Hari kedua di Al-Ihsan dimulai lebih berat dari yang mereka kira. Setelah shalat subuh dan kajian pagi, mereka harus ikut kegiatan bersih-bersih asrama.
"Serius yeuhh?" gumam Aresha sambil menatap sapu di tangannya malas.
"Lo pikir didieu ada asisten rumah tangga?" balas Ayesha sembari mulai nyapu lantai kamar.
Arumi mendengus malas. "Gue bisa bersihin kamar sendiri, tapi nga bersihin kamar mandi? Mbung teuing!"
"Teu bisa kitu?!" Abila melirik tajam. "Matakan dirumah teh belajar bebersih yang lain?!"
"Tapi kan, di rumah mah, kamar mandinya nggak banyak gini."
Sementara itu, Aurora udah berdiri di depan wastafel, tangannya bersedekap. "Saha yang mau ambil tugas bersihin kloset?"
Lima detik.
Sepuluh detik.
Tak ada yang mengangkat tangannya.
Arumi akhirnya mendecak. "Udahlah, digilir aja, besok siapa, lusa siapa. Hari ini biar gue yang bersihin."
Aresha dan Aurora langsung tepuk tangan. "Mantap! Gue doain lo kuat!"
Arumi mendelik. "Bantuan, anying!"
Setelah beres bersih-bersih, mereka kembali ke aula untuk kegiatan hafalan. Tapi sebelum mereka sempat duduk dengan tenang, seorang santri senior datang menghampiri mereka.
"Eh, kalian yang kembar lima, kan?"
Lima bersaudara itu menoleh bersamaan.
Santri itu tertawa kecil. "Lucu juga ya, gerakannya bisa kompak kayak gitu."
Aresha melipat tangan di dadanya. "Terus, ada apa, Kak?"
Santri senior itu tersenyum. "Kenalin, gue Farah. Salah satu santri senior di sini. Denger-denger, kalian terkenal di sekolah lama kalian?"
Aurora nyengir. "Iya dong, kita kan seleb di sana..."
"Tapi kalian suka bikin masalah, kan?"
Mereka langsung saling lirik.
Farah tertawa. "Gue cuma kasih saran. Di sini, kalau kalian punya niatan buat nakal, harus lebih pinter lagi dari pengawas. Banyak yang pernah nyoba, tapi semuanya ketahuan. Jadi main bersih aja."
Arumi menaikkan alis heran. "Tantangan, nih?"
Farah mengangkat bahu. "Maybe, cuman peringatan."
Setelah itu, dia pergi begitu saja.
Aresha nyengir. "Gue makin panasaran seketat apa sih aturan didieu?"
Abila menarik napas panjang. "Pokoknya, sabar. Untuk sekarang arurang adaptasi dulu aja. Baru bikin rencana. Bener kata teteh yang tadi, kita harus main bersih."
Keempat kembarannya pun menyetujui ucapan Abila, dan mulai sekarang, mereka akan menjalani kehidupannya dengan penuh kewaspadaan.
________
Detik berganti menjadi menit, menit berganti menjadi jam, jam terus bergulir, malam berubah menjadi siang, rembulan mulai terbenam di gantikan oleh sang surya.
Hari-hari berlalu dengan begitu cepat, kelima bersaudara itu mulai memahami rutinitas di Al-Ihsan. Bangun sebelum subuh, shalat berjamaah, hafalan, kajian, sekolah, lalu aktivitas sore. Semua berjalan dengan disiplin dan tanpa cela. Awalnya, mereka mengira bakal mati gaya. Tapi anehnya, mereka mulai bisa mengikuti ritme, meskipun dalam hati tetap mengeluh.
Pagi itu, mereka sudah siap dengan seragam sekolah, duduk di kelas dengan ekspresi malas-malasan.
Aresha menyandarkan kepalanya di meja. "Anjir, gue udah nggak kuat, tiap pagi kudu ngapalin ayat sebelum kelas dimulai, kawas kieu mah."
"Udah biasa," jawab Ayesha sambil mainin pulpen. "Anggap we pemanasan otak samemeh belajar."
Aurora mendengus. "Pemanasan otak nahaon? Anu aya malah over heat."
Tapi dibanding awal mereka datang, keluhan itu mulai berkurang. Mereka mulai hafal kebiasaan di sekolah ini, termasuk cara menghindari masalah.
Misalnya, Abila tahu kapan harus diam dan kapan harus berbicara supaya gak kena tegur. Arumi lebih banyak mengamati situasi daripada sekadar nyolot. Aresha masih sering ngedumel, tapi tahu batas. Aurora sesekali kena tegur karena kurang disiplin, tapi mulai belajar menyesuaikan diri.
Yang paling berubah mungkin Ayesha. Dari semua kembar, dia yang paling bisa blend in. Bahkan, dia sempat ngobrol cukup akrab sama beberapa santri lain.
Siang itu, saat jam istirahat, Ayesha baru aja selesai ngobrol sama teman barunya, Zizi, pas kakak senior lain datang mendekati mereka. Kali ini bukan Kak Farah, tapi Kak Salsabila, salah satu pengurus OSIM di sekolah itu.
"Kalian anak baru itu, ya?" Tanya kak Salsa tersenyum ramah, tapi tatapannya penuh selidik.
"Iya, Kak," jawab Ayesha.
Kak Salsa melirik ke meja di mana empat saudaranya duduk. "Kalian saudaraan, kan?"
Aurora yang lagi minum hampir keselek. "Maksudna naon?"
"Ya, kalian terkenal banget di sini. Jarang ada yang kembar lima, apalagi yang… ya, agak beda dari santri lain."
Arumi menaikkan alis. "Beda kumaha, Kak?"
Kak Salsa hanya tersenyum samar. "Nggak tahu ya? Nanti juga kalian sadar sendiri."
Lalu dia pergi begitu saja.
Lima bersaudara itu saling pandang.
Aresha menyilangkan tangan. "Oke, itu rada nyeremin."
"Tapi arurang beneran terkenal?" Aurora nyengir. "Wah, asik juga."
"Tong senang dulu," sahut Abila. "Arurang teh, terkenal karena apa dulu? Kalau karena negatif, bisa berabe."
Arumi mengangguk. "Bener oge. Makanya, arurang harus tetap low profile dulu sampai waktu yang tepat."
Yang disepakati oleh mereka berlima.
Untuk sementara, mereka akan tetap bertahan. Cari aman aja sebenernya.
Tapi entah kenapa, dalam hati kecil mereka, mereka tahu… Mereka gak bakal bisa kalem selamanya.
_____
Setelah hampir dua minggu berusaha “low profile,” akhirnya kesabaran lima kembaran itu mulai diuji. Mereka mulai jenuh dengan rutinitas yang terlalu monoton. Apalagi, aturan ketat di Al-Ihsan bikin mereka sulit buat gerak bebas.
"Aing mah bosen kieu ning euy!" Aresha menjatuhkan diri ke kasur dengan dramatis.
"Sabaaaaar…" Abila menghela napas panjang. "Arurang harus tahan dulu. Jangan bikin ulah sebelum waktunya. Kecuali arurang maen bersih."
Aurora memutar mata. "Teu bisa! Aing mah geus teu bisa sabar, ihh aing udah gatal pengen ngerjain sesuatu!"
Arumi menyeringai. "Gue ada ide."
Keempat pasang mata itu langsung menoleh ke arahnya.
Arumi mendekat kearah keempat kembarannya dan berkata. "Kumaha lamun arurang tes dulu, bisa nggak keluar dari kamar setelah jam malam?"
Ayesha langsung menepuk dahinya. "Anjir, lo ngajak kita kabur malem-malem?"
"Nya lamun kabur ti berang mah, ketahuan atuhh, Ra."
Sementara Arumi mengangkat bahunya. "Bukan kabur. Cuma… eksplorasi kecil-kecilan. Hitung-hitung uji coba buat keisengan kita nanti. Biar nggak bosen bosen amat kayak gini."
Aresha menyeringai. "Leheng sia pinter, Rum, aing resep yeuh rencana maneh."
"Eleh elehh, eta sungut," delik Arumi yangg di susul tawa renyah mereka.
Dan begitulah, rencana mereka dimulai.
---
Malam Harinya
Setelah jam malam tiba dan lampu kamar sudah dimatikan, mereka mulai bergerak.
Aurora mengintip dari jendela. "Sepi."
Ayesha mengambil langkah pertama, membuka pintu perlahan. "Oke, jalannya pelan-pelan, jangan ada yang jatuhin barang."
"Siap, kalem we."
Mereka berlima mulai melangkah keluar dari kamar, mencoba berjalan sehalus mungkin. Lorong asrama masih diterangi lampu redup, memberikan kesan sedikit menyeramkan.
Pas mereka hampir sampai di tikungan menuju dapur, yang jadi tujuan utama mereka buat nyari cemilan, tiba-tiba…
TOK TOK TOK!
Mereka semua langsung membeku.
"Astagfirullah… SIAPA ITU?" bisik Abila dengan napas tertahan.
Aresha langsung mengangkat tangan. "Keheula! Jangan panik!"
Mereka mengintip sedikit ke arah suara.
Dan ternyata…
Itu cuma salah satu ustadz yang lagi ngecek kamar-kamar santri.
"Holy, ini lebih deg-degan dari yang gue kira," bisik Aurora.
Arumi tertawa pelan. "Santai. Ini baru latihan."
Setelah ustadz itu pergi, mereka berhasil menyelinap ke dapur dan menemukan stok roti yang masih tersisa.
"Dapet!" Aresha langsung mengantongi beberapa bungkus roti.
Ayesha melotot. "Jangan banyak-banyak, ke bisi kanyahoan."
"Aing lapar jirr!" Aresha nyengir sambil tetap memasukkan dua bungkus ke dalam bajunya.
Mereka kembali ke kamar dengan selamat. Misi pertama berhasil.
Dan kini, mereka siap buat misi yang lebih besar lagi.
Mereka tidak sadar bahwa apa yang mereka lakukan malam itu hanya awal dari serangkaian keisengan yang bakal bikin nama mereka di Al-Ihsan semakin terkenal, dengan cara yang gak terduga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments