Menyampaikan pesan

Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Tidak ada tanda-tanda jika Tegar akan pulang. Anam bertanya dalam hati, di mana sebenarnya bapaknya sekarang ini? Jika memang pergi bekerja, kenapa tak menyempatkan diri barang sebentar untuk pulang?

"Bang. Bapak mana sih? Aku mau bapak bang. Cari bapak yuk bang."

Zayan tidak mau mandi sore ini. Kakinya sakit katanya. Sebenarnya goresan lukanya tidak parah, sama sekali tidak dalam, hanya saja Zayan memang sengaja mendramatisir keadaan. Ingin mengadu dan menunjukkan pada bapaknya jika dia baru saja jatuh karena berjalan tanpa alas kaki, nanti setelah bapaknya pulang. Tapi kenapa lama sekali bapaknya belum juga datang? Ada apa dengan bapaknya?

Sama seperti Anam, Zayan juga khawatir. Bedanya jika Zayan lebih suka menjabarkan apa yang dia rasa, apa yang dia inginkan, dan apa yang tidak dia suka dengan kata-kata. Dia tidak irit bicara. Lain halnya dengan Anam, bocah itu bukan pendiam tapi hanya tidak secerewet adiknya.

"Mau cari kemana? Ini udah sore. Sabar aja. Tunggu sampai malam. Mungkin aja nanti malam bapak pulang."

Sebenarnya Anam juga tidak yakin, apakah bapaknya benar-benar akan pulang nanti malam atau tidak. Dia tidak tahu. Hanya kalimat itu saja yang terpikir di kepalanya untuk menenangkan Zayan agar tidak merengek bahkan menangis lagi nanti.

"Tapi.. Kalau bapak nanti malam nggak pulang, gimana?" Zayan masih belum ingin menghentikan topik pembicaraan tentang bapaknya ternyata.

"Abang cari."

"Carinya kemana? Aku ikut!"

Anam sudah ingin menampol mulut adiknya, gemas sekali rasanya. Disuruh diam sebentar tidak bisa. Di usia sepuluh tahun, Anam termasuk bocah yang sabar dan bisa mengontrol emosi. Meski kesal, dia tetap mau menjawab pertanyaan adiknya. Menenangkan Zayan, meski dirinya sendiri butuh ditenangkan. Benar-benar figur kakak yang baik!

Dengan berbagai macam bujukan yang dilakukan Anam, Zayan akhirnya mau tidur juga. Dia tidak mau makan, karena hanya ada kecap dan garam sebagai teman nasi putih. Telur habis, gas habis, mi instan juga sudah habis. Hanya ada beras, itu pun mungkin tinggal beberapa kilo untuk persediaan beberapa hari ke depan.

Untuk saat ini bukan urusan perut ataupun makanan yang Anam pikirkan, tapi bapaknya. Tidak peduli jika besok harus makan nasi dan garam, asal bapaknya pulang, Anam akan sangat bahagia.

Dari pintu depan terdengar suara ketukan. Anam berjingkat. Matanya berbinar, dia senang bukan main. Dia berpikir jika yang datang pasti lah bapaknya, siapa lagi memangnya. Dengan rasa senang bercampur rindu, dia segera melompat dari atas tempat tidurnya. Ternyata gerakan tiba-tiba Anam itu cukup membuat Zayan kaget. Dia membuka matanya, terlihat merah karena baru beberapa menit yang lalu terpejam.

"Bang... Ada apa?" Suara Zayan serak.

"Bapak pulang Za. Bentar abang bukain pintu dulu. Kamu tidur lagi aja."

Jawab Anam. Dia sendiri tidak tahu, apakah yang mengetuk pintu tadi benar bapaknya atau bukan. Tapi, dia sangat yakin! Maka dari itu hal tadi terucap begitu saja kala Zayan bertanya. Mungkin juga harapannya sangat besar untuk bertemu bapaknya hingga dia terlalu excited.

"Bapak?! Beneran bang? Ayo keluar. Bukain pintunya, cepet bang! Kasihan bapak nungguin lama. Di luar dingin. Kasihan bapak!!" Kata Zayan ikut bersemangat.

Sepertinya rasa kantuk yang tadi menyerang Zayan kini benar-benar hilang. Dia bahkan ikut Anam keluar dari kamar untuk membukakan pintu agar bisa bertemu dengan bapaknya. Sedikit kaku Zayan berjalan karena lututnya berdenyut nyeri. Ingin dia menangis lagi, tetapi dia tahan. Nanti saja ketika bapaknya sudah ada di depannya. Dia akan mengeluarkan jurus tangisan yang memekakkan gendang telinga!

Kenop pintu di buka. Senyum yang tadinya terpatri kini hilang, lenyap tak berjejak. Bukan bapaknya! Anam mundur, dia berjaga-jaga jiga itu adalah orang asing yang punya niat tak baik pada dirinya ataupun Zayan, adiknya.

Zayan yang baru sampai depan pintu dengan segala usahanya pun ikut kehilangan apa yang tadi tercetak di wajahnya. Bahkan sekarang raut kesedihan muncul di wajah Zayan. Dia sedih dan kecewa. Sudah mengira jika yang datang bapaknya, ternyata bukan! Dia siapa? Pertanyaan yang sama terlintas di benak Zayan. Sama seperti abangnya.

"Dek. Benar ini rumah pak Tegar?"

Orang tadi menyebut nama bapaknya. Anam sedikit mengerutkan keningnya.

"Iya. Aku anaknya. Dia adikku. Om siapa?"

Anam yang bicara. Zayan sudah sangat kecewa. Dia hanya diam. Tapi mendengar nama bapaknya disebut rasa ingin tahu muncul. Zayan melihat ke arah lelaki yang tidak bergeser dari tempatnya berdiri itu, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Semua dipantaunya.

"Aku teman pak Tegar."

Ah. Rasanya sungguh tidak tahu diri kala menyebutkan kata teman padahal sebenarnya dia adalah orang yang mengurung kebebasan ayah dari dua orang anak di hadapannya. Bukan dia langsung yang mengurung tentunya, tapi dia ikut andil di dalamnya. Teman macam apa? Lucu sekali.

"Bapak kemana? Kenapa dari kemarin nggak pulang? Apa om tahu bapak di mana? Apa bapak sakit? Apa bapak nggak bisa pulang karena sakit?"

Anam yang bertanya. Dia terlihat cemas. Dia khawatir terjadi hal yang buruk pada bapaknya. Feeling anak itu benar-benar kuat. Memang sudah terjadi hal buruk pada bapaknya. Dan dia tidak tahu itu apa tapi yang jelas, bapaknya tidak sedang baik-baik saja sekarang ini.

Aji bergetar. Dia mengeluarkan secarik kertas dari dalam kantong celananya. Dia memberikan kertas itu pada Anam. Zayan ikut meniliknya. Dia juga penasaran, benda apa itu sebenarnya. Apakah foto bapaknya? Atau uang? Atau apa.. Zayan belum melihat dengan jelas.

"Apa itu bang?"

Di sini, Aji tidak dipersilahkan masuk. Mereka bertiga masih berdiri di ambang pintu. Anam dan Zayan di dalam rumah, sedangkan Aji ada di luar. Seperti ada garis tak kasat mata yang membuat jarak di antara ketiganya. Aji tak masalah untuk itu, yang dia takuti adalah reaksi anak-anak Tegar kala membaca surat dari Tegar. Apakah mereka akan sedih? Apa mereka akan menangis? Ah.. Aji sudah lemas duluan. Hatinya tak sekuat itu ternyata.

"Ini surat.. Dari bapak kalian.." Jawab Aji dengan mata menatap Anam dan Zayan bergantian.

"Surat? Kenapa bapak menuliskan surat? Kenapa tidak pulang saja? Apa yang terjadi pada bapak?"

Anam sangat pintar. Dia terdengar seperti seorang penyidik yang sedang bertugas mewawancarai tersangka, mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dengan berbagai pertanyaan yang sangat memojokkan dirinya, itu menurut Aji.

