Lagi-lagi aku ditinggal sendirian. Timmy sudah pulang duluan dijemput sama sopirnya. Miwon juga baru saja berlari melewati lapangan menuju gerbang tanpa menoleh sedikitpun. Padahal biasanya dia membuntuti aku sampai jam pulang sekolah.
Sementara Hami masih berada di ruangan mading. Janjinya sih sebentar. Tapi nyatanya luamaaa... banget! Untung ajah aku menunggu di bawah pohon favoritku. Walaupun nggak pakai tikar seperti biasanya. Duduk bersandar sembari memejamkan mata membuatku merasa lebih damai. Bebas diterbangkan angin dimanapun, huahhh... freedom....
“Afika,” kubuka mataku secepatnya. Seorang cowok bertubuh tegap yang sering hadir dalam selingan mimpi, kini berdiri dihadapanku. Apakah aku sedang bermimpi? Kulihat dia mulai duduk disebelahku. Kurasakan dada mulai berdebar tidak karuan.
“Ha... Hami, kamu tahu nggak? Tadi dia kesana,” kataku gelagapan. Aih, Edelweis. Kenapa aku selalu dag-dig-dug kalau di dekatmu. Dia menghela nafas panjang.
“Dia tadi minta tolong kalau ketemu sama kamu disini, dia minta kamu pulang duluan ajah. Dia masih ada keperluan sama Tara.”
“Oh,” hanya itu yang bisa aku ucapkan. Aku kehabisan kata-kata. Kupandangi Edelweis lama-lama. Tiba-tiba saja aku nggak merasa ingin pulang cepat. Aku ingin sekali berbicara dengan Edelweis walaupun hanya sepatah dua kata saja. Cowok bermata sipit itu sedang menunduk, mencabuti rumput di depannya. Aku tidak menyangka
dia menghampiriku. Dia benar-benar tidak takut denganku. Aku tahu kalau Edelweis beda sama orang-orang lainnya. Seperti dulu, Edelweis yang ramah dan baik hati.
“Kamu tahu arti dari namaku?” aku terkejut dengan kata-kata yang keluar barusan. Dia menatapku sekilas. Aku menggeleng.
“Mungkin... dari nama bunga?” kataku menebak. Lalu dia tersenyum.
“Edelweis. Tumbuhan yang dipetik dan tidak akan layu dalam beberapa waktu. Tumbuhan yang kadang ditulis eidelweis atau dalam tulisan Jawa disebut Javanese edelweiss. Bunga yang dikenal sebagai bunga abadi. Nama yang mempunyai nama latin Anaphalis javanica. Tumbuhan endemik zona alpina atau montana di berbagai pegunungan tinggi Indonesia. Begitu yang aku tahu dari kutipan definisinya.”
Aku terpesona dengan seluruh kata yang diucapkannya.
“Nama yang begitu indah. Siapa yang memberikan nama itu?” tanyaku pelan. Edelweis menunduk lagi dan mencabuti rumbut bertubi-tubi. Sepertinya dia tampak marah. Apa aku menanyakan hal yang salah? Dia lama sekali menundukkan wajah.
“Ayahku. Dulu katanya sebagai lambang keabadian dan pengorbanan cinta. Sebagai lambang tetap bertahan dan tidak akan goyah di kala apapun seperti edelweis yang tetap bertahan dan tidak pernah layu di suhu yang dingin.”
“Ayahmu... hebat sekali ya memilih nama itu. Bagus banget,” pujiku tulus.
“Nggak juga,” kata Edelweis cepat. Lalu dia menyunggingkan senyum lagi padaku. Aku memalingkan wajah. Nggak mungkin aku membalas senyumnya. Nanti dia malah ketakutan lagi. Walaupun sebenarnya aku ingin sekali tersenyum padanya. Tetapi ekspresi wajahku berkata lain. Pasti lebih menakutkan daripada yang aku
bayangkan.
“Kalau arti dari namamu?”
Aku bingung. Selama ini aku tidak pernah menanyakan arti namaku pada orang tuaku.
“Aku... nggak tahu,” kataku jujur.
“Mungkin artinya cewek pemalu yang baik hati,” ucapnya sambil tersenyum. Aku terkejut seketika. Edelweis mengatakan seperti itu. Duh, wajahku bertambah panas. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku putuskan untuk diam.
Kami pun membisu. Hening.
“Uhm, Mayang... udah pulang belum?” tanyaku mencairkan suasana. Aku jadi teringat akan Mayang yang hendak membahas sesuatu padaku. Kemungkinan dia ingin meminta penjelasan tentang kejadian tadi siang. Apapun permasalahan yang menyangkut Edelweis, pasti Mayang akan ikut masuk di dalamnya.
Terkadang aku juga ingin memiliki keberanian yang sering muncul pada dirinya. Menjadi cewek agresif yang disukai oleh semua orang. Dia tidak pernah takut dengan siapapun. Bahkan tidak pernah putus-putusnya mengejar Edelweis yang disukainya. Ya, selain bidang pelajaran lainnya, Edelweis juga sebagai ambisinya.
“Mayang sudah pulang dari tadi. Kenapa?” aku terkesiap.
“Kalau gitu aku pulang dulu ya. Aku sudah ditunggu orang rumah. Bye.”
