Di luar ada keributan. Anam belum begitu fokus karena baru bangun tidur, tapi mendengar suara tangisan Zayan, dia buru-buru melangkah ke luar rumah. Betapa terkejutnya dia, Zayan sedang didorong-dorong oleh tetangganya, Riki suami Marpuah.
Ada beberapa warga lain juga yang hanya melihat tapi tidak bermaksud ingin membantu. Hanya menonton saja.
"Abaaaang.. Aku nggak nyuri uang bang.. Aku nggak nyuri uang!!" Zayan langsung berlari ke arah Anam.
Tubuh Anam tersentak ke belakang, hampir saja ambruk jika dia tidak memiliki keseimbangan yang baik. Zayan memang gemuk dengan tinggi badan selayaknya bocah enam tahun. Berbeda dengan Anam yang kurus tapi tinggi. Tingginya mengalahi bocah-bocah seusianya.
"Ada apa Za?" Tanya Anam.
"Adikmu nyolong! Dia ngambil uang Marpuah! Ini buktinya! Udah nyolong pake maksa minta gas sama sandal. Emang nggak tau diri. Untung bukan anakku, kalau anakku udah ku petelin ke sumur bocah kayak gitu!" Riki ngamuk dengan suara menggelegar sengaja di buat lantang agar semua orang mendengar ucapannya.
"Nggak bang! Enggak. Aku nggak nyuri. Itu uang abang di tas. Aku mau beli gas. Beli sandal. Biar abang nggak susah masaknya. Biar abang nggak nyeker lagi. Pake uang di tas abang. Aku nggak nyuri bang..."
Zayan menjelaskan sambil menangis. Dia ketakutan. Tidak pernah dia diperlakukan seperti ini. Diarak dari warung ke rumahnya sambil di dorong-dorong. Rasanya takut sekali. Masih bisa bicara lancar saja sudah baik. Zayan sampai menjerit, dia meluapkan ketakutannya tadi di depan Anam.
"Za.. Udah Za diem Za. Za.." Anam memeluk adiknya. Berusaha menenangkan Zayan yang ketakutan dan bicara dia bukan pencuri.
"Iya iya abang yakin kamu bukan pencuri Za. Udah ya.. Diem dulu. Ayo masuk ke dalam. Duduk di dalam. Oke. Tunggu abang di sana."
Tidak. Zayan menggeleng keras. Dia bersembunyi di belakang tubuh kurus kakaknya. Dia takut. Dia sangat takut sekarang.
"Eleh akting. Bocah kalo nggak di didik sama orang tua yang bener ya gitu. Jadi begajulan gedenya. Masih kecil udah panjang tangan! Mau kamu, aku seret ke penjara? Biar bisa ngumpul sama bapak mu hah?"
Riki orang dewasa. Yang dihadapi anak kecil. Anak itu bahkan seusia anaknya. Tapi tega sekali mulut Riki berkata hal yang sedemikian menyakitkan. Dia seperti sengaja menjatuhkan mental Anam dan Zayan di depan orang-orang.
"Zayan bukan pencuri! Uang yang Zayan bawa memang uang ku. Kenapa? Nggak percaya?? Jangan kamu pikir karena kamu orang dewasa terus bisa ngomong seenaknya." Anam bicara dengan keberanian di matanya. Tidak takut sama sekali.
"Ya jelas nggak percaya. Mulut bocah tukang nipu kayak kamu mana ada yang percaya!" Riki tersenyum mengejek.
"Kalau emang ini uangmu, apa buktinya? Apa uang ini bisa bicara dan bilang kalo dia milikmu? Hahaha.. Bocah nggak waras!" Marpuah ikut-ikutan memojokkan Anam.
Riki dan Marpuah tersenyum meremehkan kala Anam tidak bisa menjawab omongannya. Warga di sekitar mereka juga ikut beranggapan jika Anam dan Zayan berbohong. Memangnya mereka bisa mendapat uang itu dari mana? Bapak mereka di penjara. Mereka hanya anak kecil yang tidak bekerja.
"Ini ya.. Buat warga sini, hati-hati aja mulai sekarang. Dua bocah ini nggak bener! Suka nyolong! Kalo tiba-tiba ada kehilangan uang, mungkin aja mereka pelakunya. Sekarang sih jumlahnya kecil, cuma seratus ribu. Tapi bisa aja kan, nanti waktu gede mereka bisa jadi bajingan, jadi perampok, begal, bisa juga jadi penghuni penjara seperti bapak mereka. Hahaha."
Riki tidak punya hati. Zayan makin menangis karena lara yang dia rasa di dadanya. Benar-benar sakit rasanya. Apalagi Anam, matanya sudah memerah. Tangannya mengepal erat. Dia maju saat Riki masih tertawa dan dengan emosi dia dorong Riki hingga lelaki itu hilang keseimbangan. Belum puas membuat Riki jatuh, Anam menginjak mulut Riki saking marahnya. Iya, bocah itu menginjak dengan keras dan cepat ke arah mulut Riki. Terlihat langsung darah keluar dari sana. Anam di dorong Marpuah yang tidak terima suaminya dianiaya bocah, dia menjerit meminta tolong.
"Astaga. Anam!"
Ria tergopoh-gopoh memberi perlindungan para Anam yang dipegangi warga dan ditampar cukup keras oleh Marpuah.
"Berani kamu menghina bapakku, atau Zayan lagi, aku nggak segan-segan buat nendang mulutmu lagi! Apa salahnya jika Zayan ke warungmu untuk belanja?? Zayan bukan mencuri, dia bawa uang yang diberikan teman bapak! Hanya ingin membeli gas dan sandal saja kalian tuduh seperti ini? Apa cuma kamu yang boleh punya uang? Apa salahnya kalau kami juga punya uang? Kami bukan sampah masyarakat, kami hanya anak kecil yang dipaksa berpisah dari bapak kami."
Anam berkata dengan jelas dan gamblang. Dia bahkan tidak memperlihatkan wajah kesakitan setelah ditampar dengan keras oleh Marpuah. Dia hanya membela diri, membela harga diri!
Di sini Ria percaya dengan Anam dan Zayan. Dia tahu, anak-anak Tegar bukan bocah yang agresif atau punya kebiasaan kleptomania. Pasti ada yang sengaja membuat gaduh keadaan dengan membesar-besarkan masalah seperti ini.
"Kamu!!"
Riki yang sudah bangkit karena ditolong Marpuah tadi langsung ingin menghajar Anam. Tapi dihentikan oleh Ria.
"Tunggu sebentar pak Riki. Sebaiknya dibicarakan dulu baik-baik duduk permasalahannya. Biar orang lain juga tidak salah paham dan tidak terhasut oleh omongan-omongan yang tidak mendasar. Kasihan Anam dan Zayan pak, mereka hanya anak kecil. Tinggal hanya berdua, dan lingkungan seperti memusuhi mereka."
"Memang ada yang salah dengan anak seorang narapidana? Tidak. Yang salah itu pola pikir kita sendiri yang menganggap anak seorang napi juga punya potensi memiliki kejahatan seperti orang tua mereka. Itu salah! Dengan kita mengucilkan mereka, menjudge mereka dengan tudingan miring, yang harusnya malah kita memberi dukungan dan bimbingan, tidak kita lakukan. Jadi salahkan diri kita sendiri jika terjadi hal-hal yang tidak dinginkan kemudian hari karena sikap kita hari ini. Pak Riki, dan semuanya.. Kita tau, kita semua tidak buta, tidak tuli, Tegar adalah orang yang baik. Jikapun dia benar adalah orang jahat, apa pernah kalian dirugikan atas kejahatan yang Tegar lakukan?"
Ria membuat semua orang bungkam.
"Alah itu kan karena kamu deket sama Tegar! Jangan-jangan kamu ini selingkuhannya si Tegar kan? Makanya belain anak-anaknya yang maling ini. Ck! Sengkala punya istri gatel ternyata." Marpuah yang bicara.
"Apa bu Marpuah punya bukti? Jangan hanya bicara dan membuat orang lain berpikir buruk seperti kalian. Yang jelas, kita semua tidak boleh menghakimi dan memberi sanksi sosial dengan mengucilkan anak-anak ini."
Riki tidak terima, Marpuah juga. Warga sekitar sana memilih pergi satu persatu. Sepertinya pikiran mereka lebih terbuka karena ucapan Ria tadi. Entahlah, tidak ada yang tahu bagaimana isi hati seseorang.
"Ayo masuk Nam.." Ajak Ria.
Riki dan Marpuah masih ada di depan sana. Tapi Ria tidak menggubris keberadaan mereka.
"Sinting! Mau-mauan jadi pengasuh anak penjahat!" Cibir Marpuah mengajak Riki pergi. Luka di mulut Riki harus diobati, pikir Marpuah.
"Nam. Ayo masuk. Kasihan Zayan masih nangis itu." Karena Anam tak kunjung menggerakkan kakinya. Mata bocah itu menatap tajam ke arah Riki dan Marpuah. Ada perasaan benci di dalam sana.
Zayan masih menangis, apalagi setelah melihat Anam kena gampar Marpuah. Makin kejer saja tangisannya. Masuk ke dalam rumah, mereka bertiga duduk di bangku. Anam diam. Zayan menangis, Ria memeluk Zayan.
"Makanya kalo orang ngomong itu didengerin!" Bentak Anam berapi-api ke arah Zayan.
"Dibilang jangan pakai uang itu, ngeyel banget sih jadi orang?!" Kembali Anam berkata.
"Nam.. Udah udah. Ini Zayan jadi nggak berhenti berhenti nangisnya kalo kamu marahi terus." Ria membela Zayan. Kasihan pada bocah gembul itu.
"Buat apa ke warung hah? Dikira orang bakal percaya kalo kamu punya uang? Terjadi juga kan sekarang! Dituduh maling Za! Seneng kamu sekarang hah?"
Tidak. Anam bukan sesungguhnya marah pada Zayan, dia hanya kecewa pada dirinya sendiri sekarang ini, kecewa karena tidak bisa melindungi adiknya. Dia marah pada keadaan, dia sudah berkali-kali bilang pada Zayan semalam sebelum tidur untuk tidak memakai uang itu tapi adiknya tetap ngotot!
"Aku kasihan sama abang.. Kaki abang lecet lecet karena nggak pake sandal.. Aku bukan mau beli jajan bang, aku cuma pengen beliin abang sandal.."
Tangisan itu masih terdengar. Terisak-isak menyesakkan dada Zayan, tapi dia berusaha bicara menjelaskan apa yang ingin dia lakukan dengan uang seratus ribu yang jadi biang masalah itu. Dan Ria masih setia memeluk mengusap rambut Zayan agar tenang.
"Nggak perlu Za. Nggak perlu.. Abang masih punya kaki buat jalan. Nggak perlu kasihan sama abang.. Udah jangan nangis. Abang minta maaf.." Anam menuju belakang. Ke kamar mandi.
'Andai bapak di sini.. Semua nggak akan kayak gini pak. Hari ini Zayan dituduh mencuri, abang ditampar orang... Besok apalagi?'
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Dewi kunti
kasih jln keluarnya dgn baik thoooorr,Ojo kakean nangis to
2025-02-01
2
𝐓𝐄𝐓𝐄𝐇 𝐇𝐈𝐍𝐘𝐀𝐈☝🏿🌚
kayaknya cocok disiram air keras 🤔
2025-02-01
1
Riaaimutt
susah kalo ngadepin orang yg "benar sendiri"
apalagi punya bakat "menghasut"
itulah sebabnya kenapa q ga suka nonton sinetron banyak anunya,, tp entah kenapa terjebak di dunia pernopelan,, kocak sekali saya 🥲🥲
2025-02-01
2