Episode 7 - PERTEMUAN YANG TIDAK PENTING

Classroom: XIIPS1

“Karena sebentar lagi ulang tahun sekolah, tiap-tiap kelas akan membuat suatu acara untuk memeriahkannya. Namun kami juga akan mengambil tiga anak yang mengikuti ekskul musik, teater, dan band sebagai perwakilan kelas untuk turut memeriahkan acara tersebut. Perkataan Danu, ketua kelas XIIPS1, langsung membuat kelas

riuh. Sementara Hami, sebagai wakil kelas berdiri disampingnya bersiap untuk mencatat. “Siapa saja yang sudah megikuti ekskul teater?”Sekitar lima orang mengacungkan jarinya.

“Siapa yang akan mengajukan diri?” tanyanya lagi. Semua orang menunjuk Timy yang baru saja menurukan tangannya. Mata Timmy langsung berbinar-binar. Dia sangat senang karena teman-teman menyadari bakatnya yang terpendam.

“Yaa.. walaupun aktingnya agak payah sih, tapi apa boleh buat. Fans-fansnya pasti sangat ingin menonton pertunjukannya,” gerutu Yusie, gadis yang juga mengikuti ekskul teater. ‘Akh, aktingku PAYAH??!’ spontan Timmy mendelik kaget. Yusie menoleh ke arah Timmy dengan tangan menggenggam ke atas. “Tim, kami memberi

kesempatan padamu. Jangan sampai mengecewakan fans-fansmu yaa. SEMANGAT!!!”

Timmy mendengar banyak dukungan yang dilontarkan oleh Yusie dan teman-temannya. Timmy menganggukkan kepala dengan senyumannya yang dirasa paling manis.

“Ham, catat itu,” kata Danu sambil membersihkan kacamatanya. “Lalu siapa saja yang mengikuti ekskul musik?” seseorang mengacungkan tangannya. Danu menyipitkan matanya yang masih tampak samar. Kemudian dia mengenakan kacamatanya kembali. Mendadak jantungnya berdetak lebih cepat. Dia hanya ber aah-uuh agak lama. Hami mengerti kenapa si ketua kelas mendadak grogi seperti itu. Dia menutup bukunya.

“Afika, kamu yang ikut musik ya,” perkataan Hami langsung membuat pensil yang dipegang Afika patah. Hami menyadari bahwa Afika tidak terlalu suka menonjolkan diri. Tetapi dia juga dia tidak bisa mengingkari jika para siswa yang mengikuti ekskul diwajibkan untuk mengikuti lomba. Selain itu Hami juga ingin Afika untuk mulai menunjukkan siapa dirinya dihadapan orang lain. Afika yang berbakat bukan hanya dengan sebutan Afika yang menakutkan. “Kita sekelas harus saling membantu loh. Apalagi nggak bisa kalau nggak ikut lomba. Teman-teman juga pasti akan mendukungmu,” katanya lagi, mencoba meyakinkan gadis yang terpaku padanya. Anak-anak seisi kelas memandangnya dengan penuh harap.

“Afika mau kok!” seruan Miwon membuat gadis di sebelahnya mendelik ke arahnya. Anak-anak yang melihat ekspresi horor dari wajah Afika langsung membatu. Miwon malah tertawa melihat ekspresi Afika. “Hei, kamu membuat semua orang takut tuh,” Afika merasa insyaf. Dia menunduk malu. Afika memainkan jarinya dibawah bangku dengan gelisah. Tiba-tiba Miwon menggenggam tangannya.

“Tenang saja. Aku juga akan mendukungmu. Saat kamu memainkannya, aku akan berdiri paling depan dan bertepuk tangan dengan keras untukmu. Karena aku tahu, kamu akan memainkannya dengan sepenuh hati,” entah kenapa perkataan cowok itu membuat Afika senyum tertahan.

Afika benar-benar ingin tersenyum karena lega mendengarnya. Dia memang merasa demam panggung nantinya. Apalagi orang-orang akan sibuk gemetaran ketika dia memainkan musiknya. Dia tidak ingin membayangkan hal itu. Tetapi karena Miwon dan teman-teman sangat

mengharapkannya unttuk bermain membuatnya memiliki sedikit keberanian untuk tampil.

“Afika?” panggil Hami. Afika segera melepas tangannya dari Miwon dan menganggukkan kepala. “Wah, itu berarti kamu mau tampil!Teman-teman, kita juga harus mendukung Afika ya!” serunya senang. Teman-temannya juga menganggukkan kepala. Sebagian lagi ikut senang karena Afika mau untuk tampil.

“Afika, kami mendukungmu!” seruan Mari membuat senyum Afika mengembang. Rupanya teman-temannya benar-benar mendukung dirinya. Hal itu membuat Afika tidak perlu takut dengan kehadirannya diatas panggung nanti.

“Oke. Sekarang siapa saja yang mengikuti ekskul band?” lanjut Danu. Afika kembali melanjutkan menulis. Dilihatnya pensilnya sudah terbelah menjadi dua. Dia hendak mengambil kotak pensil dari dalam tas. Seseorang meletakkan pensil di depan bangkunya. Afika menoleh padanya. Cowok disebelahnya tersenyum lagi.

“Pakai saja. Aku punya banyak pensil cadangan kok.”

...***...

Sebenarnya Edelweis tidak ingin mengenakan kemeja yang baru saja dibelikan oleh ibunya. Tetapi apa boleh buat, ibunya sengaja membelinya untuk bertemu dengan ayah dan adiknya hari ini. Dikenakannya kemeja itu di depan cermin. Dia menghela nafas sesaat. ‘Mubazir banget kemeja sebagus ini dipakai untuk menemui orang yang tidak penting,’ batinnya kesal. Lantas ia meninju tembok dengan keras.

“Ed, ayah dan adikmu sudah datang,” terdengar teriakan ibunya dari lantai bawah. Edelweis menarik nafasnya berulang kali. ‘Setelah sekian tahun, akhirnya aku menemuinya lagi,’ dia merapikan kemejanya lagi dan segera turun ke lantai bawah. Tampak seorang pria bertubuh tegap dan seorang pemuda sedang duduk di sofa sambil mengamati beberapa lukisan yang tergantung di tembok. “Ed sendiri yang membuat lukisan itu,” kata ibunya lagi.

“Dari dulu dia memang suka menggambar. Aku tahu kalau dia memang berbakat,” gumam pria itu membuat Edelweis agak jengah. Dia hendak berbalik menaiki anak tangga, tetapi seseorang memanggil namanya.

“Kak, aku kangen loh!” Edelweis berbalik lagi dengan wajah tanpa minat. Seorang pemuda berjalan ke arahnya dan memeluknya dengan erat. “Wah, akhir-akhir ini kita sering ketemu ya!” serunya senang. Seorang pria juga mendekatinya. Edelweis mulai melihatnya tanpa mendongak lagi. Kini tinggi badannya telah setara dengan pria didepannya.

“Kamu sudah besar ya?” kata pria itu dengan tersenyum tenang. Edelweis memalingkan muka. Ibunya menggelengkan dengan wajah cemas padanya. Edelweis mengerti apa yang dimaksud oleh ibunya. Bagaimanapun juga orang yang berada didepannya adalah ayahnya dan dia harus menghormatinya. “Selamat ya. Kata ibumu, kamu baru saja memenangkan lomba debat bahasa inggris. Ayah bangga padamu.”

Edelweis menganggukkan kepala. Ibunya mengajak mereka duduk kembali. Ayah dan adiknya duduk berhadapan dengannya dan ibunya. Sudah lama mereka tidak duduk bersama seperti ini. Edelweis berusaha mengangkat wajahnya.

‘Pria itu sudah tampak tua. Badannya juga tidak sekekar dulu. Wajahnya juga tampak lelah,’ Edelweis masih mengamati ayahnya yang tampak asik mengobrol dengan adik dan ibunya.

“Sekarang aku sudah bawa motor sendiri loh, bu. Jadi kalau berangkat sekolah nggak nyusahin mamang lagi deh,” kini giliran Miwon, adiknya yang berbicara.

“Hati-hati ya kalau nyetir di jalan. Lihat kanan-kiri, jangan ngebut. Berangkatnya harus satu setengah jam lebih awal. Ingat loh, sekolahmu kan jauh, Won,” wejang ibunya. Miwon menganggukkan kepala dengan senang.

“Aku juga bakalan sesering mungkin datang kesini. Mungkin sabtu atau minggu aku bisa menginap disini. Boleh kan, bu?”

“Ya nggak apa-apa. Kan ini rumahmu juga,” ucap ibunya.

‘Kenapa nggak sekalian ajah disuruh tinggal disini,’ pikir Edelweis agak kesal. Wajahnya kembali menoleh ke ayahnya. Jantungnya agak berdegup ketika mengetahui ayahnya tengah menatapnya. Entah sejak kapan. Dia langsung memalingkan muka tidak peduli.

“Sering-seringlah main ke rumah, Ed. Ayah akan mengajakmu pergi berenang dengan Miwon,” ucapan

beliau membuat Edelweis sedikit terhenyak.

“Itupun kalau ayah sempat.”

“Edelweis!” seru ibunya kaget mendengar perkataan anak pertamanya. Ayahnya langsung

tertawa.

“Kamu tidak banyak berubah ya, Ed. Selalu bicara ketus sama ayah.”

Edelweis bangkit dari duduknya.

“Bu, aku akan menunggu pizzanya di luar,” pamitnya. Dia segera bergegas keluar. Miwon juga ikut berdiri.

“Aku juga ingin menemaninya di luar.”

Setelah kedua anaknya berada di luar rumah, dua orang yang masih duduk berhadapan menjadi agak canggung.

“Maaf kalau Ed bicara tidak sopan,” kata ibunya membuka pembicaraan. Pria paruh baya didepannya hanya menyunggingkan senyum.

Miwon menemukan kakaknya sedang duduk santai di halaman rumah. Dia ikut duduk di kursi sebelah kakaknya. Hening. Tidak ada pembicaraan sama sekali.

Entah Edelweis menyadari keberadaan adiknya atau tidak, dia jelas bersikap seolah-olah tidak ada siapapun didekatnya. Miwon sendiri bingung harus berbicara tentang apa. Karena dia melihat kakaknya tampak sama sekali tidak tertarik berbicara dengannya. Jarinya terus-menerus mengetuk di lengan kursi.

“Tadi pesan pizza ya, kak?” tanya Miwon berusaha memecah keheningan. Edelweis mengangguk sesaat. Miwon terdiam kembali. “Itu semua sudah masa lalu. Seharusnya sekarang kakak bisa memaafkannya,” Edelweis menoleh padanya.

 

“Siapa?” tanyanya bodoh. Miwon menghela nafas panjang. Sudah bisa ditebak kalau Edelweis belum bisa memafkan kesalahan fatal yang pernah diperbuat oleh ayahnya. Miwon kembali terdiam.

Ingin rasanya ia menonjok kakaknya berkali-kali sampai tersadar jika kebenciannya selama ini hanyalah sia-sia. Dia tahu bagaimana penderitaan ibu dan kakaknya. Tetapi dia juga tahu bagaimana penderitaan yag juga dialami oleh ayahnya. Tanpa mereka sadari, selama ini mereka semua sama-sama menderita.

“Cewek itu..,” Miwon menoleh ketika mendengar kakaknya berbicara.

“Cewek itu?” ulang Miwon tidak mengerti.

“Afika. Dia dekat denganmu ya? Kalian kemana-mana selalu bersama,” ucapan Edelweis membuat Miwon tertawa sejenak.

“Kamu baru menyadarinya? Dia benar-benar cewek yang baik. Walaupun banyak orang yang selalu ketakutan dengan kehadirannya, tetapi dia tidak pernah marah dalam menanggapinya. Yaa.. dia selalu berjuang memberikan kebaikan agar orang-orang bisa menerimanya. Aku sangat senang karena bisa berteman baik dengannya. Makanya

aku kesal banget saat kamu nyuekin dia. Padahal dia sering menyapa kamu duluan.”

“Aku nggak pernah tahu kalau dia sering menyapaku.”

“Itu karena kamu jalan sambil melamun,” dumel Miwon asal. Edelweis menoleh sesaat.

‘Bagaimana dia tahu? Setiap hari aku selalu memikirkan masa kecilku sampai terkadang aku tidak menghiraukan orang-orang disekitar. Entah kenapa aku selalu memikirkan masa dimana saat kita masih berkumpul dan bahagia. Padahal aku selalu ingin menghapus kenangan itu dalam memoriku tapi aku malah selalu kalah dengan kenangan yang sering terlintas itu.’

Miwon melihat kakaknya yang menatapnya kosong. Jalan pikirannya langsung bergerak cepat.

“Hah, kakak menanyakan ini pasti ada maksudnya kan?” Edelweis mengerutkan kening tidak mengerti. Miwon mulai berjongkok di atas kursi. “Jangan-jangan kak Ed mulai naksir ya sama Afika??!” tudingnya.

Belum sempat menjawab, terdengar seseorang mengetuk pagar rumahnya. Terlihat mas delivery sedang berdiri di depan pintu pagar. Edelweis segera mengambil uang di saku celananya dan berjalan ke arah pagar. Miwon duduk kembali di kursi. Dia mulai melihat motor yang hilir  mudik.

Tiba-tiba Miwon mengerutkan keningnya. Tampak seorang cewek yang baru saja menghentikan motornya untuk menengok motor delivery. Cewek itu mencatat sesuatu di memo kecilnya. Setelah itu dimasukkannya lagi memo dan pulpen di dalam tas. Miwon benar-benar tergelak melihat apa yang dilakukannya. Cowok itu segera berlari ke pagar yang tidak jauh dari cewek yang baru saja menyalakan motor bebeknya.

“Afika! Kok aneh yaa kita bisa ketemu disini!” sapanya girang. Cewek itu langsung melotot kaget. “Kayaknya kita jodoh deh,” imbuhnya lagi. Edelweis yang baru saja membayar, juga terkejut dengan kehadiran Afika.

“Loh, Fik, kamu kok ada disini?” tanyanya kaget. Afika lebih kaget dua kali lipat karena bertemu dengan Edelweis. “Maksudku rumah kamu di sekitar sini?” ralatnya.

“Aa.. ku.. habis beli buku. Kebetulan ajah aku lewat sini,” kata Afika mendadak gugup. Edelweis hanya menjawab –ooh saja. Miwon mengamati keduanya yang saling menatap canggung.

“Kamu tadi lagi ngapain sih? Kok kayak lagi nyatet sesuatu?” tanya Miwon mencairkan suasana. Afika mematikan mesin motornya.

“Eh, iya. Tadi aku iseng ajah pengen tau nomer delivery pizza itu berapa. Jadi nanti kalau pengen pesen tinggal telpon doang,” kata Afika sambil tertawa kecil.

“Dasar konyol! Lihat di internet kan juga bisa. Di jalanan juga banyak label nomer kontaknya,” Miwon tertawa ngakak. Afika langsung memoyongkan bibirnya. Afika kembali melirik ke arah Edelweis yang sedari tadi menatapnya.

“Ini rumahnya Ed atau Miwon?” tanya Afika dengan tatapan menghadap Edelweis.

“Ini rumah.,” Edelweis bingung menjelaskannya. Pasalnya itu rumah yang ditinggalinya. Tetapi Miwon juga adalah adiknya. Masa di depan adik sendiri harus bilang itu adalah rumahnya. Itu sama saja tidak mengakui adik sendiri dan bisa dianggap tidak menerima adiknya di rumah itu.

Tapi bukan berarti Edelweis begitu saja menerima adiknya untuk tinggal di rumahnya. Tapi masa orang lain harus mengetahui bahwa mereka saudara kandung. Bagaimana menjelaskannya? ‘Aargh, confused!!!’ jeritnya.

“Ini rumah kak Ed kok,” Edelweis terkejut mendengar sahutan cowok dsebelahnya.

“Kak?” Afika bingung karena Miwon memanggil Ed dengan sebutan ‘kak’. ‘Bukankah mereka sama-sama kelas sebelas? Kenapa manggil kak? Sejak kapan Miwon dan Ed bisa seakrab itu? Miwon bertandang ke rumah Ed? Tidak dapat dipercaya!’ begitu banyak rentetan pertanyaan dalam pikiran Afika.

“Mak.. maksudnya kan Ed itu selisihnya beda sama aku satu tahun, jadi aku memanggil dia kak,” seru Miwon agak canggung.

“Wah, kalian kelihatan akrab banget yaa,” puji Afika. Miwon menarik nafas lega. ‘Apakah Miwon tidak ingin orang lain tahu bahwa kami bersaudara? Atau karena aku memang tidak ingin orang lain mengetahuinya? Tidak, Miwon ingin menutupinya karena dia memahami apa yang aku rasakan,’ kekalutan yang dipikirkan Edelweis

terjawab sudah.

‘Miwon masih mengerti diriku, seperti dulu. Seperti itukah kamu menyayangi kakakmu, Won?’ Edelweis menepuk bahu adiknya pelan.

“Ini rumah kami,” katanya sambil tersenyum lembut. Miwon dan Afika melongo. “Kami ini kan saudara, Fik,” Miwon terbelalak hampir tidak percaya mendengarnya. Dia tidak menyangka bahwa kakaknya sudah bisa menerimanya kembali.

“Oh, aku baru tau nih. Dasar Afika kuper, hehehe,” seru Afika sembari memukul helmnya pelan. Edelweis tersenyum lagi.

“Memang tidak banyak yang tau kok.”

“Kalau begitu, aku pamit dulu ya,” Afika kembali menyalakan motornya. Dia berusaha menunjukkan sedikit senyumannya yang tidak berlebihan pada Ed. Tetapi saat tatapannya beralih ke Miwon, raut wajahnya menjadi agak masam. Afika kembali memoyongkan bibirnya.

Edelweis melihat motor Afika yang sudah agak jauh. Dia menengok adiknya yang sedari tadi tidak berbicara. Dilihatnya Miwon sedang bengong sambil mencubit pipinya berkali-kali.

“Sini kubantu!” Edelweis langsung menarik pipi adiknya dengan kuat.

“Aadaaaww..,”

“Aku tahu kalau kamu selalu memikirkan keluarga. Entah itu ibu, ayah, ataupun aku. Kamu tidak berpihak pada siapapun. Kamu tidak berubah, Won. Seperti saat ini, selalu memahamiku.”

“Jadi kakak nggak membenciku lagi kan?!” diremasnya kedua pundak kakaknya. Edelweis mengangguk sambil mengulum senyum.

“Lalu ayah..,” pancingnya dengan tatapan lirih. Edelweis terdiam sesaat.

“Mungkin, aku coba,” katanya kemudian.

TO BE CONTINUED

Episodes
1 Episode 1 - PROLOG
2 Episode 2 - SALING BERTEMU
3 Episode 3 - TATAPAN CEWEK BERWAJAH DINGIN
4 Episode 4 - SI PENGUNTIT
5 Episode 5 - PERUBAHAN EDELWEIS
6 Episode 6 - MENJAUHI EDELWEIS??! ITU TIDAK MUNGKIN!
7 Episode 7 - PERTEMUAN YANG TIDAK PENTING
8 Episode 8 - TIDAK ADA YANG PERLU DISEMBUNYIKAN LAGI!
9 Episode 9 - TRAGEDI SESAAT Part 1
10 Episode 10 - TRAGEDI SESAAT Part 2
11 Episode 11 - PERNYATAAN MIWON
12 Episode 12 - BELAJAR UNTUK MENERIMA Part 1
13 Episode 13 - BELAJAR UNTUK MENERIMA Part 2
14 Episode 14 - TUGAS GANDA YANG MENYENANGKAN Part 1
15 Episode 15 - TUGAS GANDA YANG MENYENANGKAN Part 2
16 Episode 16 - TUGAS GANDA YANG MENYENANGKAN Part 3
17 Episode 17 - TUGAS GANDA YANG MENYENANGKAN Part 4
18 Episode 18 - TUGAS GANDA YANG MENYENANGKAN Part 5
19 Episode 19 - BANTUAN UNTUK MIWON
20 Episode 20 - PERASAAN EDELWEIS SESUNGGUHNYA
21 Episode 21 - PILIHAN YANG SANGAT RUMIT
22 Episode 22 - MENCARI KEBAHAGIAAN MASING-MASING
23 Episode 23 - DOUBLE DATE
24 Episode 24 - PENAMPILAN SERAM MEMBAWA KEBAIKAN
25 Episode 25 - KERJA KELOMPOK YANG MENGUBAH PERASAAN Part 1
26 Episode 26 - KERJA KELOMPOK YANG MENGUBAH PERASAAN Part 2
27 Episode 27 - KEJUJURAN YANG MENYAKITKAN
28 Episode 28 - MENJADI LEBIH SEDIKIT BERANI
29 Episode 29 - LAGU SPESIAL UNTUK AFIKA
30 Episode 30 - KATA-KATA YANG MEMBUAT TERLUKA
31 Episode 31 - TIDAK BIMBANG LAGI
32 Episode 32 - HAPPY OR SAD ENDING & EPILOG
33 BONUS I : Kelanjutan Hidup Edelweis
34 BONUS II : Timmy Singgah di Hatinya
35 AUTHOR’S NOTE
Episodes

Updated 35 Episodes

1
Episode 1 - PROLOG
2
Episode 2 - SALING BERTEMU
3
Episode 3 - TATAPAN CEWEK BERWAJAH DINGIN
4
Episode 4 - SI PENGUNTIT
5
Episode 5 - PERUBAHAN EDELWEIS
6
Episode 6 - MENJAUHI EDELWEIS??! ITU TIDAK MUNGKIN!
7
Episode 7 - PERTEMUAN YANG TIDAK PENTING
8
Episode 8 - TIDAK ADA YANG PERLU DISEMBUNYIKAN LAGI!
9
Episode 9 - TRAGEDI SESAAT Part 1
10
Episode 10 - TRAGEDI SESAAT Part 2
11
Episode 11 - PERNYATAAN MIWON
12
Episode 12 - BELAJAR UNTUK MENERIMA Part 1
13
Episode 13 - BELAJAR UNTUK MENERIMA Part 2
14
Episode 14 - TUGAS GANDA YANG MENYENANGKAN Part 1
15
Episode 15 - TUGAS GANDA YANG MENYENANGKAN Part 2
16
Episode 16 - TUGAS GANDA YANG MENYENANGKAN Part 3
17
Episode 17 - TUGAS GANDA YANG MENYENANGKAN Part 4
18
Episode 18 - TUGAS GANDA YANG MENYENANGKAN Part 5
19
Episode 19 - BANTUAN UNTUK MIWON
20
Episode 20 - PERASAAN EDELWEIS SESUNGGUHNYA
21
Episode 21 - PILIHAN YANG SANGAT RUMIT
22
Episode 22 - MENCARI KEBAHAGIAAN MASING-MASING
23
Episode 23 - DOUBLE DATE
24
Episode 24 - PENAMPILAN SERAM MEMBAWA KEBAIKAN
25
Episode 25 - KERJA KELOMPOK YANG MENGUBAH PERASAAN Part 1
26
Episode 26 - KERJA KELOMPOK YANG MENGUBAH PERASAAN Part 2
27
Episode 27 - KEJUJURAN YANG MENYAKITKAN
28
Episode 28 - MENJADI LEBIH SEDIKIT BERANI
29
Episode 29 - LAGU SPESIAL UNTUK AFIKA
30
Episode 30 - KATA-KATA YANG MEMBUAT TERLUKA
31
Episode 31 - TIDAK BIMBANG LAGI
32
Episode 32 - HAPPY OR SAD ENDING & EPILOG
33
BONUS I : Kelanjutan Hidup Edelweis
34
BONUS II : Timmy Singgah di Hatinya
35
AUTHOR’S NOTE

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!