Aku masih bertukar pesan dengan Andra. Dia bilang dia sedang berada di Semarang, pulang ke rumahnya. Ada urusan keluarga yang mengharuskan ia dan keluarga besarnya berkumpul. Jadi dia mungkin akan berada di Semarang selama beberapa hari. Paling lambat dia akan kembali ke Jakarta di Hari Minggu.
Dia menanyakan kabarku. Selalu. Dia selalu bertanya hal itu setiap kali kami mulai bertukar pesan di suatu hari. Jika ia menanyakannya sekarang, besok saat kami kembali bertukar pesan, dia akan menanyakannya lagi. Begitu seterusnya, dia akan menanyakan kabarku setiap hari. Tentu saja aku menjawabnya dan balik bertanya bagaimana kabarnya. Kabarku selalu baik.
Belakangan aku tak tersenyum atau tertawa saat membaca pesannya. Aku tidak tahu mengapa. Bukannya aku tak senang, aku malah senang sekali karena masih bisa akrab dengannya. Setidaknya menurutku kami akrab karena selalu bertukar pesan setiap hari. Aku masih sangat senang membacanya lalu membalas pesannya. Namun, kesenangan yang ku rasakan sekarang entah kenapa tidak membuatku tersenyum atau berjalan mondar-mandir seperti di awal dia mengirimkanku pesan.
Bukan karena aku mulai bosan. Aku sama sekali tak pernah bosan. Menunggu pesan darinya merupakan hal yang paling ku tunggu-tunggu setiap hari. Aku selalu ingin tahu kabarnya. Membaca pesannya yang menceritakan kesehariannya dalam satu hari tidak pernah cukup bagiku. Rasa senang itu masih sama. Rasa rindu membaca dan membalas pesannya. Namun rasa senang itu tidak membuatku tersenyum sekarang. Ada sesuatu yang membuatku merasa sedih di suatu sisi. Semakin sering aku bertukar pesan dengannya semakin hilang senyum dan tawaku setiap kami bertukar pesan. Aku masih selalu merasa biru.
Andra juga sering memintaku menceritakan keseharianku. Bagaimana hari-hariku dan bagaimana perasaanku. Aku sesekali menceritakan kejadian lucu yang ku alami. Tetapi aku lebih senang membaca ceritanya. Cerita kesehariannya. Aku mengatakannya kepada Andra. Lebih menyenangkan membaca ceritanya daripada menceritakan keseharianku. Dia bilang itu tidak adil, dia juga ingin mendengar keseharianku.
Sekarang aku selalu membaca dan membalas pesannya tanpa jantungku yang berdegup kencang. Degup jantungku normal. Tidak ada peningkatan. Biasa saja. Meskipun ada sesuatu yang semakin bertambah. Aku masih ragu akan sesuatu yang semakin bertambah besar itu.
Andra mengirimkanku fotonya yang sedang bersantai di teras rumahnya. Ada dia yang duduk di lantai sambil selfie bersama Blue. Dia tersenyum manis menatap ke kamera. Cat rumahnya ku rasa bernuansa putih. Tidak banyak yang ia perlihatkan namun aku bisa tahu jika rumahnya pasti sangat besar dan luas. Andra bukan orang sembarangan. Keluarganya merupakan orang berada. Aku tahu itu. Ada sesuatu yang menyakitkan saat mengetahui fakta itu.
Aku rasa aku semakin tertarik kepada Andra. Ku harap perasaanku akan cepat hilang. Aku tak ingin memikirkan sesuatu yang seperti itu. Aku tak ingin merusak keseruan kami bertukar pesan. Sekali lagi, Andra hanya begitu sempurna. Tuhan menciptakannya begitu sempurna.
Andra bilang dia belum pernah berwisata ke Banyuwangi. Saat ke sini, ia ingin mampir ke rumahku. Tentu saja aku sama sekali tak keberatan. Tetapi dia mungkin akan terkejut melihat rumahku yang jauuuuh lebih mungil dibanding rumahnya. Kami sungguh-sungguh berbeda. Namun dia tetap mau berteman denganku. Dia orang baik.
Awalnya ku pikir dia menghubungiku karena ada sesuatu yang ia butuhkan dariku, namun ternyata tidak. Sama sekali. Dia tidak pernah kurang ajar sama sekali kepadaku. Kata-kata dan bahasanya selalu sopan dan menyenangkan.
Berbicara tentang rumah. Tadi dia mengirimkan puisi berjudul "rumah" ke Radits Squad. Puisi itu menjelaskan pengertian rumah baginya. Dia juga meminta kami untuk menjelaskan pengertian rumah menurut kami masing-masing.
Kak Reya : Rumah adalah tempat kau berlindung, tempat dimana kamu menjadi dirimu sendiri, tempat dimana kamu diterima dan dicintai.
Pak Jhon: Rumah adalah benteng. Tempat dimana kamu bertahan dan melepas seluruh beban yang selalu menggelayut di pundakmu.
Brian : Rumah adalah tempat dimana kamu berkeluh kesah. Tempat untuk berlipur lara. Tempat dimana kamu memulai ceritamu sendiri. Tempat dimana kamu menciptakan dongengmu.
Sementara bagiku, rumah adalah tempat untuk pulang. Rumah bukan bangunan, rumah bukan tempat. Tetapi rumah adalah orang.
Andra langsung mengirimkanku chat pribadi setelah aku mengirim arti rumah bagiku di Radits Squad. Dia bertanya mengapa aku mengartikan rumah seperti itu. Sejenak aku berpikir, mungkin ini karena kami sama-sama menekuni dunia menulis. Dia jadi ingin tahu hal ini.
Lalu aku menjelaskan kepada Andra. Bagiku rumah bukanlah bangunan. Rumah adalah orang. Dimanapun orang itu berada, dia adalah rumah kita. Orang yang memberikan cinta tanpa syarat kepada kita, orang yang kita cinta. Mau sejauh apapun kita melangkah, mau sejauh apapun kita berpetualang, kita akan tetap pulang. Kita akan tetap rindu rumah itu. Dan hati kita akan merasa tenteram saat kita sudah sampai di rumah.
Sedetik setelah aku menekan tombol kirim. Dua centang yang tadinya berwarna abu-abu berubah menjadi biru. Andra langsung membaca pesanku. Namun beberapa detik hingga semenit berikutnya, dia tidak mengetikkan apa-apa. Statusnya masih online. Aku bertanya-tanya apa yang sedang ia pikirkan. Aku tidak tahu mengapa pembahasan tentang arti rumah ini seperti sangat berarti bagi Satya.
Kemudian statusnya yang tadi online seketika berubah menjadi mengetik. Lama sekali. Dia mengetik dengan waktu yang sangat lama. Aku sempat mengira mungkin hal itu disebabkan oleh koneksi internetku. Mengingat koneksi internet di desaku tidak stabil. Hingga akhirnya pesannya sampai.
"Saya terkadang bingung dengan arti rumah. Rumah saya baik-baik saja. Tidak, bukan rumah saya. Rumah keluarga saya. Saya mendapatkan begitu banyak cinta di sana. Namun, belakangan saya ingin punya rumah saya sendiri." Tulisnya.
Aku memandangi pesannya dengan saksama. Entah mengapa dia tiba-tiba jadi sendu.
"Rumah seperti apa yang kamu inginkan? Kamu kan sudah tinggal di apartemen milik kamu sendiri. " Balasku, disertai dengan emotikon tertawa. Mencoba menghilangkan rasa sendu dan perasaan biru yang semakin menjadi-jadi.
"Bukan yang seperti itu, wkwkwk. Saya banyak memikirkan hal-hal yang acak belakangan ini. Setelah saya membaca pengertian rumah menurut kamu. Saya jadi semakin tertarik. Saya rasa kita harus menulis buku bersama suatu hari nanti." Katanya.
"Oke. Tentu saja. Janji, ya. Kita harus menulis novel sama-sama! " Tegasku.
"Iya, janji, kok. Janji. " Balasnya.
Berbicara tentang rumah. Rumahku indah, aku mendapatkan banyak cinta dari keluargaku. Sangat banyak cinta. Aku ingin tahu mengapa Andra tiba-tiba membahas tentang rumah. Apa yang ia pikirkan, ya. Apa yang sedang mengganggu pikirannya. Sosok rumah seperti apa yang ia inginkan nanti.
Tetapi, aku yakin. Dia akan mendapatkan rumah yang sangat baik, cantik, sempurna. Sama sepertinya. Aku tahu itu. Dia hanya begitu sempurna. Andra begitu sempurna. Aku merasa semakin biru. Aku semakin memikirkan Satya.
Aku sangat ingin tahu banyak tentangnya. Namun aku takut semua pertanyaanku akan mengusiknya. Menganggunya. Di masa-masa ini, aku masih ingin mengenalnya. Masih sangat ingin.
Tentang rumah, aku memutuskan untuk kembali bertanya kepadanya.
"Andra, mengapa tiba-tiba bahas rumah? Kamu mau pindah rumah?"
"Tidak. Rumah keluarga saya tetap di Semarang, kok. Wkwkwkwk."
"Lalu?"
"Yang saya maksud rumah seperti yang kamu artikan, Na."
"Bukan seperti puisimu?"
"Bukan. Akhir-akhir ini saya menemukan rumah yang saya tuju."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments