caca bergelayut manja di lengan seorang pria tampan dengan tubuh proporsional,"siapa pria itu.., kenapa mereka begitu dekat?" Batin Faza tak mempercayai jika Caca bisa bermesraan dengan seoran pria di tempat umum.
"Apa dia kekasih,Caca?" batin Faza,mulai menerka nerka.
"Kamu lihat apa Za?" tanya Alfin merasa heran karena Faza terlihat begitu gelisah di tempat duduknya. Faza menoleh menatap Alfin sekilas.
"Oo...bukan apa apa," jawab Faza, singkat sambil mencoba fokus pada pembicaraan mereka. Tapi mata Faza, tanpa sadar, beberapa kali melirik ke arah meja Caca yang terlihat begitu menikmati kebersamaanya denga pria yang Faza tidak tahu itu siapa.
Faza tidak ingin, tetapi entah kenapa pandangannya terus tertarik ke sana,kemeja Caca, seolah hati Faza sendiri mencari tahu sesuatu yang tak ingin ia akui.
Belum lagi terurai pikiran kacaunya, tiba-tiba Alfin mengeluarkan sesuatu dari saku kemejanya. Sebuah cincin berkilau dalam genggamannya.
Dengan mata berbinar Alfin meminta pendapat Faza.
"Bagaimana menurutmu cincin ini?" tanyanya, wajahnya penuh semangat. "Aku sudah memutuskan akan melamar Caca, setelah dia menyelesaikan studinya,Za." Ucapannya membuat nafas Faza tercekat. Rasanya seperti dihantam keras di dada hingga semua udara lenyap.
Apa yang baru saja Faza dengar, bahwa Alfin sahabatnya akan melamar Caca. Istri dari Faza.
Faza mencoba meredam segala kekacauan di kepalanya dengan menjawab asal.
"Biasa aja, desainnya terlalu pasaran," jawab Faza, datar, tanpa rasa, tanpa peduli bagaimana kata-kata itu terdengar tak berempati. Sebenarnya Faza, hanya ingin mengakhiri percakapan tentan lamaran Alfin dengan Caca.
Faza merasa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Faza, mengenai ucapan dan niat yang Alfin utarakan. Bagaimana mungkin wanita yang seharusnya menjadi istri bagi Faza, justru mampu menarik perhatian pria lain? Ironisnya, Caca begitu berharga di mata pria lain, namun di hati Faza... Caca tak pernah benar-benar mendapatkan tempat.
"Ada apa ini?" batin Faza, namun ia tak sanggup membahasnya lebih jauh.
Sementara di sudut lain, Caca tampak bahagia, tawa lepasnya menggema, mengoyak ketenangan yang coba Faza bangun. Faza hanya bisa mematung ketika tak sengaja melihat Zio, memasangkan kalung batu giok yang dirangkai indah dan berkilauan di leher Caca. Tak cukup sampai di situ, gelang-gelang giok berkilauan juga melingkar lembut di pergelangan tangan Caca. Semuanya dipasangkan dengan tangan Zio yang penuh perhatian.
"Selamat ulang tahun, peri cantik," bisiknya sambil mengelus lembut puncak kepala Caca. Tatapan Zio penuh rasa sayang, seolah dunia ini hanya milik mereka berdua. Sontak Faza berdiri di kejauhan, memperhatikan adegan itu dengan hati yang semakin berat.
Tampak Caca tertegun, dan matanya berkaca-kaca. Air mata hampir tumpah dari matanya, tetapi itu bukan tangisan luka, melainkan rasa haru yang meluap,terlihat jelas dari kaca mata Faza. Namun, Faza tak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan.
"Makasih, Kak, kamu selalu ingat hari ulang tahunku," ucap Caca sambil memeluk Zio dengan penuh kehangatan. Entah kenapa dada Faza seakan mendidih, melihat Caca dengan begitu santainya memeluk seorang pria.
"Selama Kakak hidup, Kakak akan selalu mengingatnya. Jangan menangis,heem... Kakak, Papa, dan Mama sangat menyayangimu," jawab Zio sambil menghapus pelan air mata yang nyaris jatuh dari wajah Caca. Wajahnya lembut, suaranya penuh ketulusan. Itu melukai sesuatu di dalam diri Faza—sesuatu yang tak bisa kujelaskan dengan mudah.
Faza tahu Caca punya kisah yang berat. Tak pernah sekalipun Wijaya, ayahnya, atau bahkan keluarganya, menempatkan Caca dalam hatinya. Tetapi tetap saja, caranya memandang Zio, pelukan erat itu... Semakin lama Faza menyaksikannya, semakin banyak pertanyaan yang mengganggu pikirannya.
Faza menghela napas panjang. Panas menjalar dalam tubuhnya—tidak, ini bukan panas biasa, ini rasa gerah melihat kedekatan yang tak ia tahu bagaimana harus dia cerna. Pada akhirnya, Faza menyerah pada hasrat untuk menginterupsi mereka. Tangannya refleks meraih ponsel, menekan nomor yang sudah kuhafal luar kepala. Saat sambungan mulai tersambung, pikirannya kacau balau, tetapi ada satu hal yang pasti. Faza harus tahu sejauh mana kejujuran Caca sebagai istrinya.
Caca menatap layar ponselnya dengan alis yang berkerut, perasaan tidak nyaman mulai merayap di hatinya." Pak Faza" batun Caca sebelum menekan tombol hijau.
"Iya Pak Faza..?" Sapa Caca,pelan.
"Kamu di mana?" suara Faza terdengar datar, namun dinginnya menusuk telinga Caca. Sontak Caca langsung menyipitkan mata, mencoba membaca apa yang tersembunyi di balik nada bicara pak dosennya itu.
"Lagi di luar,di kafe JJ. Ada apa, Pak?" jawab Caca dengan suara tenang, meski hatinya sebenarnya dipenuhi kebingungan.Tak ada jawaban, yang terdengar hanya suara musik latar.
Kening Caca berketut, saat telinga Caca menangkap sesuatu yang membuat dadanya terasa berat. Musik latar yang mengalun dari ponsel Faza... Itu adalah musik yang sama dengan yang kini menggema di kafe tempat Caca berada, tempat Caca dan Zio sedang merayakan ulang tahunnya.
Mata Caca spontan bergerak, menjelajahi setiap sudut kafe, berharap menemukan keberadaan Faza. Namun, yang dia lihat hanyalah wajah-wajah asing yang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Tidak ada tanda-tanda Faza di sana, sama sekali. Tapi kenapa musiknya terdengar sama? Apa dia benar-benar dekat, atau hanya kebetulan musik latarnya saja yang sama.
Pertanyaan itu menggedor pikiran Caca, namun untuk saat ini, Caca hanya bisa menatap ponsel di tangannya sambil terus merasa dikepung rasa gelisah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments