Episode 8 - TIDAK ADA YANG PERLU DISEMBUNYIKAN LAGI!

Sepulang Sekolah at Ruang Mading

Aku sudah memutuskan untuk menerima kembali ayah dalam hidupku. Namun aku masih ragu untuk memafkannya atas apa yang sudah dia lakukan padaku dan ibu. Bahkan ayah berhutang banyak permintaan maaf atas apa yang sudah menimpa sepanjang hidup kami. Sejak ayah meninggalkanku dan ibu, kami bersusah-payah untuk membangun kembali kehidupan yang semestinya. Ibu bekerja keras siang-malam demi menghidupi kami berdua. Setidaknya aku ingin ayah mengetahui bahwa selama beberapa tahun ini, kami sudah berjuang untuk hidup tanpa dirinya. Pasti saat ayah datang ke rumah kemarin, ibu tidak menceritakan sepatah katapun bagaimana

sengsaranya hidup kami.

“Ed.. ed..,” panggilan seseorang membuatku tersadar. Punggung tanganku mengelap peluh keringat di dahi. Aku mengangkat dagu sesaat.

“Apa?”

“Tadi aku bilang sampai kapan listriknya mati? Kalau kayak gini aku nggak bakalan bisa ngeprint file di komputer,” dumel Mayang dengan wajah cemberutnya.

“Ya, sabar ajah. Namanya juga lampu mati. Lagian kan aku udah pernah bilang kalau kamu tuh wajib punya flashdisk biar nggak tergantung terus sama komputer disini.”

Mayang menghela nafas.

“Aku tuh anak yatim yang numpang tinggal sama paman dan bibi disini. Jadi uang saku dari mereka selalu aku irit. Jangankan flashdisk, sepatuku yang sudah sobek ajah belum bisa aku ganti dengan yang baru,” katanya

setengah menunduk. Tiba-tiba saja aku merasa tidak enak. Kupegang bahunya perlahan. Wajah Mayang menengadah.

“Maaf ya. Lain kali kamu bisa kok nyimpen file pake flashdisk-ku.”

“Beneran nggak apa-apa?” katanya dengan mata berbinar-binar. Aku mengangguk. Tanganku kembali mengambil lembaran yang ada diatas karpet. Hari ini anak-anak mading sukses menyelesaikan semua tugas mereka. Kubaca dengan seksama. Bahkan hasil ketikan mereka juga terlihat rapi. Tinggal aku koreksi dengan teliti dan tinggal dipasang di mading besok pagi.

Ruangan menjadi agak sepi. Biasanya ruangan ramai dengan anak-anak mading dan musik pop dari komputer. Semula Mayang endak menyalakan lagu dari hp-nya, tetapi ternyata tertinggal di rumah. Sedangkan hp-ku hanya ada lagu-lagu instrumental. Aku nggak yakin kalau Mayang juga suka mendengarnya. Jadi ruangan menjadi sepi senyap.

“May,” panggilku, mencoba membuka pembicaraan di tengah-tengah membaca. Aku tidak tahu apa Mayang mendengarku apa tidak. Aku berdeham sejenak. Sebelum melanjutkan perkataanku. “Apa pernah Afika sering menyapaku duluan?”

Hening.

Tidak ada jawaban. Aku mendongak. Kulihat Mayang masih membaca lembaran yang dipegangnya. ‘Duh, memalukan! Kenapa tiba-tiba aku bertanya seperti ini??!’ aku langsung menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.

“Siapa?” tanyanya kemudian. ‘Nah, lho, ternyata dia dengar!’

“Afika. Cewek yang sekelas sama kita di kelas sepuluh dulu itu loh,” jelasku mencoba mengingatkan. Mayang terlihat berpikir keras. Lalu dia menjawab –ooh.

“Apa dia sering terlihat menyapaku duluan?” tanyaku lagi dengan nada hati-hati. Mayang menurunkan kertas yang dipegangnya.

