Episode 4 - SI PENGUNTIT

Breaktime (09:30)

Satu, dua, tiga, ... enam, tujuh! Sudah tujuh hari dia membuntutiku seperti ekor dimanapun dan kapan pun aku berada. Semenjak hari senin sebelumnya sampai senin sekarang. Hari minggu nggak termasuk sih. Hitungan ketujuh masuk pada hari senin ini. Setiap pagi cowok jangkung itu ikut nimbrung di antara aku, Timmy, dan Hami. Membantuku mengusir para fans Timmy yang berbondong-bondong datang ke kelas silih berganti. Padahal aku tidak membutuhkan bantuannya sama sekali. Bukankah dia juga tahu jika mereka semua akan ketakutan jika berhadapan denganku. Jadi dia tidak usah bersusah-payah untuk itu.

Setiap jam istirahat, dia tidak pernah bermain bola dengan anak-anak cowok di lapangan (padahal kebanyakan gerombolan cowok ips kan selalu bertanding bola dengan gerombolan cowok ipa disana, dari tingkat satu sampai tiga), tetapi dia malah lebih suka berkumpul denganku dan kedua temanku yang duduk di bawah pohon dan melihat permainan basket yang tidak jauh dari lapangan.

Selain itu, dia selalu berbicara ngalor-ngidul entah dari mana awalnya. Dosis kecerewetannya melebihi Hami yang sering membicarakan novel teenlit terbaru dan gaya narsisme-nya lebih tinggi dari kadar Timmy. Dia seperti perpaduan antara Hami dan Timmy. Seakan-akan menghadapi kecerewetan dan kenarsisan Hammy-Timmy yang berlipat ganda. Gara-gara keberadaannya yang menyengatku tiba-tiba, aku jadi sering bermimpi buruk.

Entah kenapa setiap keberadaannya membuatku takut melebihi apapun. Bukan rasa minder yang aku rasakan ketika bertemu dengannya, tetapi lebih seperti rasa takut untuk berada bersamanya.

“Kita pesen apa nih?” tanya Timmy dengan wajah riang. Dia selalu seriang itu. Wajahnya selalu menampakkan keceriaan dan memberikan kebahagiaan pada orang-orang disekitarnya.

Tidak ada cerita ‘Timmy dibenci semua orang’ tapi ‘Timmy yang dicintai semua orang’. Terkadang aku iri dengan keberadaannya. Mungkin takdir kita memang berbeda. Timmy yang riang tidak akan pernah bisa disandingkan dengan Afika yang pendiam plus menakutkan. Aku menyadarinya. Terlalu menyadarinya di saat Timmy berada di dekatku.

“Aku nggak nafsu makan. Aku pesen es teh ajah deh kayak kamu,” kata Hami kemudian. Aku memesan minuman yang sama ditambah menu bakso. Sementara Miwon, si cowok cersis (cerewet nan narsis) memesan

bakso dan segelas air putih.

Dia menambahkan tidak ada minuman lain yang lebih sehat selain air putih. Rempong banget. Istilah siapa tuh dipakai sembarangan. Aku bertaruh, pasti dia banyak menyimpan minuman kaleng bersoda di dalam rumahnya, hohoho.

“Aku baru tahu kalau Afika tersenyum, sudut bibir kanannya selalu mencuat ke atas,” lamunanku tersadar. Rupanya sedari tadi Miwon mengamatiku dengan kedua tangan di pipi. Semoga wajahku tidak memerah seperti yang aku pikirkan.

“Aku nggak tersenyum,” dalihku.

“Wajahmu memerah lagi,” katanya sembari tertawa. Sekarang aku bertambah malu. Aku baru tersadar jika Hami dan Timmy sudah lenyap. Kepalaku menengok ke kanan-kiri mencari keberadaan mereka. Mungkin aku akan menyusul mereka daripada berhadapan dengan makhluk scary guy ini. “Sudah, tenang saja. Mereka lagi pesen kok. Sabar menunggu ajah, beb,” katanya lagi.

Gila, dia bisa membaca pikiranku. Tatapannya sangat membuatku grogi. Kuputuskan untuk kembali menengok ke kanan-kiri, berharap Timmy dan Hami cepat kembali. Kedua mataku langsung terbelalak ketika melihat Edelweis dan ketiga temannya sedang berjalan memasuki kantin.

Aduh, Edelweis pasti mau makan dan mencari bangku juga. Sementara meja yang kosong hanya tinggal satu, tepat berada di belakangku. Itu berarti dia pasti berjalan melewatiku. Duh, disapa lagi nggak ya? Kalau dia tidak mendengar suaraku lagi gimana? Aduh, dia benar-benar berjalan kesini lagi! Afika, lets, stand up!

“Hai, Ed! Mau makan ya?” kukerahkan sekuat tenaga untuk menyapanya. Mataku sipit sebelah, menunggu reaksinya. Akan tetapi Edelweis tetap berjalan melewatiku. Kulihat Mayang, Wildam, dan Tara melirikku dengan senyum sinis. Mungkin itu hanya perasaanku saja. Aku berusaha tenang dan duduk kembali. Sepertinya dia tidak mendengar suaraku lagi. Kali berikutnya, aku harus memanggilnya lebih keras.

“Siapa dia? Dirimu kok dicuekin gitu?” tanya Miwon sembari mengerutkan kening.

“Cuma teman. Bukan dicuekin. Tapi emang nggak dengar.”

“Suara kamu udah kenceng. Nggak mungkin dia nggak dengar. Coba aku bicara sama dia,” diriku langsung tersentak ketika Miwon mulai beranjak dan berjalan mendekati bangku Ed. Hiyaa, gawat! Dia mau apa sih??!!!

“Hoi, bro. Dirimu sok cakep banget ya?! Apa kamu beneran tuli ya? Sampai cewek secantik dia kamu cuekin. Heh?” serunya ngotot sembari menunjuk ke arahku.

Gila! Semua orang termasuk ketiga temannya memberikan tatapan menusuk padaku. Sementara Edelweis yang baru saja memasukkan handphone ke saku, langsung berdiri berhadapan dengan Miwon. Aku nggak tahu harus ngapain. Timmy dan Hami juga berjalan setengah berlari dengan membawa nampan berisi bakso dan minuman lainnya.

“Miwon kenapa, Fik?” tanya Timmy penasaran. Hami ikutan mengangguk.

“Aku nggak tahu.”

Mereka berdua saling bertatapan. Sementara Wildam sudah berdiri untuk mengajak Edelweis pergi. Kulihat ekspresi Miwon menjadi kosong. Begitu pula dengan Edelweis. Tak lama kemudian Edelweis pergi bersama ketiga temannya. Edelweis pergi begitu saja melewatiku. Kembali kulihat Miwon yang masih terpaku di

tempat. Ada apa sebenarnya?

“Afika,” aku berbalik. Rupanya Mayang kembali lagi untuk menemuiku. “Masalah Ed, urusanku juga. Back to home, aku tunggu di kamar,” jelasnya. Lalu Mayang pergi dengan memberi tatapan sengit padaku.

“Fik, kamu nggak apa-apa?” tanya Hami dengan wajah khawatir. Kugelengkan kepala pada mereka berdua. Aku tahu jika Mayang akan bilang begitu.

...***...

Ruang Mading ‘No entry! Without Permission from Member’

“Bagian halaman sastra diberikan sama siapa tadi?” tanya Edelweis sembari menggunting beberapa gambar berwarna yang baru saja di print.Sebagai ketua mading, Edelweis selalu disiplin dalam mengatur deadline pengumpulan tugas yang telah diberikan pada anggota masing-masing. Dia juga sering membantu anggota-anggotanya jika ada kesulitan dalam mengerjakan artikel maupun pencarian narasumber.

Begitu pula dengan Mayang sebagai wakil mading selalu mencatat apa yang dibutuhkan oleh ketuanya. Dia sangat teliti dalam mencatat hal yang paling detail sekalipun. Semua tugas pun selalu sukses bertepatan dengan deadline. Maka dari itu, Edelweis sangat mempercayainya.

“Niah dan Gama. Oh ya, tadi Hami kirim message ke aku, katanya dia masih bingung cari narasumber. Aku suruh dia kesini lagi. Langsung tanya ke kamu.”

“Bagian apa?”

“Bagian siswa berprestasi sesuai tema.”

“Oh, ya udah. Gampang.”

Edelweis masih berkonsentrasi menatap kertas bergambar yang baru saja di potong. Sementara Mayang masih membantu Tara mencari berita unik di internet. Mayang dan Tara berada di kelas yang sama dengan Edelweis sedari kelas satu. Mereka berempat termasuk Wildam memutuskan untuk memasuki kelas IPA dan eskul yang sama. Hal itu menambah kedekatan mereka. Kemana-mana selalu berempat.

Satu kelompok yang bercampur menjadi satu tim. Percampuran antara Edelweis (Mr. Cool) dengan segala kesempurnaannya seperti pembawaan yang selalu tenang tanpa banyak bicara, Wildam (Mr. Kutu Buku) yang selalu membaca buku tiada henti, Mayang (Ms. Memori Berjalan) selalu mengingat dengan mudah apa yang telah dijelaskan oleh guru atau apapun yang baru dibacanya, dan Tara (Ms. Populer) yang memiliki saudara kembar cakep dan pintar ‘si Wildam’, hidup yang serba mewah, selalu mengundang teman-temannya party tiap malam minggu, dan gonta-ganti pacar tiap dua minggu sekali. Satu tim yang selalu mendapatkan label berotak encer dengan keunggulan prestasi yang telah mereka dapatkan dalam setiap bidang apapun.

“Hoahem, aku lanjutin sendiri nanti deh, May,” seru Tara sambil menguap lebar. Akan tetapi Mayang masih tetap serius browsing. ‘Ngotot juga dia,’ pikir Tara. Lalu diputarnya  kursi hidrolik yang di dudukinya ke belakang dan memandang Edelweis yang masih serius memilih gambar sesuai tema. “Ed, tadi siang itu siapa sih? Kok aku nggak pernah lihat?”

“Hmm... siapa?” tanya Edelweis masih berkonsentrasi dengan gambar yang dipegangnya. Tara langsung duduk di atas karpet dengan berselonjor kaki sampai menghempaskan beberapa kertas bergambar yang dikumpulkan oleh Edelweis. “Hei, hati-hati dong! Ntar banyak yang hilang!” serunya kemudian. Tara malah tertawa girang.

“Tara.. jangan ganggu Ed dong,” Mayang mulai tidak konsentrasi lagi karena tawa temannya yang membahana. Dia mengambil majalah horizon di rak dan membacanya di kursi sofa. Tara memeletkan lidah tidak perduli. ‘Dasar, si Tara!’ sungutnya kesal. Tara mulai menyenggol Edelweis yang masih konsen dengan gambar di depannya.

“Deuh, serius amit sih, ketua. Itu tuh... cowok cakep yang ngebentak kamu di kantin.”

JLEB! Konsentrasi Edelweis langsung terpecah dan kepingan-kepingannya terasa menusuk di ulu hatinya. Bagaimana dia harus menjawab? Kalaupun dia mengenalnya, apakah memang harus dikatakan kepada temannya itu? Akan tetapi dia masih ragu untuk menjawab. Wajahnya yang tampak kikuk mulai terbaca.

“Kamu kenapa sih? Sakit perut?” tanya Tara sembari mengernyitkan kening. Edelweis menggeleng dengan cepat. Dia memilih untuk tidak menjawab dan melanjutkan menyusun gambar di artikel. “So, siapa namanyaaa???” rengeknya.

“Ehmm, maaf aku agak telat,” Hami memasuki ruang mading dengan panik. Dia melepaskan sepatunya dan langsung duduk di samping Edelweis. “Maaf, Ed. Aku masih kebingungan mencari narasumber.”

Edelweis menoleh singkat.

“Oh, kamu. Coba kamu cari siswa yang berprestasi dalam bidang non akademik. Terserah kamu siapa,”

Hami mulai bingung. ‘Siapa ya? Aku kan nggak tahu,’ pikirnya.

“Sebenarnya kamu bisa nggak sih? Makanya banyak sosialisasi dong,” sindir Mayang dengan tajam. Hami mulai gelisah. “Aku cuma bercanda kok,” sambung Mayang lagi dengan senyuman sinis. Tara malah tertawa cekikikkan. Hami semakin menundukkan wajah.

“Ya sudah. Ntar aku kasih kabar kalo ada yang cocok ya, Mi.” ucap Edelweis yang masih menempel gambar di artikel. Mayang menganggukkan kepala pelan.

“Oh ya, tadi ada yang mau ketemu sama kamu. Aku lupa! Sudah dari tadi dia nunggu di luar!” seru Hami sambil menepuk jidat. Edelweis menoleh lagi.

“Siapa? Ada perlu apa?”

“Teman sekelasku, Miwon. Katanya penting.”

Mendengar nama itu, Edelweis langsung berdiri dan berjalan menuju pintu. Sebelum menarik gagang pintu, ditariknya nafas dalam-dalam. Lalu melangkah keluar dengan tubuh tegap. Mayang, Tara, dan Hami melihatnya bingung.

“Hei, Miwon siapa?” tanya Mayang ketus pada cewek berkacamata yang masih kikuk di depannya. Tara juga sangat penasaran dengan nama cowok yang membuat Edelweis tampak serius. Hami membetulkan kacamata tebalnya.

“Anu, itu... anak baru dikelasku. Dia sering kok kumpul bareng aku, Afika, dan Timmy. Anaknya enak banget diajak ngobrol.”

Tara langsung melonjak kaget.

“Cowok yang bikin risuh di kantin tadi kan?” Hami menganggukkan kepala dengan bingung. ‘Cewek satunya galak dan yang satunya lagi aneh,’ pikirnya. “Ceritain dong, all about him! Hami, Aku merasa fall in love at first sight!” serunya heboh. Mayang dan Hami menggelengkan kepala dengan heran.

Sementara ketengangan sedang terjadi di pintu depan mading. Edelweis yang tadinya menemukan Miwon sedang duduk di anak tangga di dekat pintu mading, sekarang merasa kikuk dalam suasana diam yang diciptakan oleh Miwon beberapa menit yang lalu.

“Sudah dengar kalau aku kembali kesini lagi?” Miwon mulai membuka pembicaraan. Edelweis masih membisu. “Kenapa tidak mencariku?” tanyanya lagi. Edelweis tetap diam. Miwon tidak tahan dengan keterdiamannya. Ditariknya kerah Edelweis kuat-kuat.

“Hey, bung. Calm down!” seru Edelweis dengan mata menyipit. Kemudian pandangan keduanya menyiratkan sesuatu yang tidak mudah untuk diterjemahkan. Seperti ada sesuatu yang diselipkan semacam kerinduan. Riak-riak air mulai keluar di sudut mata Miwon. Dilepaskannya kerah Edelweis dengan kasar. “Seharusnya kamu hormati aku dengan semestinya,” desis Edelweis tajam. Miwon memundurkan langkahnya sambil menarik nafas panjang. Ditatapnya lagi cowok yang lebih tinggi beberapa senti dihadapannya itu.

“Sudah jelas kalau kamu masih tidak bisa menerimaku.”

“Karena kamu masih membelanya!” bentak Edelweis cepat. Miwon membelalak lebar. Edelweis memilih untuk menghentikan perdebatan itu dan hendak berbalik kembali memasuki ruangan mading.

“Selain itu, aku sekarang tahu kalau kamu menjadi orang yang sangat egois. Dia, cewek itu... yang menyapa kamu! Perbaikilah sikapmu lebih baik lagi. Kalau kamu melihatnya lebih jelas, dia sangat mirip dengan seseorang yang sama-sama kita sayangi.”

Edelweis berbalik. Namun Miwon sudah meninggalkannya sendirian.

TO BE CONTINUED~

Episodes
1 Episode 1 - PROLOG
2 Episode 2 - SALING BERTEMU
3 Episode 3 - TATAPAN CEWEK BERWAJAH DINGIN
4 Episode 4 - SI PENGUNTIT
5 Episode 5 - PERUBAHAN EDELWEIS
6 Episode 6 - MENJAUHI EDELWEIS??! ITU TIDAK MUNGKIN!
7 Episode 7 - PERTEMUAN YANG TIDAK PENTING
8 Episode 8 - TIDAK ADA YANG PERLU DISEMBUNYIKAN LAGI!
9 Episode 9 - TRAGEDI SESAAT Part 1
10 Episode 10 - TRAGEDI SESAAT Part 2
11 Episode 11 - PERNYATAAN MIWON
12 Episode 12 - BELAJAR UNTUK MENERIMA Part 1
13 Episode 13 - BELAJAR UNTUK MENERIMA Part 2
14 Episode 14 - TUGAS GANDA YANG MENYENANGKAN Part 1
15 Episode 15 - TUGAS GANDA YANG MENYENANGKAN Part 2
16 Episode 16 - TUGAS GANDA YANG MENYENANGKAN Part 3
17 Episode 17 - TUGAS GANDA YANG MENYENANGKAN Part 4
18 Episode 18 - TUGAS GANDA YANG MENYENANGKAN Part 5
19 Episode 19 - BANTUAN UNTUK MIWON
20 Episode 20 - PERASAAN EDELWEIS SESUNGGUHNYA
21 Episode 21 - PILIHAN YANG SANGAT RUMIT
22 Episode 22 - MENCARI KEBAHAGIAAN MASING-MASING
23 Episode 23 - DOUBLE DATE
24 Episode 24 - PENAMPILAN SERAM MEMBAWA KEBAIKAN
25 Episode 25 - KERJA KELOMPOK YANG MENGUBAH PERASAAN Part 1
26 Episode 26 - KERJA KELOMPOK YANG MENGUBAH PERASAAN Part 2
27 Episode 27 - KEJUJURAN YANG MENYAKITKAN
28 Episode 28 - MENJADI LEBIH SEDIKIT BERANI
29 Episode 29 - LAGU SPESIAL UNTUK AFIKA
30 Episode 30 - KATA-KATA YANG MEMBUAT TERLUKA
31 Episode 31 - TIDAK BIMBANG LAGI
32 Episode 32 - HAPPY OR SAD ENDING & EPILOG
33 BONUS I : Kelanjutan Hidup Edelweis
34 BONUS II : Timmy Singgah di Hatinya
35 AUTHOR’S NOTE
Episodes

Updated 35 Episodes

1
Episode 1 - PROLOG
2
Episode 2 - SALING BERTEMU
3
Episode 3 - TATAPAN CEWEK BERWAJAH DINGIN
4
Episode 4 - SI PENGUNTIT
5
Episode 5 - PERUBAHAN EDELWEIS
6
Episode 6 - MENJAUHI EDELWEIS??! ITU TIDAK MUNGKIN!
7
Episode 7 - PERTEMUAN YANG TIDAK PENTING
8
Episode 8 - TIDAK ADA YANG PERLU DISEMBUNYIKAN LAGI!
9
Episode 9 - TRAGEDI SESAAT Part 1
10
Episode 10 - TRAGEDI SESAAT Part 2
11
Episode 11 - PERNYATAAN MIWON
12
Episode 12 - BELAJAR UNTUK MENERIMA Part 1
13
Episode 13 - BELAJAR UNTUK MENERIMA Part 2
14
Episode 14 - TUGAS GANDA YANG MENYENANGKAN Part 1
15
Episode 15 - TUGAS GANDA YANG MENYENANGKAN Part 2
16
Episode 16 - TUGAS GANDA YANG MENYENANGKAN Part 3
17
Episode 17 - TUGAS GANDA YANG MENYENANGKAN Part 4
18
Episode 18 - TUGAS GANDA YANG MENYENANGKAN Part 5
19
Episode 19 - BANTUAN UNTUK MIWON
20
Episode 20 - PERASAAN EDELWEIS SESUNGGUHNYA
21
Episode 21 - PILIHAN YANG SANGAT RUMIT
22
Episode 22 - MENCARI KEBAHAGIAAN MASING-MASING
23
Episode 23 - DOUBLE DATE
24
Episode 24 - PENAMPILAN SERAM MEMBAWA KEBAIKAN
25
Episode 25 - KERJA KELOMPOK YANG MENGUBAH PERASAAN Part 1
26
Episode 26 - KERJA KELOMPOK YANG MENGUBAH PERASAAN Part 2
27
Episode 27 - KEJUJURAN YANG MENYAKITKAN
28
Episode 28 - MENJADI LEBIH SEDIKIT BERANI
29
Episode 29 - LAGU SPESIAL UNTUK AFIKA
30
Episode 30 - KATA-KATA YANG MEMBUAT TERLUKA
31
Episode 31 - TIDAK BIMBANG LAGI
32
Episode 32 - HAPPY OR SAD ENDING & EPILOG
33
BONUS I : Kelanjutan Hidup Edelweis
34
BONUS II : Timmy Singgah di Hatinya
35
AUTHOR’S NOTE

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!