Disambut dengan puluhan mobil pick up yang berjejer, bahkan ada yang belum terparkir dengan rapi karena menunggu antrian bongkar muatan, Tegar terlihat berbinar. Benar kata bos nya, malam ini banyak pekerjaan yang bisa menghasilkan lebih banyak pundi-pundi rupiah untuk dia bawa pulang.
"Gar, sini! Bengong aja! Ayo mulai angkut. Bantuin itu yang lain!"
Tegar mengiyakan, dia mengayunkan kakinya dengan langkah lebar. Mengangkut karung satu persatu dengan kekuatan bertumpu pada punggung. Kaki kokohnya mantab menginjak bumi, melangkah keluar masuk ke dalam pasar dan kembali lagi ke mobil pick up.
"Huuuft.. Capek ya Gar, ini minum dulu!"
Teman seprofesi Tegar melemparkan satu botol air mineral ke arah Tegar.
"Kerja ya capek. Duduk diem selonjoran aja juga capek kok. Ya, seenggaknya kita capek tapi dibayar bang. Ngasilin duit."
Tegar menyemangati dirinya sendiri, berpacu dengan waktu untuk kembali memanggul karung-karung penuh sayur yang masih menunggu.
"Ngaso dulu lah Gar! Kayak besok nggak kerja lagi aja kamu ini, gasspol banget lho." Teriak temannya tadi.
Tegar tak menghiraukan ucapan temannya. Sudah kadung di tempat kerja, mengabaikan waktu istirahat bersama anak-anaknya untuk ditukar dengan beberapa lembar rupiah, apa bagus jika dia diam bersantai saja seperti yang lain?
Tak terasa semua pekerjaan sudah selesai. Tegar mengelap peluh yang membanjiri kening serta bagian wajahnya. Tentu saja lelah, tapi itu tak masalah. Ada sambutan senyum dan pelukan hangat anaknya ketika nanti sampai di rumah.
"Ini Gar. Aku lebihin dikit. Buat beli jajan anak-anak mu." Kata si bos itu menepuk pundak Tegar.
"Alhamdulillah. Terimakasih bos."
"Iya. Kamu rajin Gar. Aku suka kerja bareng orang-orang satset kayak kamu. Besok, ke sini lagi kan?" Pertanyaan yang sudah pasti akan dijawab iya oleh Tegar.
"Iya pak. Pasti. Sekali lagi terimakasih ya pak. Saya mau langsung pulang, kasihan anak-anak di rumah sendirian pak." Tegar membungkuk separuh badan untuk memberi hormat dan berpamitan.
Biasanya jam segini sudah ada angkutan umum. Tapi, Tegar merasa hari ini berbeda. Seperti agak sepi dari biasanya. Pikiran buruk dia tepis jauh-jauh.
"Dari pada terus menunggu di sini, mending aku jalan aja. Siapa tau nanti ada angkot lewat." Ucap Tegar pada dirinya sendiri.
Dan Tegar berjalan kaki akhirnya. Sesekali menengok ke arah belakang siapa tahu ada angkutan umum yang akan lewat. Tapi, setelah sepuluh menit berlalu dia habiskan dengan berjalan kaki.. Kendaraan umum yang dia maksud tak kunjung menampakkan diri.
Tapi kemudian Tegar dikejutkan dengan adanya seseorang dengan jaket hoodie, masker dan berperawakan tinggi besar, menggunakan sarung tangan di kedua tangannya menghampirinya dengan berlari.
"Bang, bang.. Tolong saya bang!! Saya mau dibunuh bang!! Saya dikejar orang!! Tolong saya bang!!" Orang itu seperti ketakutan.
"Astaga. Ada apa ini bang?" Tegar membantu memapah orang itu.
Dan kejutan kembali dia temukan, kala melihat bagian perut lelaki tinggi itu basah, basah oleh darah.
"Ya Allah. Perut mu berdarah bang? Bang.. Kamu harus ke rumah sakit sekarang."
Tegar gugup, dia panik sampai tidak bisa berpikir jernih. Dia ikut gemetaran karena seumur hidup belum pernah dia berada dalam situasi mencekam seperti ini.
"Nggak usah bang. Aku nggak butuh dokter. Aku pengen ikut abang aja. Aku takut bang. Aku butuh bantuan!"
Apa ini? Orang sakit tapi nggak mau ke dokter? Tegar langsung berpikir yang tidak-tidak tentang lelaki di dekatnya. Secepat kilat, Tegar menjauhkan diri dari si lelaki itu.
"Bang.. Tolong bang.."
Tegar bisa melihat lelaki yang tidak dia kenal itu tersiksa kesakitan, mengulurkan tangan ingin mencari pertolongan untuk keselamatan nyawanya. Tapi, bagaimana jika dia orang jahat? Tidak! Tegar tidak ingin berurusan dengan hal ini!
Dengan tubuh gemetaran, Tegar membuang pergi rasa kemanusiaannya. Dia tega mengabaikan orang yang sekarang ambruk tak berdaya. Orang itu terus melihat kepergian Tegar dengan mata nyaris kehilangan kesadaran. Dia terbaring menghadap tanah. Nafasnya satu dua. Dia tak tahu lagi.. Apakah besok masih bisa melihat sinar matahari pagi atau sudah berubah menjadi jasad tak bernyawa yang tergeletak tanpa ada harganya.
"Sial!"
Tegar berlari kembali ke arah orang itu. Dia mengecek apakah orang tersebut masih hidup atau sudah wassalam.
"Baang... Tolooong.." Parau sekali suara orang yang sedang berusaha Tegar papah ini.
Belum bergerak dari tempatnya, suara sirene mobil polisi membuat jantung Tegar seperti mau lepas dari tempatnya. Ada apa lagi ini?
"Jangan bergerak!! Taruh tangan di belakang kepala, dan berlutut sekarang juga!!"
Tak tanggung-tanggung, empat orang polisi menodongkan senjata api ke arah Tegar juga lelaki yang sekarat tadi.
"A-ada apa pak..?" Tanya Tegar gugup ketakutan.
"Periksa dia!!"
Tanpa menjawab, seorang polisi yang mungkin pimpinan dari mereka membuat perintah pada dua anak buahnya yang lain. Tanpa izin dari Tegar, dua orang polisi itu langsung memeriksa tegar dari ujung rambut hingga telapak kaki.
"Kami menemukan ini pak!" Seru polisi yang baru saja melakukan pemeriksaan pada Tegar.
Dompet dengan uang yang jumlahnya tak lebih dari tiga ratus ribu, KTP, dan.. Satu plastik klip yang berisi beberapa butir pil putih kecil.
"Apa ini?!" Tegas atasan polisi itu.
"Sa-saya.. Saya tidak tahu pak. Itu bukan punya saya.." Tegar sudah pucat pasi.
Benda apa itu? Dan sejak kapan benda itu ada di saku celananya?? Pertanyaan terus berputar hingga dia dikejutkan dengan suara atasan polisi tadi..
"Bawa dia ke kantor!" Terang sang pimpinan.
"Kantor? Tapi, tapi saya tidak tahu itu apa-apa pak! Pak, anak-anak saya sedang menunggu di rumah pak.. Tolong lepaskan saya.."
Tegar memelas dengan suara rendah memohon belas kasihan untuk didengar tapi tak seorangpun yang sudi mengabulkan apa yang Tegar mintakan.
"Anda bisa jelaskan semua di kantor polisi!" Balas salah satu polisi.
Tak hanya Tegar yang dibawa ke kantor polisi, tapi juga lelaki yang sekarang tak sadarkan diri terbaring di antara kaki para polisi. Bahkan ada yang sengaja menjadikan kepala lelaki yang mungkin saja sudah kehilangan nyawanya itu sebagai alat pijakan sepatunya.
Matahari sudah menampakkan diri. Di rumah, Anam sudah terbiasa menyiapkan keperluan sekolah sendiri, dia tidak bergantung pada Tegar untuk urusan mandi dan menyiapkan diri pergi ke sekolah.
"Bang, bapak mana? Kok belum pulang?" Zayan belum mandi. Dia baru bangun tidur.
"Nggak tau abang juga. Mungkin bapak langsung ke toko bangunan buat kirim barang." Jawab Anam menenangkan adiknya.
"Oowh. Tapi, harusnya bapak pulang dulu ya bang." Zayan kembali berceloteh.
"Kenapa? Kan kamu kemarin bilang ke bapak pengen dibeliin mainan truk yang dalemnya ada hewan-hewan nya itu. Kamu pikir itu murah?! Makanya jangan minta aneh-aneh sama bapak! Udah tau bapak cari uang susah eh kamu main minta ini itu." Omel Anam pada adiknya.
"Nanti, kalo mainannya dateng, bapak beneran beliin aku.. Abang nggak boleh pinjem!" Balas Zayan kesal.
"Bodo amat!"
"Abang nakal! Nanti aku aduin bapak!"
"Terserah."
"Abang nakaaaal!! Bapaaak.. Abang nakal paaaak!"
Zayan memang begitu, dia menganggap apa yang tidak sesuai dengan keinginannya berarti nakal! Bocah punya bahasanya sendiri untuk mengekspresikan apa yang dia mau dan dia rasa.
Dan tanpa mereka tahu.. Bapaknya kini sedang dihajar habis-habisan oleh polisi untuk mengakui jika plastik klip berisi narkoba yang ditemukan dalam saku celana adalah miliknya serta memberi keterangan pada mereka tentang siapa saja yang terlibat dalam pengedaran narkoba di daerah tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
🍊 NUuyz Leonal
astaghfirullah gak sanggup aku bacanya 🥺🥺
berharap pulang dengan membawa kebahagiaan untuk anak anak nya justru bertemu masalah yang tidak diduga duga
semoga kamu tegar pak setegar namamu 😭😭😭
2025-01-14
4
Dewi kunti
inilah salahnya polisi yg cm bs nuduh nggak ditanya baik2 malah maksa jwb dan disuruh ngakui yg bukan perbuatannya ,pake kekerasan pula
2025-01-15
3
Tak Bo Gem
haish
baru awal aja udh dikasi plot twist
bakal sekelam apa kehidupan mereka selanjutnya 😶
2025-01-15
2