Hari kedua sebagai panitia asrama dimulai dengan kejutan yang tidak enak.
Jam empat pagi, saat mereka masih terlelap, tiba-tiba pintu kamar diketuk keras.
TOK TOK TOK!
"Hey bangun, kalian harus segera ke aula sekarang juga!" suara salah satu senior terdengar tegas.
Aresha membuka mata dengan wajah kusut. "Astaghfirullah, aya naon deui sih?"
Aurora bergumam, "Ini mah beneran sekolah militer kayaknya jirr."
Mereka berlima menyeret diri keluar dari kamar, masih dalam keadaan ngantuk berat. Begitu sampai di aula, mereka melihat semua panitia asrama lainnya sudah berkumpul.
Di depan, berdiri Ustadz Malik dan Ustadzah Rahma dengan ekspresi serius.
"Ada yang ingin saya tanyakan," kata Ustadz Malik, tatapannya menyapu semua yang ada di aula. "Siapa di antara kalian yang mengambil makanan dari dapur tanpa izin semalam?"
Suasana langsung tegang.
Aurora dan Aresha saling pandang. Mereka memang sering bikin ulah, tapi kali ini bukan mereka yang melakukannya.
"Tidak ada yang mau mengaku?" suara Ustadz Malik semakin dingin.
Santri-santri mulai berbisik pelan. Beberapa ada yang tampak gelisah, tapi nggak ada yang berani angkat tangan.
Tiba-tiba, seorang santri laki-laki yang duduk di belakang berdiri. Namanya Fikri, salah satu santri kelas atas yang dikenal pendiam.
"Saya yang melakukannya, Ustadz," ucap nya sembari menunduk
Semua mata langsung tertuju padanya.
Ustadz Malik menatap tajam. "Kenapa kamu melanggar aturan?"
Fikri menghela napas panjang sebelum menjawab. "Karena saya lapar, Ustadz."
Ustadz Malik terdiam sejenak, lalu bertanya lagi, "Kenapa kamu tidak meminta izin?"
Fikri kembali mengalihkan pandangannya ke lantai. "Karena saya tahu... percuma saya minta izin, kalo pada akhirnya nggak akan diizinkan."
Jawabannya membuat suasana aula makin sunyi.
Aurora yang biasanya suka bercanda, kali ini benar-benar serius.
"Anjir, kasian juga dia," bisiknya ke Abila.
Abila mengangguk kecil. "Kayaknya dia punya masalah, deh."
Ustadzah Rahma akhirnya angkat bicara. "Fikri, setelah ini ikut saya ke kantor. Kita perlu bicara lebih lanjut."
Fikri mengangguk, lalu berjalan keluar aula dengan wajah datar.
Setelah dia pergi, Ustadz Malik kembali menatap para panitia. "Saya harap kejadian seperti ini tidak terulang lagi. Kalian semua sudah diberi tanggung jawab sebagai panitia. Bukan berarti kalian bisa berlaku seenaknya. Kembali ke kamar masing-masing dan siapkan diri untuk tugas hari ini."
Semua bubar dengan perasaan aneh di dalam diri masing-masing.
Saat mereka berlima kembali ke kamar, suasana masih hening.
Arumi akhirnya membuka suara. "Kalian ngerasa nggak sih... Kalo ada yang janggal?"
Aresha mengangguk. "Iya, gue juga mikir gitu. Kayaknya ada alasan lain kenapa Fikri sampai nekat nyuri makanan."
Ayesha menyandarkan diri ke dinding. "Gue penasaran, tapi kayaknya kita gak bisa ikut campur dehh."
"Tapi kalau dia memang butuh bantuan, gimana?" Aurora mengangkat alis.
Suasana makin sunyi.
Mereka mungkin terkenal sebagai pembuat onar, tapi ada satu hal yang selalu mereka pegang, mereka nggak bisa diam aja kalau ada orang yang membutuhkan pertolongan.
Dan sepertinya, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar di asrama Al-Ihsan.
_______
Sejak kejadian pagi itu, nama Fikri terus terngiang di kepala mereka berlima. Ada sesuatu yang terasa aneh.
Malam harinya, saat jadwal istirahat tiba, mereka berlima berkumpul di kamar.
Aurora duduk di lantai sambil melipat tangan di dada. "Jadi, gimana nih? Arurang mau selidikin atau diem aja?"
Aresha berdecak. "Aing mah panasaran sumpah na ge. Budak eta pasti punya alasan kuat kenapa dia nekat ambil makanan."
Ayesha mengangguk. "Bener. Gue juga ngerasa ada sesuatu yang gak beres."
Arumi menatap mereka satu per satu. "Tapi kalau kita ikut campur dan ketahuan, kita bisa kena hukuman, lho."
Abila yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara. "Tapi kita juga gak bisa tutup mata kalau ada sesuatu yang salah di sini."
Hening sejenak.
Lalu Aurora bertepuk tangan kecil. "Oke, berarti fixs. Kita harus cari tahu, biar nggak mati penasaran."
"Heeh, aing setuju."
Mereka pun mulai menyusun rencana.
---
Keesokan harinya, mereka mulai mencari informasi tentang Fikri.
Aurora yang terkenal paling sok asik mencoba mendekati beberapa santri senior.
"Hey, kakak-kakak kece," sapanya sok manis ke beberapa santri laki-laki yang lagi duduk di teras. "Gue mau nanya-nanya dikit, nih, boleh nggak?."
Salah satu dari mereka, Reza, menaikkan alis. "Nanya apa?"
"Ada yang tahu gak soal Fikri? Kayaknya dia anak yang pendiam banget, ya?"
Reza saling pandang dengan temannya, lalu menunduk. "Fikri itu..."
Aurora menunggu jawaban.
"Tahun lalu dia hampir dikeluarkan dari sini," lanjut Reza.
Aurora terkejut. "Hah kok bisa? Kenapa?"
"Dia pernah ketahuan kerja di luar asrama secara diam-diam."
Aurora makin bingung. "Kerja? Emang boleh?"
"Ya nggak boleh, lah. Makanya dia kena masalah. Tapi katanya dia kerja buat alasan tertentu."
Aurora makin penasaran. "Alasan apa?"
Reza menggeleng. "Nggak ada yang tahu pasti. Yang jelas, sejak kejadian itu, dia jadi lebih pendiam dan tertutup."
Aurora mengangguk paham. "Oke, makasih infonya, Kak."
Begitu dia kembali ke kamar, Aurora langsung cerita ke yang lain.
"Wah, berarti dia punya masalah keuangan," ujar Abila.
Aresha menyandarkan diri ke tembok. "Yaudah, kita cari tahu lebih lanjut."
Ayesha mengangkat tangan. "Tapi pelan-pelan, jangan sampai dia curiga."
Mereka berlima mengangguk.
Mereka nggak tahu apa yang akan mereka temukan, tapi satu hal yang pasti, mereka tidak akan tinggal diam.
Dan sepertinya, petualangan mereka di asrama baru saja dimulai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments