Senin 13 Juni 2016

Pagi tadi hari pembagian rapot. Karena sekarang sekolah ku sudah menerapkan kurikulum 2013, jadi mau tidak mau aku tak tahu aku peringkat berapa. Namun tetap saja aku bersyukur. Tidak ada nilai delapan di rapot ku, semuanya sembilan, termasuk pelajaran favoritku, matematika. Bri tadi menghubungi ku juga, ia bilang nilai matematikanya juga meningkat drastis. Alhamdulillah. Tak lupa kami mengirimkan foto nilai kami kepada Andra. Mentor kami dalam pelajaran matematika kemarin. Hehehe. Sekarang kami naik kelas. Menjadi siswa dan siswi kelas sebelas. Karena kelas akan kembali diacak, aku tak tahu, apakah aku dan Tania akan kembali sekelas lagi atau tidak.

Andra sangat senang mengetahui nilai matematika kami bagus. Dia bilang dia guru yang baik. Tentu saja dia benar. Dia sudah liburan lebih awal dari kami dan dia libur semester sebulan penuh. Dia bilang dia akan berlibur ke Jepang dan Korea. Destinasi liburan orang kaya memang beda, ya. Dan Andra bilang dia memang sering ke berbagai negara. Dia akan berlibur di sana selama beberapa minggu setelahnya melanjutkan ke Eropa, yang di Eropa ia bilang masih belum tahu negara mana yang kali ini akan ia tuju.

Aku dan Bri tentu saja terkagum-kagum saat dia menceritakan hal itu. Andra bilang dia tidak bangga akan hal itu, karena ia berlibur dengan uang dari keluarganya bukan dari hasil kerja kerasnya sendiri. Dia bilang yang kaya itu keluarganya, bukan dia. Aku dan Bri langsung meledeknya, karena memang biasanya kata-kata yang ia katakan itu merupakan kata-kata yang diucapkan orang kaya. Kami tertawa terbahak-bahak sedangkan Andra kelihatan sebal.

Andra bilang dia akan berangkat besok ke Jepang. Mungkin dia akan di sana selama satu minggu. Namun dia bilang dia akan terus menghubungiku nantinya. Sama seperti hari-hari kami yang biasa. Iya, kami selalu bertukar pesan setiap hari tanpa ada hari libur. Mungkin nanti saat dia sudah berlibur di luar negeri kami akan jarang chatting, dia pasti akan sangat lelah dan aku sangat memahami hal itu. Aku takkan memaksakan menghubunginya. Mendapat pesan singkat darinya saja sudah membuatku senang. Apalagi belakangan kami sering melakukan video call.

Oh, iya. Hari ini aku bertemu lagi dengan Afrizal. Setelah sekian lama aku pura-pura tak melihatnya setiap kami berpapasan dimanapun, entah di perpustakaan, entah di kantin, entah di tempat parkir. Aku selalu berpura-pura tidak tahu. Setiap melihatnya aku selalu teringat tragedi toilet yang menyebalkan saat itu. Arghhhh!!!!!!!

Ku dengar-dengar besok merupakan hari wisuda kelas dua belas. Jadi semua wali murid mereka akan datang. Acara itu akan dilaksanakan di aula sekolah yang memang ukurannya cukup luas dan dapat menampung banyak orang. Bangunannya masih sangat baru. Aroma catnya saja masih kuat menguar menusuk hidung setiap aku ke sana. Aula kami sederhana, namun ukurannya memang luas. Sekolah kami ini di desa, jadi masih dalam tahap pembangunan. Dan entah kenapa aku yakin setelah aku lulus dari sini nanti, fasilitas di sekolah ini akan jauh lebih bagus daripada sekarang, saat aku masih bersekolah di sini.

Tadi, aku ke aula untuk menemui wali kelasku, beliau sedang membantu persiapan untuk wisuda besok. Aku datang untuk memberitahukan jika acara pembagian rapot akan dimulai jam sembilan pagi, mundur satu jam dari waktu yang sebelumnya sudah ditentukan. Dan di sanalah aku bertemu Afrizal.

Afrizal sibuk menata kursi-kursi plastik untuk acara besok. Ia bersama dengan beberapa anggota gengnya. Tentu saja mereka langsung menoleh ke arahku saat aku datang. Namun tak ada adegan kursi plastik yang tiba-tiba beterbangan atau tiba-tiba hinggap di kepalaku. Mereka seakan-akan tak pernah punya masalah denganku dan kelasku. Wah, luar biasa sekali. Rasa-rasanya pertengkaran dan rencana tawuran kamu saat itu sekan hanya mimpi. Tetapi tak apa-apa, aku tak masalah sama sekali. Sebentar lagi orang-orang gila ini akan lulus dari sini.