“Nggak tau, ya. Kan kamu yang disapa, kok malah tanya sama aku,” kemudian dia melanjutkan membaca. Aku mendesis tidak karuan. ‘Bukannya kita sering jalan bareng ya? Jadi mungkin ajah kamu dengar dong saat Afika menyapaku. Dasar Mayang, cuek banget!’

‘YO! ONOK CHAT, YO! TEKO SOPO?! DELOKEN DEWE,YO!’

Aku terkejut dengan suara barusan. Aku mendongak. Kulihat Mayang tidak dapat menahan tawanya. Dia tergelak sampai terpingkal-pingkal. Aku segera mengambil ponsel yang tergeletak tidak jauh dariku.

“SUMPAH! Aku pikir suara dari mana?! Ringtone baru ya?” tanyanya sambil menahan tawa. Kuanggukkan kepala dengan wajah setengah malu.

1 message unread

‘Klik’

...From:...

...Miwon...

Kak, aku udah nnggu d dpn ruang mading. Cptan y, GPL!

Aku langsung menepuk jidat dengan keras. ‘Astaga! Aku lupa kalau sepulang sekolah aku ada janji makan bareng sama Miwon dan ayah!’ Dengan segera kuambil tas ransel di atas meja. Mayang mencegatku.

“Kamu mau kemana? Masa ninggalin aku gitu ajah sih?”

“Maaf, May, maaf banget! Siang ini aku benar-benar ada urusan penting,” kataku setengah memohon. “Aku minta tolong koreksi semuanya ya.. terus kalau udah finish, kamu tinggal chat aku ajah, oke?!”

“Tapi.. Ed..,” aku segera keluar dari ruangan. Mungkin ini kali pertamanya aku meninggalkan tanggung jawab sebagai ketua mading. Tetapi itu karena ada hal yang lebih penting daripada mading. Aku menarik nafas lega.

“Kak, udah selesai?” kulihat Miwon sedang duduk diatas tangga yang berhadapan dengan pintu mading. Aku tersenyum sembari menganggukkan kepala. “Yuk, kak. Ayah sudah nunggu di depan gerbang.”

...***...

Afika, Hami dan Timmy sedang bermain perang bantal di dalam kamar. Seperti biasa, Afika dan Hami menyempatkan diri bermain ke rumah Timmy setiap pulang sekolah. Seragam yang mereka kenakan dikeluarkan begitu saja. Toh, sudah jam pulang sekolah. Tidak ada salahnya

Afika dan Hami saling memandang dengan senyuman penuh rahasia. Seakan-akan saling berbicara melalui dalam hati. Hami memberi sinyal dengan mata berkedip. Afika menganggukkan kepala dengan yakin. Mereka berdua segera menggiring dan memukul tubuh Timmy dengan bantal. Timmy malah tertawa hebat sambil menghalangi pukulan mereka dengan bantal yang dipegangnya.

“Mhuahahaa.. aku nyeraahhh!!!” jeritnya kemudian. Hami dan Afika langsung berhenti. Mereka bertiga tertawa secara bersamaan. Timmy menjatuhkan tubuhnya begitu saja di atas kasur. Begitu pula dengan kedua temannya. Ketiganya berbaring dengan kepala yang saling menempel. Mereka tertawa lagi.

“Capek banget ya,” kata Hami di sela-sela nafas yang tidak beraturan. Afika mengangguk. “Aku belum kepikiran tokoh cewek yang cocok sama tokoh cowok yang udah aku buat,” katanya lagi. Timmy mengerutkan bibirnya ke depan.

“Pasti buat manga shoujo ya?!” tebaknya. Hami mengangguk cepat.

“Sekali-kali buat manga genre action atau thriller gitu kan bagus, Mi. Nggak cinta-cintaan trus.”

“Mungkin aku buat tokohnya kayak kamu ajah kali yaa! Imut-imut tapi sukanya sama yang berbau darah-darah gitu,” serunya sambil mencubit kedua pipi Timmy.

“Emangnya kalau muka imut nggak boleh nonton yang begituan, idih!” Timmy membalas cubitan temannya. Mereka saling mencubit dan berakhir dengan menggelitik satu sama lain. Afika tertawa saja melihatnya.

“Watak cowonya kayak gimana sih?” Afika menyentuh pundak Hami. Yang ditanya, langsung berpikir lama. Lantas dia tersenyum penuh makna.

“Kayak Miwon gitu deh! Kamu pasti tau wataknya kayak gimana!” ucap Hami sambil menggelitik tubuh Timmy lagi. Afika termenung.

‘Miwon? Sudah jelas Hami memilihnya karena cowok itu memiliki watak yang tidak biasa. Seperti freak atau unique?’ Afika tertawa kecil saat memikirkan kembali keceriaan yang selalu diperlihatkan oleh Miwon.

“Idih, Afika ketawa sendiri! Mikirin apa nih?” Timmy bertanya sambil mendekatkan wajahnya di depan wajah Afika. Hami ikut-ikutan mendekat di wajahnya. Afika menggeleng dengan cepat. “Duh, pasti mikirin Edelweis tercinta lah yaw!” cibir Timmy lagi. Hami dan Timmy menggoda Afika habis-habisan. Afika sendiri tidak dapat mencegah dugaan teman-temannya. Lalu Afika terbesit kenyataan bahwa Edelweis dan Miwon adalah bersaudara.

“Kalian sudah tau nggak kalau Ed dan Miwon itu bersaudara?” pertanyaan Afika membuat kedua temannya saling memandang. Lama.. banget. Sampai Afika garuk-garuk kepala tidak mengerti. Spontan Timmy dan Hami sama-sama tertawa. Afika mengernyitkan dahi. ‘Reaksi kalian tuh maksudnya apa?’ tanyanya bingung.

“Kepalamu habis kejedot dimana sih, Fik? Kok ngelantur gitu?” seru Hami tidak dapat menahan tawanya. ‘HAH?!’ Afika hanya bengong melihat jawaban temannya.

“Pasti abis gini kamu bilang kalau kamu udah jadian sama Ed selama dua tahun, bhuahahaa,” tawa Timmy lebih ngakak lagi. Afika masih bengong melihat kelakuan kedua temannya. Sudah dapat diduga, bahwa Timmy maupun Hami belum mengetahui bahwa Edelweis dan Miwon benar-benar bersaudara! Tak lama Timmy dan Hami berhenti tertawa. Mereka menghapus air mata yang keluar akibat tertawa yang berlebihan.

Mereka mulai bingung karena melihat Afika yang masih membisu. Hami mencoba memahami pertanyaan yang dilontarkan oleh Afika tadi. Menurut Hami, temannya satu itu selalu tidak pernah bercanda dengan apapun yang dikatakannya. Lantas ia mulai menebak jalan pikiran Afika.

“HAH! Fik, jangan bilang kalau mereka beneran saudaraan??! Serunya setengah menjerit. Giliran Timmy yang tidak mengerti jalan pikiran kedua temannya itu. “NGGAK MUNGKIN!!! Ed sama Miwon itu beda bangeettt!!! Kayak langit dan bumi!”

Afika mengangguk tegas.

“Apaan sih? Aku nggak ngerti,” ujar Timmy meminta penjelasan. Hami memegang kedua pundak Timmy dengan kuat. Matanya agak melotot.

“ED SAMA MIWON BENERAN SAUDARAAN!” pekiknya lagi. Wajah Timmy bertambah bengong, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Kandung?” Hami menoleh ke arah Afika. Yang ditanya

mengangguk lagi.

“Kemarin aku nggak sengaja ketemu di depan rumah mereka. Kata Ed memang nggak banyak yang tau kalau mereka itu saudara,” terangnya. Timmy manggut-manggut mengerti.

“Wah, Fik! Berarti kamu punya kesempatan dong!” giliran pundak Afika yang dipegang kuat-kuat oleh Hami. Mata Afika berkedip berkali-kali. “Kamu kan lumayan deket sama Miwon. Nah, kamu bisa bebas tanya apa ajah mengenai Ed. Apa yang Ed lakukan setiap harinya, siapa ajah teman dekatnya, apa makanan kesukaannya! Semuanya! Terus nanti kamu tinggal mohon sama Miwon buat jadi mak comblangnya kamu sama Ed! Yuhuu!”

“Taktik yang bagus, Ham!” seru Timmy. Kedua tangan mereka saling mengepal dan dihantamkan begitu saja. Biasanya seperti itulah mereka menunjukkan kekompakkan mereka.

Afika menghela nafas. Dia merasa tidak mungkin melakukan ide gila yang baru saja dilontarkan oleh Hami. Dia memang sedikit ingin melakukannya, tetapi dia merasa malu kalau sampai orang lain selain kedua temannya itu mengetahui rasa sukanya kepada Ed. Apalagi saat ini Mayang menyuruhnya untuk menjauhi Ed.

“Tapi mereka benar-benar memiliki kepribadian yang berbeda ya,” Timmy berbicara lagi. Afika mencoba mendengarkannya. “Ed itu anaknya cool, cerdas, kalem, dewasa, bijaksana. Pokoknya hampir nggak punya emosi gitu deh! Sementara Miwon itu anaknya baik, ceria, super ramah, hands..,”

 

“Sok cakep, cerewet, kayak anak kecil, suka ngurusin orang!” gerutu Hami.

“Eeh, jangan jelek-jelekkin prince aku dong!”

“Prince  dari Hongkong?!!” Timmy langsung menangkup kedua tangan Hami.

“Boleh deh!!! Jadikan dia tokoh prince dari Hongkong ya, Mi?! Terus menyelamatkan princess Timmy yang

ditahan di dalam istana buto ijo bernama Rudolf! Terus abis gitu prince Miwon datang dengan menunggangi kuda putihnya untuk menyelamatkan princess Timmy. Lalu keduanya bertarung, tusuk sana.. tusuk sini..,” Hami geleng-geleng kepala melihat Timmy terus berceloteh sambil bertingkah seperti orang yang lagi perang.

“Ck.. ck.. cck, kebanyakan menghayal!” disundulnya kepala Timmy dengan sengaja. Timmy menggerutu kesal. Kemudian keduanya berlomba untuk saling menyundul. “Eeh, Fik! Gimana kalau Ed aku masukkan menjadi tokoh novelku juga?! Ceritanya mereka juga saudaraan! Pasti bagus tuh!”

Afika masih terdiam. Memikirkan sejauh mana kedekatannya dengan Edelweis, pangeran pujaan hatinya. Afika ingin mengenali Edelweis lebih jauh. Tetapi dia tidak ingin bertanya langsung pada Miwon. Dia juga tau kalau dia harus menjauhi Ed. ‘Tapi kalau sekedar mengobrol, tidak apa-apa kan? Paling tidak, kedekatanku dengan Ed tidak sampai diketahui oleh Mayang.’

...***...

Sejauh ini makan bersama terasa menyenangkan. Ayah mengajak kami makan di rumah makan yang tidak jauh dari sekolah. Nasi goreng yang kumakan juga lumayan enak. Aku tidak pernah tau ada nasi goreng senikmat ini. Bahkan aku tidak pernah sedikitpun menengok rumah makan disini. Padahal tidak jauh dari sekolah.

Ayah dan Miwon juga memakannya degan lahap. Rupanya mereka juga menikmatinya. Aku jadi teringat nasi goreng buatan ibu. Aku akui nasi goreng buatan ibu tidak kalah dengan nasi goreng ini. Dulu aku pun juga sering membantu ibu menawarkan nasi goreng kepada teman-teman di kelas ketika jam istirahat tiba. Aku tidak pernah mengharapkan bagian sedikitpun hasil uang dari nasi goreng itu. Bagiku, ibu lebih membutuhkannya daripada aku.

“Betul kan, kak?” Kini Miwon dan ayah mengalihan pandangan kepadaku. Mataku berkedip sesaat. Apa yang tadi dibicarakannya? Aku tidak tau. Bodoh! Aku malah sibuk berkutat dengan lamunanku. Aku hanya tersenyum dan mengangguk. “Makanya saat ayah dan ibu pulang dari resepsi pernikahan, kalian menemukanku dengan tubuh

penuh luka. Itu bukan karena kesalahan kak Ed, tetapi karena temanku yang menjatuhkanku di selokan.”

“Kenapa baru cerita sama ayah sekarang?”

Miwon mengalihkan pandangan ke arahku dan tersenyum.

“Dulu aku sangat nakal. Suka berkelahi dengan teman. Bahkan ibu sering dipanggil oleh wali kelas. Saat pulang sekolah, aku meminta uang saku pada temanku. Dia tidak mau memberikannya. Aku pun langsung berkelahi dengannya. Entah kenapa aku terdorong begitu saja di dalam selokan yang kering dan berbatu. Makanya tubuhku penuh luka. Dan kak Ed nggak ingin aku dipukuli oleh ayah lagi, dia malah bilang..,”

Aku menjadi teringat masa lalu. Dua minggu sebelum tragedi itu. Miwon masih duduk di kelas lima sd. Dulu dia sangat nakal dan suka berkelahi. Banyak yang bilang karena dia yang memulai pertengkaran duluan. Terkadang jika aku memergokinya sedang memukuli seorang anak, aku segera melerai sebelum diketahui oleh orang lain. Senakal apapun, Miwon selalu mematuhi apa yang aku katakan. Walaupun sesekali berkelahi masih tetap menjadi kebiasaannya.

Suatu hari, dia pulang dengan tubuh penuh luka. Seragamnya juga sangat kotor. Untung saja saat itu ayah dan ibu sedang menghadiri acara resepsi tetangga. Aku menyuruhnya mandi dan aku yang mencuci seragamnya. Aku mencucinya sebersih mungkin agar ayah dan ibu tidak mencurigainya. Namun ternyata luka lecet di tubuh Miwon membuat ayah naik darah. Beliau mampu menebak apa yang sudah menjadi kebiasaan anak bungsunya itu. Ayah mengambil kemoceng utuk memukulinya.

“Sudah ayah bilang beberapa kali jangan suka berkelahi sama teman! Apa kamu mau kalau ibumu dipanggil lagi di sekolah??!” aku segera berdiri di tengah mereka.

“Aku yang salah, yah. Tadi aku tidak sengaja mendorongnya di selokan.”

Sepanjang hidup aku tidak pernah berbohong. Namun entah kenapa aku merasa harus melindunginya. Baru dua hari sebelumnya dia dipukuli karena berkelahi dan aku tidak ingin ayah menambah luka di tubuhnya. Akhirnya yang dipukuli adalah aku. Aku hanya menerimanya dengan asrah, walaupun air mata tetap mengalir menahan rasa sakit. Aku juga merasa bersalah karena tidak bisa menjaga Miwon dengan baik.

“Setelah itu aku tidak pernah usil atau mengganggu teman-temanku lagi. Aku juga tidak pernah berkelahi lagi. Karena aku takut kalau kak Ed bakalan menerima pukulan dari ayah lagi,” kata Miwon sambil melihatku lagi.

Aku teringat lagi masa dimana kami berpisah. Setelah bercerai, ibu pindah rumah dengan membawaku di sisinya. Miwon berlari ke luar rumah mengejarku dan ibu. Dia menangis dengan keras.

“Kenapa.. padahal aku tidak pernah nakal lagi. Kenapa ibu dan kakak pergi meninggalkanku?” ibu memeluknya erat.

