Senin 11 April 2016

Hari ini aku meminta maaf secara langsung kepada Afrizal. Usahaku untuk bertemu dengannya dan minta maaf sungguh luar biasa. Apalagi teman-temannya yang tak kalah psikopat mulai melancarkan balasan kepada kami. Tetapi tenang, aku tak gentar. Ayana yang cantik dan baik hati ini bukan penakut.

Saat baru sampai di parkiran untuk murid saja semua siswi di sana langsung melirik sebal ke arahku. Aku balas menatap mereka dengan ramah sambil tersenyum. Aku malah melambaikan tangan menyapa mereka semua. Kelasku mempersiapkan diri jika tiba-tiba kami dilabrak. Bodo amat. Idola kalian itu yang gila. Aku tak peduli.

Aku sengaja lewat depan kelas duabelas. Menengok ke arah kelas Afrizal. Hanya ada para siswi yang memandangi kami dengan ketus. Tidak ada tanda-tanda Afrizal di sana. Apa aku perlu masuk ke kelasnya untuk memastikan, ya? Ah aku sempat berpikir seperti itu tadi. Aku jadi berpikir jauh, mungkin dalam waktu dekat aku akan dilabrak, ku rasa aku tak perlu belajar bela diri, aku bisa menjambak para siswi itu jika aku bertengkar dengan mereka.

Setibanya di kelas. Teman-temanku dan anak kelas lain berkerumun. Mereka menyambut kami dengan wajah seakan memang sedang menunggu kami datang. Kami lalu dibawa ke dalam ruang kelas Sepuluh IIS Empat. Kami berdiskusi untuk semakin menajamkan mata dan telinga jika Afrizal dan kelompoknya balas dendam. Sepuluh IIS Empat memutuskan bersekutu dengan kami setelah merasa ditindas oleh anggota kelompoknya Afrizal. Mereka dipalak oleh salah satu anggota kelompoknya. Kami pun mantap bersekutu.

Guru-guru mulai menunjukkan keresahan mereka dengan terus menyampaikan nasihat tentang pentingnya menjaga tali persaudaraan antara satu sama lain. Mengingatkan kami tentang kewajiban kakak yang menjaga adiknya dan kewajiban adik yang menghormati kakaknya. Tentu saja, nasihat itu ditujukan untuk kami. Afrizal dan Steven bahkan diminta untuk maju ke lapangan, bersalaman dan berpelukan.

Sungguh adegan mereka yang ku saksikan tadi pagi benar-benar canggung. Steven yang baik hati saja terlihat enggan menyambut pelukan Afrizal, sementara Afrizal tersenyum palsu. Aku tahu sorot matanya seakan berkata jika dia ingin menghabisi Steven. Semua ramah tamah yang ia tunjukkan itu sandiwara. Dasar licik. Aku yakin dia sedang merencanakan sesuatu. Aku sempat ragu untuk meminta maaf. Tak berapa lama tatapan matanya mengarah kepadaku. Aku mengalihkan pandangan, pura-pura tidak tahu.

Saat jam istirahat tiba. Aku memutuskan untuk makan di kantin sambil memikirkan cara bagaimana bertemu dengannya. Rasa maluku tidak separah waktu itu. Aku terus memutar otak, bagaimana caranya meminta maaf kepada orang yang kesalahannya terhadap kita lebih besar dibandingkan dengan kesalahan kita terhadap mereka.

Aku tak peduli dengan keadaan sekitarku dimana para siswi kakak kelasku yang terus menerus menyindir kami. Aku hanya sibuk makan dengan teman-temanku. Aku butuh banyak asupan nutrisi ketika sedang berpikir. Bakso sayur merupakan salah satu jawabannya. Sampai beberapa saat Afrizal dan kelompok psikopatnya juga datang ke kantin.

Aku tidak tahu sejak kapan, namun Guru BK kami yang dari kemarin menjadi saksi pertengkaran kami sudah duduk di salah satu meja di kantin. Beliau mengamati kami dengan saksama dengan segelas kopi hitam seperti yang beliau minum beberapa waktu lalu.

Dan coba tebak apa yang paling menyebalkan! Dari sekian banyaknya meja dan kursi yang kosong, Afrizal dan teman-temannya memilih duduk di meja di samping kami. Mereka sengaja melakukannya. Afrizal terus menatapku datar tak memedulikan nasi goreng yang ia pesan. Aku balas menatap dengan tatapan yang sama.