Wali kelasku langsung mengerti saat kami semua bertatapan selama beberapa detik sebelum mereka pura-pura tidak pernah ada masalah sama sekali dengan kami. Beliau langsung mencoba mengakrabkan kami, yang padahal menurutku itu sama sekali tak perlu. Namun harus aku akui, Afrizal dan teman-temannya jago dalam bersandiwara. Mereka sangat ramah, penuh senyuman sambil berpura-pura bertanya hal-hal receh saat wali kelasku menyuruh kami mengobrol. Wali kelasku tentu saja memandangi kami dengan tersenyum lega. Aku? Tentu saja aku pura-pura juga. Aku bahkan pura-pura menanyakan kabar Afrizal. Hingga akhirnya aku benar-benar memutuskan untuk meminta maaf langsung kepadanya.

Aku rasa hari ini merupakan hari yang tepat. Jujur, aku memang tak suka kepadanya, aku marah karena sikapnya yang menyebalkan waktu itu. Namun, sebentar lagi dia akan lulus dan aku mungkin tidak akan pernah bertemu lagi dengannya. Jadi sebelum kami benar-benar tak bertemu lagi, aku ingin minta maaf atas insiden toilet. Aku akhirnya ikut membantu mereka menyusun kursi-kursi plastik tersebut.

Saat dia sedang sendiri membawa kursi plastik naik ke atas panggung aku langsung menghampirinya. Dia seketika menoleh namun tetap terus menyelesaikan pekerjaannya.

"Kak. Aku minta maaf, ya. " Kataku. Jujur aku minta maaf dengan tulus. Mau bagaimanapun aku yang salah waktu itu.

"Santai." Jawabnya, ringan.

"Aku bener-bener minta maaf, kak. Aku gak seharusnya tiba-tiba masuk toilet laki-laki waktu itu meski sedendam apapun kami."

"Iya. Santai. Udah ku maafin, kok." Katanya, sambil menata kursi di atas panggung. Aku lalu ikut naik ke panggung membantunya.

"Gantian, kak." Kataku.

"Apanya? Apanya yang gantian?"

"Aku udah minta maaf, sekarang giliran kakak."

Afrizal menatapku bingung dan langsung menghentikan kegiatannya.

"Atas apa?"

"Pas di kantin. Pas kakak ngefitnah aku."

"Gak pernah, kapan itu?"

"Pas kakak bilang kalau aku suka kakak. Itu fitnah, aku gak terima. Aku jadi berantem sama mbak-mbak gara-gara itu."

"Oh, tapi kan aku juga dihukum waktu itu. Kan udah clear masalahnya."

Nah, kan. Seharusnya aku tahu dia orang macam apa.

"Kakak gak merasa salah gitu? Aku udah minta maaf loh atas insiden toilet. Kakak gimana? Gak mau minta maaf habis ngomong gitu?" Kataku. Saat aku akan kembali mengoceh panjang lebar, dia langsung minta maaf.

"Maaf, ya. Gara-gara saya kamu berantem. Bekas cakarannya masih ada di pipi kirimu." Katanya. Menatapku dalam diam. Jadi dia sadar jika selama ini bekas cakaran temannya masih ada di wajahku.

"Oke. Impas, ya." Kataku sambil tertawa.

"Iya." Katanya. "Kamu ngapain waktu itu nyuruh teman-temanmu ngajak tawuran di dam?" Sambungnya.

"Hah? Nggak. Bukan aku yang suruh. Aku kan dihukum nulis permintaan maaf waktu itu. Teman-temanku yang laki-laki yang punya ide."

"Oh, ku kira anak perempuannya yang nyaranin. Ku kira kalian malah mau ikut tawuran juga, loh. Pas dapat WA aku langsung ngomong ke guru."

Hah? Pemikiran yang luar biasa. Jadi, jika waktu itu dia tahu hanya anak laki-lakinya yang akan tawuran dia takkan bilang ke guru begitu? Dan ternyata dia yang bilang ke guru dan menggagalkan rencana agenda tawuran kami waktu itu.

"Nggak, lah, kak. Tapi Alhamdulillah kakak ngomong ke guru. Aku agak takut pas teman-teman bilang mau tawuran waktu itu."

"Padahal seru sebenarnya."

Aku menganga mendengar ucapannya.

"Bercanda." Katanya kemudian.

"Yaudah deh, kak. Aku mau balik ke kelas. Semoga kuliahnya nanti lancar. Kita impas, loh, ya." Ucapku sambil turun dari panggung.

"Oke. Besok kelas sepuluh dan sebelas libur?"

"Iya, kami libur. Selamat wisuda, kak." Ucapku. Aku tulus mengatakannya.

Alhamdulillah. Sudah tidak ada perasaan mengganjal tentang tragedi toilet waktu itu. Aku lega sekali. Aku menceritakannya kepada Tania. Namun tidak kepada Andra, nanti dia berfantasi tanpa dasar lagi. Itu menyebalkan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!