“Ibu dan kakak pergi untuk sementara. Adik harus janji untuk tidak berkelahi lagi. Harus patuh dengan semua yang dibilang sama ayah. Nanti kalau adik sudah jadi anak yang baik, adik akan mendapatkan hadiah,”

“Aku nggak mau hadiah! Aku mau ibu!”

“Iya, Won. Hadiahnya itu kamu bisa bertemu lagi sama ibu dan kakak. Kamu mau kan?” Miwon mengangguk pelan. “Miwon, ibu sangat menyayangimu!”

Hari itu benar-benar awal mula kami harus membangun hidup lagi karena hancurnya keutuhan keluarga. Ibu yang hanya memiliki ijazah SMA, berusaha untuk mendapatkan pekerjaan sana-sini. Bekerja di rumah makan, menjadi pembantu rumah tangga, menjadi OB, semua pekerjaan dilakukannya tanpa mengeluh.

“Sudah dari tadi kamu mengoceh terus. Sampai-sampai ayah sama sekali belum mendengar suara kakakmu,” suara ayah yang agak berat membuyarkan lamunanku. Aku memakan satu suapan terakhir. Miwon dan ayah memperhatikanku dengan seksama.

“Nasi goreng ini enak sekali,” kataku basa-basi. Miwon menepuk bahuku beberapa kali dan melanjutkan makannya kembali.

“Iya. Kamu mau tambah?” tanya beliau. Aku menggeleng dengan cepat.

“Nggak, yah. Terima kasih.”

“Nggak usah sungkan-sungkan. Sama ayah sendiri kok.”

“Nggak yah. Aku masih kenyang kok. Makasih,” ulangku lagi, mencoba utuk tersenyum didepannya. Lalu kami berdua tidak bicara sepatah katapun. Aku melirik Miwon yang masih asik memakan nasi goreng. Untung saja ada Miwon, kalau nggak suasana bakalan caggung banget!

“Ayah lebih suka nasgor buatan ibumu,” kata beliau kemudian.

“Ya, buatan ibu yang paling enak,” ucapku setengah tersenyum. Ayah dan Miwon kembali memperhatikanku. “Ibu juga sering mengajakku untuk membantunya memasak. Sekarang aku juga sejago ibu.”

“Baguslah. Kapan-kapan ayah juga ingin memakan nasgor buatanmu.”

“Aku juga!” tambah Miwon bersemangat. Aku mengangguk sambil tersenyum lagi. Ya, semua ini akan berjalan dengan baik. Aku akan melupakan sedikit rasa sakitku pada ayah. Semuanya akan baik-baik saja. Seperti aku menerima kehadiran Miwon kembali. Aku juga akan belajar menerima kehadiran ayah lagi dalam hidupku.

“Oh ya, sebentar lagi kamu akan menghadapi Ujian Nasional kan? Sekarang bimbel dimana?” pertanyaan ayah membuatku tertawa sejenak.

“Aku nggak bimbel, yah. Lagipula kan aku masih kelas dua. Jadi mulai dari sekarang aku akan berjuang keras untuk belajar dalam menghadapi persiapan Ujian Nasional nanti,” setelah berbicara, aku menyeruput teh hangat di meja. Setelah meminum teh, aku tidak mendengar suara ayah sedikitpun.

Aku mulai melihat wajah ayah lagi. Kening ayah tampak berkerut. Aku bingung dengan reaksi ayah. Aku menoleh pada Miwon yang hanya mengendikkan bahu. Ekspresi Ayah tampak terkejut dan bingung menjadi satu.

“Kamu.. bukannya sekarang kelas tiga?” giliran aku yang menatapnya dengan heran. "Bukannya kamu satu tahun lebih tua dari Miwon?”

“Oh, ternyata ibu belum cerita soal ini ya. Aku telat setahun, yah. Karena setelah lulus sd, terjadi sesuatu. Makanya aku menunda sekolah.”

“Ibumu tidak pernah cerita tentang ini. Kalau semua itu karena biaya, kenapa nggak bilang sama ayah? Bukannya sebelum kami pergi ke Kalimantan, ayah sudah meminta ibumu untuk tetap menyimpan nomer hp ayah? Kamu nggak boleh mengabaikan pendidikanmu, Ed. Aku harus bertanya pada ibumu kenapa dia bisa mengabaikan..,”

“Bukan karena biaya. Juga bukan karena ibu. Itu karena aku tidak ingin meneruskan sekolah,” kilahku cepat. Aku melihat jarum jam di arloji dan segera berdiri. “Maaf yah, aku hampir telat kerja. Aku pamit dulu.” Ayah ikut berdiri dari duduknya.

“Kerja apa kamu? Jangan alasan. Kita harus membicarakan hal ini,” suaranya tampak setengah emosi. Aku tidak tahu kenapa ibu menyembunyikan kisah sepanjang hidup kami dari ayah. Bukannya ayah harus tau sehingga tidak perlu banyak bertanya dan mengungkit luka masa lalu? Mungkin ibu tidak ingin ayah mengetahui betapa menyedihkan hidup yang telah kami jalani sesudah ditinggal olehnya.

“Hanya kerja paruh waktu. Mungkin ayah masih belum tau kalau ayah cukup meninggalkan banyak luka pada kami sesudah ayah menceraikan ibu. Kami harus menumpang di rumah saudara ibu. Dan ibu selalu bekerja siang-malam tanpa henti. Bahkan saat kami tidak dapat tinggal lagi dengan saudara, kami rela tidur di jalanan. Tinggal disana-sini sampai seorang ibu tukang warung memungut kami. Kalau harus diceritakan bagaimana caranya kami bertahan hidup, ceritanya sangat panjang. Lagipula semuanya itu sudah masa lalu. Kami memulai hidup yang baru. Tanpa harus membebani ayah lagi. Kami berdua bahagia tanpa kehadiran ayah lagi dalam hidup kami,” aku sudah tidak peduli lagi pandangan orang-orang di sekitar.

Para pelayan juga mulai kasak-kusuk. Sementara ayah dan Miwon hanya berdiri kaku. “Aku benar-benar terlambat. Aku pamit dulu. Terima kasih karena sudah mengajakku makan bersama,” aku segera pergi meninggalkan mereka berdua dengan kepala menunduk.

Ya, aku memang sedikit bersalah karena telah membongkar sejarah hidup kami tanpa seijin ibu. Tetapi aku benar-benar tidak bisa lagi menyembunyikan cerita itu dari sikap ayah yang menyebalkan. Kalau tidak diceritakan, ayah benar-benar tidak akan mengerti betapa mengerikannya dia setelah memutuskan untuk meninggalkan kami.

TO BE CONTINUED

Episodes
1 Episode 1 - PROLOG
2 Episode 2 - SALING BERTEMU
3 Episode 3 - TATAPAN CEWEK BERWAJAH DINGIN
4 Episode 4 - SI PENGUNTIT
5 Episode 5 - PERUBAHAN EDELWEIS
6 Episode 6 - MENJAUHI EDELWEIS??! ITU TIDAK MUNGKIN!
7 Episode 7 - PERTEMUAN YANG TIDAK PENTING
8 Episode 8 - TIDAK ADA YANG PERLU DISEMBUNYIKAN LAGI!
9 Episode 9 - TRAGEDI SESAAT Part 1
10 Episode 10 - TRAGEDI SESAAT Part 2
11 Episode 11 - PERNYATAAN MIWON
12 Episode 12 - BELAJAR UNTUK MENERIMA Part 1
13 Episode 13 - BELAJAR UNTUK MENERIMA Part 2
14 Episode 14 - TUGAS GANDA YANG MENYENANGKAN Part 1
15 Episode 15 - TUGAS GANDA YANG MENYENANGKAN Part 2
16 Episode 16 - TUGAS GANDA YANG MENYENANGKAN Part 3
17 Episode 17 - TUGAS GANDA YANG MENYENANGKAN Part 4
18 Episode 18 - TUGAS GANDA YANG MENYENANGKAN Part 5
19 Episode 19 - BANTUAN UNTUK MIWON
20 Episode 20 - PERASAAN EDELWEIS SESUNGGUHNYA
21 Episode 21 - PILIHAN YANG SANGAT RUMIT
22 Episode 22 - MENCARI KEBAHAGIAAN MASING-MASING
23 Episode 23 - DOUBLE DATE
24 Episode 24 - PENAMPILAN SERAM MEMBAWA KEBAIKAN
25 Episode 25 - KERJA KELOMPOK YANG MENGUBAH PERASAAN Part 1
26 Episode 26 - KERJA KELOMPOK YANG MENGUBAH PERASAAN Part 2
27 Episode 27 - KEJUJURAN YANG MENYAKITKAN
28 Episode 28 - MENJADI LEBIH SEDIKIT BERANI
29 Episode 29 - LAGU SPESIAL UNTUK AFIKA
30 Episode 30 - KATA-KATA YANG MEMBUAT TERLUKA
31 Episode 31 - TIDAK BIMBANG LAGI
32 Episode 32 - HAPPY OR SAD ENDING & EPILOG
33 BONUS I : Kelanjutan Hidup Edelweis
34 BONUS II : Timmy Singgah di Hatinya
35 AUTHOR’S NOTE
Episodes

Updated 35 Episodes

1
Episode 1 - PROLOG
2
Episode 2 - SALING BERTEMU
3
Episode 3 - TATAPAN CEWEK BERWAJAH DINGIN
4
Episode 4 - SI PENGUNTIT
5
Episode 5 - PERUBAHAN EDELWEIS
6
Episode 6 - MENJAUHI EDELWEIS??! ITU TIDAK MUNGKIN!
7
Episode 7 - PERTEMUAN YANG TIDAK PENTING
8
Episode 8 - TIDAK ADA YANG PERLU DISEMBUNYIKAN LAGI!
9
Episode 9 - TRAGEDI SESAAT Part 1
10
Episode 10 - TRAGEDI SESAAT Part 2
11
Episode 11 - PERNYATAAN MIWON
12
Episode 12 - BELAJAR UNTUK MENERIMA Part 1
13
Episode 13 - BELAJAR UNTUK MENERIMA Part 2
14
Episode 14 - TUGAS GANDA YANG MENYENANGKAN Part 1
15
Episode 15 - TUGAS GANDA YANG MENYENANGKAN Part 2
16
Episode 16 - TUGAS GANDA YANG MENYENANGKAN Part 3
17
Episode 17 - TUGAS GANDA YANG MENYENANGKAN Part 4
18
Episode 18 - TUGAS GANDA YANG MENYENANGKAN Part 5
19
Episode 19 - BANTUAN UNTUK MIWON
20
Episode 20 - PERASAAN EDELWEIS SESUNGGUHNYA
21
Episode 21 - PILIHAN YANG SANGAT RUMIT
22
Episode 22 - MENCARI KEBAHAGIAAN MASING-MASING
23
Episode 23 - DOUBLE DATE
24
Episode 24 - PENAMPILAN SERAM MEMBAWA KEBAIKAN
25
Episode 25 - KERJA KELOMPOK YANG MENGUBAH PERASAAN Part 1
26
Episode 26 - KERJA KELOMPOK YANG MENGUBAH PERASAAN Part 2
27
Episode 27 - KEJUJURAN YANG MENYAKITKAN
28
Episode 28 - MENJADI LEBIH SEDIKIT BERANI
29
Episode 29 - LAGU SPESIAL UNTUK AFIKA
30
Episode 30 - KATA-KATA YANG MEMBUAT TERLUKA
31
Episode 31 - TIDAK BIMBANG LAGI
32
Episode 32 - HAPPY OR SAD ENDING & EPILOG
33
BONUS I : Kelanjutan Hidup Edelweis
34
BONUS II : Timmy Singgah di Hatinya
35
AUTHOR’S NOTE

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!