Senin 4 Januari 2016

Andra, aku masih ingat betul bagaimana pertemuan kita waktu itu. Rasanya memang benar-benar seperti mimpi. Layaknya ilusi semata. Tetapi, ya mau bagaimana lagi. Hanya sekali bertemu. Aku pulang ke Banyuwangi sore itu. Pulang ke rumah. Membawa kenangan manis tentang kamu.

Bagaimana bisa ya ada orang setampan kamu? Ya Tuhan, kamu sungguh indah. Aku sangat kagum menatapmu. Namun aku hanya melihat luarnya saja. Hehehe. Aku tidak mengenalmu. Apa aku bisa akrab dengan kamu, ya? Sepertinya tidak mungkin. Kita hanya kebetulan bertemu karena sama-sama memenangkan lomba cerpen itu. Selebihnya lagi, tidak ada hubungan sama sekali.

Bagaimana kabarmu hari ini? Aku ingin menanyakanmu ke Brian tetapi aku malu dan tidak enak hati. Aku rasa aku tak punya hak untuk menanyakan kabar kamu, Andra. Ayolah, wahai otak! Jangan terus memikirkan kamu! Semester baru sudah menanti di depan mata. Lebih baik aku fokus pada hal itu.

Wah, bisa-bisanya aku berharap bertemu lagi denganmu. Ayo, sadar diri, Ayana! Aku siapa? Kamu siapa? Hanya karena sama-sama memenangkan lomba dan bertemu sekali itu bukan berarti akan akrab. Jangankan akrab, mungkin kita tidak akan saling mengenal. Mungkin kamu sudah lupa pada namaku. Aku harus ingat jika aku dan kamu berada di dunia yang berbeda. Kamu anak Kota Jakarta, sedangkan aku? Lalu melihat dari caramu berpakaian tentu saja kamu pasti anak orang kaya. Itu pasti.

Tetapi boleh kan ya jika aku ingin bertemu denganmu lagi? Ini bukan sesuatu yang tidak wajar kan ya? Aku coba bertanya kepada Brian apakah dia punya nomor whatsapp Andra, dia bilang tidak punya. Aku jadi malu mau bertanya lebih jauh. Mengapa aku jadi terus memikirkan kamu terus, sih? Cukup, Ayana! Cukup! Jangan coba-coba berharap! Aku boleh mengagumimu sewajarnya saja. Cukup. Hanya itu.

Ibaratnya seperti menatap bulan di kegelapan malam. Hehe. Ku rasa aku sangat kagum kepada kamu sampai-sampai menyamakannya dengan bulan. Dan ku rasa, aku tak pernah bertemu anak laki-laki lain seperti kamu sebelumnya. Kamu begitu membekas di pikiranku. Aku terus memikirkanmu. Kamu begitu indah dan menarik di mataku. Ya, cukup, hanya itu. Hanya kagum semata. Anggap saja sedang mengidolakan anggota boy grup K-pop. Karena memang sama-sama ilusi. Sesuatu yang hanya bisa ku pandangi namun tak bisa ku dekati. Ah, bahasaku dalam sekali.

Aku dan Brian makin akrab memang. Dia menyenangkan. Dia mengajariku banyak kosa kata dalam Bahasa Sunda dan Bahasa Betawi. Andai saja aku dan Andra juga bisa akrab seperti itu. Oh ya, pagi tadi puisi buatanku dipajang di mading sekolah. Pihak sekolah langsung heboh saat mendengar aku memenangkan lomba cerpen itu. Alhamdulillah. Aku jadi semakin semangat menulis.

Saat pelajaran di kelas tadi, aku masih saja bertanya-tanya apa yang kamu lakukan, Andra. Apakah kamu juga sedang mengikuti pelajaran sepertiku atau dia sedang di tempat lain. Bagaimana ya suasana sekolah tempatmu bersekolah? Kemarin aku sempat searching di google tentang sekolahmu dan luar biasa sekali hasilnya, uang spp per bulannya saja setara dengan gaji ayahku sebulan.

Bagaikan langit dan bumi. Jadi seperti ini ya melihat salah satu tokoh cerita yang tampan dan kaya raya secara langsung. Ku kira itu hanya dalam drama fiksi saja, ternyata di dunia nyata ada banyak. Ah aku lupa, terkadang kan kejadian di dunia nyata itu jadi salah satu inspirasi dari menulis cerita atau drama. Istilahnya drama di dunia nyata yang dituangkan ke drama fiksi. Aku kan jadi semakin ingin tahu tentang kamu. Aku jadi semakin tidak tahu diri.

Sayangnya tidak banyak yang ku tahu tentangmu. Kamu benar-benar seperti mimpi. Tidak, seperti ilusi. Aku ingin akrab dan mengenalmu tetapi apa daya? Kamu hanya mampir sehari ke dalam cerita hidupku yang begitu panjang. Apa seperti ini rasanya bertemu dengan Idol K-pop di dunia nyata, ya.

Rasanya seperti ingin bertemu denganmu setiap hari.

Ingin dekat denganmu dan mengenalmu.

Ingin berbicara denganmu.

Ingin terlibat dalam keseharianmu. Memandangimu dari dekat.

Ingin berbicara dan bersenda gurau denganmu. Ingin berteman denganmu sampai-sampai kita pergi menonton film di bioskop bersama-sama, dengan kamu dan Brian.

Aku ingin mengajakmu menonton movie salah satu anime favoritku.

Wah, sungguh indah berangan-angan. Pikiranku kacau sekali. Aku malah mirip stalker. Kamu pasti takut jika ia mengetahui hal ini. Tak rela rasanya hanya bertemu denganmu sekali saat itu. Bahkan saat kembali ke hotel setelah acara pun, kamu langsung pulang ke rumah. Kita tak sempat mengobrol sama sekali. Padahal sebelum kembali ke hotel, kita sempat ditraktir di salah satu restoran Jepang, namun kamu tidak bisa ikut karena terburu-buru. Dari pengalaman hari itu, aku tahu jika aku tidak suka daging ikan mentah. Rasa wasabi juga terasa sangat aneh di lidahku.

Mungkin jika hari itu dikatakan sebagai mimpi atau ilusi, aku akan percaya. Hari itu merupakan hari yang jauh berbeda dengan hari-hariku biasanya. Sungguh pengalaman yang menyenangkan. Karena setelah kembali ke rumah, aku kembali ke semula. Seakan kamu hanya ilusi dan aku harus menerima hal itu. Yang tersisa dari hari itu adalah kegembiraanku tentang lomba cerpen dan nomor whatsapp Brian. Brian teman yang menyenangkan. Entah kapan kami akan bertemu lagi. Jika kami memang bertemu lagi nanti, aku harap aku juga bisa bertemu denganmu lagi.

Tetapi aku tetap sadar diri. Berharap sesuatu secara berlebihan itu sama sekali tidak baik. Apalagi jika yang diharapkan benar-benar mustahil. Mengapa perasaanku agak buruk soal ini, ya? Tuhan sudah berbaik hati mempertemukan aku dengan kamu sekali. Aku tak boleh serakah dengan meminta lebih lagi. Aku hanya satu orang di antara banyaknya manusia.

Jakarta sungguh luas. Kamu memiliki urusanmu sendiri. Aku juga punya urusanku sendiri. Kita hanya bersinggungan sekali namun hatiku sudah berharap hal-hal mustahil. Sungguh lucu. Kamu ada di kehidupan yang akan terus kamu jalani yang mungkin saja takkan pernah bersinggungan lagi denganku. Begitu juga denganku. Jarak kita saja terpisah ribuan kilometer.

Kamu mungkin tidak habis pikir bagaimana bisa aku yang hanya bertemu sekali denganmu malah ingin mengenalmu lebih dalam. Kamu mungkin akan risih dan ketakutan jika tahu. Ku rasa pertemuan kita kemarin hanya sekelebat peristiwa yang hadir di cerita hidupmu, mungkin tak berarti seperti angin lewat. Yang mungkin saja kehadiranku di sana sama sekali tak meninggalkan kesan untukmu.

Berbeda denganku. Yang setelah berhari-hari masih saja berharap bertemu denganmu lagi padahal mungkin saja sudah tidak mungkin. Pertemuan waktu itu benar-benar membekas bagiku. Terasa menyakitkan, sih. Tetapi ini memang kenyataannya. Apa yang ku rasa penting belum tentu penting juga bagi orang lain. Jadi, sekali lagi, Ayana! Cukup berharapnya! Jangan pernah mencoba merajut ilusi yang mustahil terjadi!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!