"Baca saja.. Kamu bisa membaca?"

Pertanyaan Aji tidak dijawab oleh Anam. Anam langsung fokus pada kertas di tangannya. Di baca.

Mata Anam berkabut. Dia menggigit bibirnya menahan tangis. Zayan merangsek makin mendekatinya. Seolah ingin melihat apa yang sedang abangnya baca.

"Bang.. Bapak kenapa? Kenapa kirim surat?" Zayan bertanya.

"Abang nggak tau Za. Abang nggak tau.." Suara Anam lirih.

Anam melipat surat itu. Dia yakin itu tulisan tangan bapaknya. Anam bisa tahu karena di beberapa bukunya terdapat tulisan dengan bentuk yang sama.

"Bapakku di mana om?" Zayan bertanya pada Aji.

"Dia.. Dia hanya menitipkan surat itu."

Aji jadi kebingungan, bingung harus mengatakan apa pada kedua anak ini. Apakah dia harus jujur, atau mengarang cerita sebisanya untuk menutupi keberadaan Tegar?

"Di mana bapakku? Kenapa bapak menulis surat seakan-akan bapak nggak akan pulang lagi?? Siapa kamu?? Apa yang kamu lakukan pada bapakku??"

Anam menatap marah ke arah Aji. Anak sekecil itu sudah bisa mengintimidasi dengan sorot mata tajamnya. Benar-benar berani!

Aji berpikir cepat. Apa yang harus dia lakukan. Satu tarikan nafas membuatnya berani mengatakan..

"Bapak kalian... Di penjara..."

Mata Anam membola. Zayan tidak mengerti, dia melihat ke arah abangnya.

"Apa itu penjara bang? Aku mau ikut bapak! Aku mau ke penjara! Ayo kita ajak bapak pulang bang! Ayo!"

Zayan tidak pernah mendengar kata penjara. Benar-benar tidak pernah diedukasi tentang tempat berkumpulnya para narapidana itu sebelumnya, dia hanya tau kata 'nakal' dan anak nakal atau orang-orang yang nakal akan masuk neraka. Tapi penjara? Apa itu penjara? Zayan berusaha mencerna arti kata penjara dengan keterbatasan pengetahuan yang dia punya. Sedangkan Anam.. Dia seperti ingin mencari kebenaran dalam ucapan Aji.

"Bawa kami pada bapak!"

"Tidak bisa, ini sudah malam. Jam besuk sudah habis."

"Kamu bohong! Bapakku orang baik, kenapa bapak ditangkap polisi? Kenapa bapak dipenjara?! Kamu pasti bohong?!!" Bentak Anam sangat marah.

"Bang.. Maksud abang apa? Bang.. Bapak.. Bang.." Zayan bingung mau berkata apa. Dia sampai gagap dan tidak bisa menjelaskan dengan kalimat apa yang ingin dia katakan dengan baik.

"Ayo masuk Za. Dia bukan orang baik! Dia penjahat! Ayo masuk! Besok kita cari bapak!" Anam menarik tubuh gemuk Zayan masuk ke dalam rumah. Menutup pintu dengan keras sesudah itu. Meninggalkan Aji yang diam mematung tanpa bisa berbuat apa-apa di depan rumah Tegar.

Terpopuler

Comments

Tak Bo Gem

Tak Bo Gem

biar kamu bisa membaca keadaan yg sebenarnya wahai pak aparat
membacalah dgn hati nuranimu, maka kebenaran akan terlihat nyata

2025-01-28

0

ㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤ𒈒⃟ʟʙᴄ

ㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤ𒈒⃟ʟʙᴄ

please thor aku nangis benaran lho😭😭😭mereka itu masih kecil bahkan tiba² dapat surat dari bapak nya🚶🏿‍♀️🚶🏿‍♀️🚶🏿‍♀️

2025-01-17

1

𝐙⃝🦜尺o

𝐙⃝🦜尺o

anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu
ahhhhh kalian sungguh tega,,,
semoga yang memenjarakan tegar pada busung lapar

2025-01-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!