Beberapa saat kemudian, jiwa baikku berfungsi. Aku bangkit dari dudukku dan berjalan pelan menghampirinya sementara semua orang memperhatikan gerak-gerik kami.

"Maaf, kak. Bisa minta waktunya sebentar? " Kataku.

"Bisa. Ada yang bisa ku bantu?" Jawab Afrizal dengan tersenyum. Senyum palsu yang dibuat-buat.

"Ada yang ingin saya bicarakan. Tapi bukan di sini, saya ingin bicara berdua dengan kakak kalau kakak bersedia." Aku tak mau kalah. Aku juga menyunggingkan senyum terbaikku.

Tak lama, Afrizal bangkit dari duduknya. Ia berjalan mendekat kepadaku sambil berbisik pelan. Sangat pelan. Sampai-sampai aku hanya bisa membaca gerakan bibirnya.

"Kita mau bicara dimana? Kalau mau ke toilet lagi aku mau, kok." Bisiknya disertai senyuman.

Aku berteriak marah. "Apa? Kakak gila, ya? "

Afrizal berbalik membelakangiku dan meninggalkan mejanya.

"Maaf, saya tidak tertarik dengan caramu yang berpura-pura bertengkar dengan saya untuk menarik perhatian saya." Ucapnya dengan ketus. Seakan yang ia katakan memang nyata.

Kurang ajar sekali. Dia memang gila. Tentu aku sangat marah, sedikit lagi aku berhasil menjambaknya namun dihentikan oleh Tania dan temanku yang lain.

Iya. Suasana ricuh seketika. Guru BK kami langsung mendekat untuk menenangkanku yang masih terbakar emosi. Salah satu siswi berteriak kesal kepadaku dan mengataiku cari perhatian. Perhatian siapa? Andra tidak ada di sini. Perhatian Si Gila Afrizal? Yang benar saja. Aku berteriak tak terima. Aku semakin marah melihat ekspresi Afrizal yang menatapku dengan datar. Tatapannya memang seperti itu. Seakan-akan tak berdosa. Tetapi aku tahu dia menyembunyikan senyum jahatnya dibalik topeng yang ia pakai. Dasar licik.

Saat aku akan dibawa ke Ruang BK lagi. Tiba-tiba aku sudah saling jambak dengan salah satu kakak kelas. Aku tak begitu ingat bagaimana awalnya. Namun bukan aku yang memulai. Kami saling jambak dan cakar sampai-sampai kerudung kami tak berbentuk namun masih melekat di kepala kami. Ya, dan lagi-lagi hari itu, aku masuk ruang BK dengan orang yang sama, ditambah orang baru.

Kami duduk bertiga dengan Afrizal yang duduk di tengah menghadap Beberapa Guru BK, wali kelas kami, dan Kepala Sekolah. Aku menghabiskan sisa jam pelajaranku di sekolah dengan menulis surat pernyataan maaf dengan kakak kelas yang bertengkar denganku tadi. Afrizal juga masih diberikan hukuman yang sama karena dianggap menjadi provokator meskipun hukumannya tak seberat kami.

Saat aku keluar Ruang BK. Jam menunjukkan pukul tiga sore hari. Aku benar-benar lelah. Tania, Steven dan beberapa temanku yang lain menungguku di depan kelas kami. Seketika mereka menyampaikan rencana mereka bersama anak-anak Sepuluh IIS Empat. Para siswa akan melakukan tawuran di dekat salah satu dam perairan yang letaknya lumayan jauh dari sekolah kami.

Kedua belah pihak setuju. Permasalahannya harus selesai hari ini juga. Perang akan segera pecah. Pihak Kelas Duabelas MIPA Tiga sudah menunggu di tempat yang ditentukan sementara teman-temanku yang laki-laki sudah siap berangkat. Mereka meminta doa dari para siswi. Kami merasa harga diri kami sedang terluka.

Beberapa saat kemudian, kami semua mendapatkan pesan masuk dari operator sekolah kami. Khusus hanya untuk kelasku dan kelasnya Afrizal.

Pesan itu berbunyi: Selamat siang anak-anak tercinta yang sedang berbahagia. Jika kalian menerima pesan ini, maka kalian diminta untuk membawa orang tua atau wali kalian besok ke sekolah untuk membahas permasalahan kalian di sekolah dan hukuman skors yang akan diberikan kepada kalian.

Aku dimarahi habis-habisan oleh ayahku sehabis Sholat Isya tadi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!