Edelweis mengangguk.
Aku langsung bangkit dan berlari. Tidak mungkin aku bilang kalau Mayang adalah sepupuku. Edelweis nggak boleh tahu. Apalagi orang-orang lainnya. Karena itulah yang diinginkan Mayang. Tidak ada yang boleh tahu selain hanya aku, dia dan Hami.
...***...
Afika’s house (Mayang back to home, bencana!)
Dear Diary,
Hari ini Miwon masih ngikutin aku. Tapi sepulang sekolah tadi dia nggak ngikutin aku lagi. Ada yang aneh sama dia. Apa gara-gara kejadian di kantin tadi ya? Setelah itu di kelas dia malah diem ajah. Biasanya kan ngerecokin aku. Kok malah sekarang aku yang jadi aneh. Bukannya seharusnya aku malah seneng?
Aku turut senang ketika Timmy bercerita baru lulus audisi dan mendapatkan peran tokoh sampingan menjadi salah satu dayang istananya si princess dalam eskul teater. Tapi tokoh prince belum ditentukan sih. Aku jadi ingat kalau aku harus berlatih piano lagi untuk penilaian eskul musik minggu depan. Semoga nanti masih sempat berlatih nih.
Soal kejadian tadi siang aku senang banget. Nggak nyangka banget, dia menghampiri dan mengobrol denganku! Aku senang banget! Aku harap lain kali kita bisa ngobrol lebih lama, Ed... Andai saja tadi aku nggak buru2 pulang. Tapi aku harus pulang supaya Mayang nggak curiga. Tapi ternyata Mayang masih belum pulang! Aku nggak tahu dia masih mampir dimana. Aku nggak ingin dia tahu kalau aku juga udah lama suka sama kamu, prince...
‘BRAAKKKK!!!!’
Sontak aku terkejut mendengar gebrakan pintu kamar. Tampak Mayang berdiri di ambang pintu dengan rambut acak-acakan dan seragam yang lusuh seperti terciprat air lumpur. Wajahnya juga belepotan penuh goresan lipstik. Isak tangisnya membahana. Dia langsung menghambur ke arahku. Kupeluk Mayang erat-erat.
“Fikaaa... kakak itu jahat banget!” serunya disela isak tangis. Aku berusaha menenangkannya. Kututup pintu kamar dan memandu Mayang untuk duduk di kasur. Untung saja hari itu ayah dan mama sedang pergi mendatangi pernikahan teman kantor ayah. Sepertinya suasana hati Mayang tampak tidak baik.
“Siapa yang buat kamu kayak gini?” kutatap Mayang dalam-dalam. Tak lama ia menghentikan tangisnya. “Tarik nafas dalam-dalam.”
Mayang segera menirukan dengan apa yang aku katakan.
“Sehabis mading, aku hendak ke toilet. Di depan pintu toilet, aku melihat kak Nona dan
kedua temannya sedang memakai lipstik di depan kaca. Aku nggak sengaja mendengar obrolan mereka. Kak Nona berencana pergi ke ruang mading untuk meminta Ed agar membantunya menari tango dalam kompetisi perayaan ultah sekolah besok. Kalaupun diiyakan, kak Nona berencana memanfaatkan waktu latihan untuk mendekati Ed. Bahkan berencana untuk menembak Ed menjelang terakhir latihan tango itu.”
Aku termangu. Ternyata banyak juga yang naksir sama Edelweis.
“Aku tahu pasti Ed akan mengiyakan permintaan kak Nona. Aku kalap, Fik. Aku nggak mau Ed bantuin dia. Aku nggak mau kakak tua itu berhasil dapetin Ed!” katanya emosi. Aku hanya mengusap bahunya lembut untuk menenangkannya.
“Makanya aku langsung datengin tuh orang dan mendorongnya sampai jatuh. Aku ngamuk, Fik. Bahkan aku menampar pipinya, lalu memukuli kepalanya pakai sepatu aku! Tapi teman-temannya pada ngebelain. Kedua temannya megangin kedua tanganku dan dia balik nampar aku! Dia bilang kalau aku nggak sopan sama kakak kelas. Aku nggak peduli. Aku bilang kalau dia itu udah kerasa tua, kayak tante-tante yang udah
nggak laku, dan memutuskan cari brondong! Dia nampar aku lagi dan nyiram aku pakai air pel. Terus aku dikunciin di toilet paling ujung,” isak tangisnya membahana kembali. Aku jadi ikut merasakan kesedihannya. Kupeluk Mayang lebih erat. Betapa jahatnya mereka sama junior.
“Untung ada pak Juim pas ngambil ember pel di kamar mandi. Pak Juim yang nyelametin aku, Fik.”
“Syukurlah, May. Kalau begitu besok kita lapor ajah ya ke BK,” usulku kemudian. Mayang malah menggelengkan kepala.
“Enggak, biarin ajah. Semuanya bermula dari aku, Fik. Aku sadar itu.”
“Kamu yakin?” tanyaku mengulang pemikiran Mayang yang terlihat masih terlihat goyah. Tetapi dia tetap menganggukkan kepala. “Ya udah, kamu tunggu dulu ya. Aku ambilkan air putih dulu,” aku langsung keluar menuju ruangan dapur.
TO BE CONTINUED~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments