Deru nafas Faza seakan tercekat. Dalam hati kecilnya, Faza merasa gelisah. Sebagai seorang yang agamis dan taat agama, dia tahu bahwa memeluk wanita apa lagi mahasiswinya, yang bukan mahramnya adalah sebuah tindakan yang bisa dianggap melanggar ajaran agamanya. Namun, di sisi lain, sebagai manusia yang memiliki jiwa sosial dan empati, dia tidak bisa membiarkan Caca terus menderita dan berpotensi kehilangan nyawanya karena hipotermia.
Dengan napas yang berat, Faza menggeser sedikit tubuhnya mendekat ke arah Caca. "Ca, maaf, aku akan membantumu, tapi kamu harus tahu ini hanya karena keadaan darurat," ucap Faza sambil memandang lurus ke mata gadis itu, mencoba menegaskan batasan yang ia pegang teguh.
Caca hanya mengangguk lemah, terlalu kedinginan untuk bisa berbicara. Faza menghela napas, lalu dengan hati-hati, dia memeluk Caca, mencoba memindahkan sebagian kehangatan tubuhnya kepada gadis itu. Faza merasakan degup jantungnya yang berpacu, bukan hanya karena dinginnya udara, tetapi juga karena perasaan bersalah dan kekhawatiran yang muncul.
Sambil memeluk tubuh Caca yang menggigil, Faza berdoa dalam hati, memohon agar tindakannya ini dilihat sebagai tindakan kemanusiaan semata, dan agar ia dan Caca diberi perlindungan serta kekuatan. Setiap detik terasa seperti membeku, namun Faza tetap bertahan, memegang teguh pada niat baiknya untuk menyelamatkan nyawa mahasiswinya, sambil berjuang melawan rasa takut akan dosa yang terus menghantuinya.
“Maaf…” bisik Faza, nyaris tak terdengar. Tangan besarnya bergerak perlahan, setiap gerakan terasa seperti pertentangan batin. Namun saat Faza menarik tubuh Caca ke pelukannya, Faza merasakan bagaimana dinginnya tubuh Caca.
Perlahan Faza mengeratkan pelukannya, membatu menghangatkan tubuh Caca yang masih menggigil,meski tetap terbungkus dalam lapisan canggung dan rasa bersalah.
Faza tak tahu, apa yang ia lakukan itu, Benar atau salah, ia hanya berharap kehangatan itu cukup untuk menenangkan mereka berdua—cukup untuk membuat malam itu lebih bisa mereka lewati tanpa menyesali apa yang harus mereka putuskan dalam situasi seperti itu.
Di tengah kebekuan malam, Nara, yang sedari tadi diam, kini ikut berbicara dengan gigil,terdengar pada suaranya yang terbata pata.
"Ma...maaf Pak, sudah merepotkan Pak...Faza, Saya tahu ini seharusnya tidak terjadi” ucap Caca dengan Gigi-gigi beradu menahan gigil, menahan keganasan udara dingin yang tak kenal ampun.
"Tidak, saat ini kondisinya memang memaksa kita untuk di posisi seperti ini, Jangan menyerah pada dingin yang menyusup ke tulangmu, tariklah nafas dalam-dalam dan biarkan tubuhmu rileks," bisik Faza dengan suara yang menenangkan, membimbing Caca dalam upaya meredakan gemetar yang mengguncangnya.
Dengan penuh kepatuhan, Caca menuruti setiap arahan pak dosennya yang dikaguminya itu. Perlahan, ketegangan dalam dirinya mulai mereda; wajahnya yang semula pucat pasi kini kembali berwarna, mengusir kesan biru yang menghantui bibirnya. Kelopak matanya berat, seolah-olah masing-masing denyut nadinya menghantarnya lebih dekat ke alam mimpi, hingga akhirnya, dalam kehangatan pelukan Faza, dia menyerahkan diri pada lelap yang penuh ketenangan. Akhirnya malam mengantarkan mereka ke alam mimpi.
Di tengah malam yang sunyi, lampu emergensi mengintip dari balik jendela sebuah gubuk tua di pinggiran desa.Suara jangkrik saling bersahutan.
Saat fajar menyingsing, suasana berubah mencekam mengurung hati Faza Herlambang dan mahasiswinya, Caca, saat mereka ditemukan berduaan oleh warga yang geram.
Caca yang masih terlelap dalam pelukan Faza, sontak terduduk meringsut ketakutan.
Suara kegaduhan yang memecah keheningan. Sebelum mentari merekah di ufuk timur, ratusan langkah kaki memadati area sekitar gubuk sederhana tempat Faza dan Caca mencari perlindungan. Bara kemarahan para warga desa terlihat jelas dari sorot mata mereka yang menyorot tajam.
"Seret mereka keluar,jangan dikasih ampun! Orang-orang luar hanya akan meracuni tatanan kampung kita," teriak salah seorang warga dengan suara yang memekakkan telinga, sambil mengangkat tangan seolah hendak menyerang.
"Bapak-bapak, tolong dengarkan kami, kami hanya berlindung dari hujan semalam," Faza mencoba menjernihkan situasi dengan suara yang bergetar. Namun, desas-desus yang berapi-api telah terlalu menguasai.
"Berlindung? Sambil berpelukan? Kalian pikir kalian bisa menipu kami dengan taktik kota kalian itu? Tunjukkan pada kami jika hubungan kalian memang sah!" bentak warga lain dengan wajah garang. Faza dan Caca saling berpandangan, mencari kekuatan di tengah badai kekacauan itu.
"Tidak, Pak, sungguh, kami tidak..." Faza mencoba kembali berbicara tapi terputus oleh lautan teriakan marah.
"Sudah cukup, jangan biarkan mereka lepas! Kita bawa saja mereka ke balai dan kita putuskan nasib mereka di sana!" seru warga, memotong asa Faza dan Caca untuk mempertahankan kebenaran mereka.
Panasnya bara kebencian dan ketidakpercayaan mencekam udara pagi, membenamkan desa dalam bayang-bayang kekacauan.
Tanpa memberi ruang untuk penjelasan, warga desa bersama tetuah adat menuntut mereka untuk menikah sebagai penebusan dosa yang dianggap telah mengotori kehormatan desa.
Air mata Caca mengucur, rasa takut, dan kebingungan menyatu, seolah menjadi saksi bisu atas cobaan yang harus mereka hadapi. Tanpa jalan keluar, mereka dihadapkan pada pilihan yang tak pernah mereka rencanakan seumur hidupnya.
Pertanyaan besar tergantung di benak keduanya; akankah mereka menerima paksaan ini, sebagai garis kehidupan baru,untuk mereka jalani? atau akankah mereka hanya mencari celah untuk membebaskan diri mereka dari belenggu yang tak diinginkan setelah kembali ke hiruk pikuk kota?
Di tengah hiruk pikuk balai adat yang dipenuhi oleh ratusan mata menatap, Caca duduk lesu dengan mata berkaca-kaca. Faza, yang duduk di sebelahnya, juga tampak gugup dengan keringat yang mengucur di dahinya. Keduanya dipaksa tanpa persetujuan mereka sendiri, sebuah tradisi yang harus mereka patuhi.
Dengan tangan yang gemetar, Caca mengambil ponselnya dan menekan nomor ayahnya, Wijaya. Setelah beberapa detik yang terasa seperti abad, suara Wijaya terdengar di ujung sambungan. Seorang tetuah adat mendekati Caca dan mengambil alih pembicaraan, menjelaskan situasi yang memaksa kedua muda-mudi itu untuk menikah sebagai penyelesaian atas sebuah kesalahan yang berujung pada penangkapan mereka.
Wijaya, yang mendengarkan dengan serius, akhirnya menjawab dengan nada pasrah,
"Tidak masalah Pak, jika itu aturannya, maka nikahkan saja. Untuk wali, saya serahkan ke wali hakim." Mendengar jawaban itu, Caca merasakan dunianya runtuh. Air mata yang selama ini ditahannya mulai menetes, membasahi pipinya yang pucat.
Faza, yang merasakan kecemasan yang sama, menoleh ke arah Caca. Dalam diam, mereka berbagi rasa takut dan kehilangan atas kebebasan memilih nasib sendiri. Keduanya terikat oleh keputusan yang bukan mereka buat, di hadapan kerumunan yang menyaksikan mereka terjerat dalam tradisi yang kaku.
Sementara itu, tetuah adat mengumumkan bahwa wali hakim akan segera datang untuk melanjutkan prosesi pernikahan yang terasa lebih seperti hukuman bagi dua hati yang tak pernah menyatu. Caca menundukkan kepala, mencoba menenangkan diri, sementara Faza hanya bisa memandangi kerumunan dengan pandangan yang hilang, kedua hati mereka terasa hampa di tengah gemuruh lontaran cemoohan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments