Minggu pagi. Anam sudah terbiasa bangun menuju dapur mencuci beras, menanak nasi. Entah ada lauk pendamping atau tidak. Dia belum memikirkan itu, yang penting masak nasi saja dulu.
Zayan? Dia ada di depan rumah. Sudah mandi. Rambutnya basah oleh air yang dia siramkan ke kepala tadi, dibiarkan kering sendiri tanpa dilewati sisir. Memakai kaos oblong hitam dan celana pendek selutut, Zayan sedang memikirkan sesuatu sepertinya. Anak kecil itu.. Hanya diam seperti itu saja bisa membuat orang lain terenyuh melihatnya.
"Za. Ngapain?" Tanya Anam duduk di samping adiknya.
Rumah Tegar adalah rumah sederhana. Lantai dari tanah, dinding kayu di bagian depan, sedangkan di sisi kanan dan kiri sudah dipasang hebel (bata ringan). Di depan rumah, ada bangku dari bambu yang dibuat sendiri oleh Tegar. Dulu, di sana biasanya mereka bercengkrama dengan bapaknya, menceritakan apa saja yang mereka alami seharian saat Tegar pergi bekerja. Kini.. Pemandangan seperti itu tidak terlihat lagi.
"Liatin jalan bang." Jawab Zayan tanpa menoleh.
"Terus?" Anam ikut melihat ke arah jalan sekarang.
"Siapa tahu bapak hari ini datang. Ini kan hari Minggu. Penjara tutup nggak ya bang, kalo hari Minggu?" Pertanyaan yang sangat nyeleneh dari bocah yang memang tidak tahu apa-apa.
"Za.." Panggil Anam lirih.
"Nggak bang. Jangan suruh aku berhenti berharap. Bapak pasti pulang kok. Aku tau. Misalkan nggak sekarang, bisa jadi besok! Misalkan nggak bisa besok, pasti besoknya lagi. Bapak itu orang baik, ngapain polisi nangkap bapak lama-lama. Pasti nanti mereka lepasin bapak." Ujar Zayan tanpa keraguan.
"Iya. Kamu bener." Anam mengalah. Dia juga tidak ingin memupus harapan Zayan tentang datangnya bapak mereka suatu hari nanti.
"Bang." Panggil Zayan.
"Iya."
"Aku punya ide bagus, biar kita bisa cepet ketemu bapak!" Raut wajah Zayan berubah ceria.
Anam mengerutkan keningnya, dia seperti tahu dengan apa yang ada di otak kecil adiknya itu. "Nggak usah aneh-aneh."
"Nggak aneh kok! Emang Abang nggak mau ketemu bapak? Aku sih mau!"
"Terus, ide yang katamu bagus itu apa?"
"Bapak kan di penjara, ya kan? Kita ikut ke sana aja bang. Kita jadi nakal, gimana?! Biar ditangkap sama pak polisi bang. Abis itu kita bilang kalau nakalnya kita cuma bohong-bohongan, kan kita masuk penjara buat ketemu bapak.. Biar bapak pulang sama kita.. Pasti pak polisi langsung suruh kita pulang bareng-bareng sama bapak!"
Mulut kecil itu, pandai sekali bicara. Tapi sayangnya, apa yang dikatakan Zayan seperti dongeng yang hanya terjadi di dunia khayalan bocah enam tahun itu saja. Mana mungkin bisa dengan mudah polisi membebaskan orang yang terjerat kasus narkoba hanya karena kasihan pada Zayan?
Apa yang dia bilang tadi? Nakal bohong-bohongan? Yang benar saja! Anam ingin sekali memukul kepala Zayan agar bocah itu tidak terlalu banyak berhalu.
"Nggak usah mikir kayak gitu Za. Kamu tau nggak, orang dewasa.. Kayak bapak, ditempatin di penjara yang temboknya tinggi. Ada banyak polisi yang jaga. Ada pager dari kawat besi yang mengelilingi tempat itu! Kita, kamu sama abang... (Menunjuk ke dada Zayan lalu ke dadanya sendiri) Hanya anak kecil. Anak kecil nggak ditaruh di penjara kayak gitu. Percuma kamu bilang pura-pura nakal, yang ada kamu bakal dipisahin dari Abang. Mau kamu kayak gitu? Udah nggak bisa ketemu bapak, kepisah dari Abang pula! Kita berdoa saja sama Allah, Allah itu ngabulin doa anak baik! Bukan anak yang suka main bohong-bohongan nakal. Kamu ngerti?"
Sekilas Zayan diam mencerna apa yang abangnya ucapkan. Apa iya seperti itu? Zayan masih belum bisa mengerti sebenarnya, kenapa orang dewasa sangat membingungkan?! Kan tinggal lepasin bapaknya saja dari penjara, semua akan baik-baik saja setelah itu. Bapaknya juga pasti tidak akan nakal! Pikir Zayan masih tetap diam.
"Kamu ngerti nggak sih Za?" Ulang Anam menanyakan pada adiknya.
"Ngerti. Kita nggak boleh nakal kan, biar doa-doa kita dikabulin Allah?"
Anam mengangguk membenarkan. "Ke kebun yuk. Cari cabe. Buat nyambel." Ajak Anam berusaha menghibur adiknya.
"Nggak mau. Abang kalo nyambel rasane pedes doang." Protes Zayan, sembari melengos.
Kali ini tangan Anam benar-benar meluncur ke kepala adiknya. "Dari jaman nenek moyangmu, yang namanya sambel itu pasti pedes Ndut!! Udah ayo!!!"
"Aduuuh! Sakit bang!" Zayan mengusap kepalanya yang ditabok Anam.
Yah.. Mau gimana lagi, Zayan ingin menolak ajakan abangnya untuk mencari cabe juga percuma. Pasti dipaksa juga akhirnya.
Mereka berjalan menyusuri jalan kecil yang belum diaspal. Jalan itu menghubungkan mereka ke kebun luas milik tetangga. Bukan milik mereka tentu saja, apalagi milik bapaknya. Hanya saja kebun itu sudah lama tidak dirawat pemiliknya, banyak semak belukar yang tumbuh liar. Di antara semak-semak itu ada beberapa pohon cabe yang belum dibersihkan oleh pemilik kebun dan masih menghasilkan buah pedasnya. Itu lah yang akan Anam dan Zayan ambil. Tidak banyak memang, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan bumbu mereka di dapur. Dari pada beli, ya kan?
"Kamu bawa plastik Za?" Anam bertanya.
"Nggak bang. Emang mau ambil berapa banyak sampai harus bawa plastik?" Zayan menutupi matanya dari terpaan sinar matahari, silau!
"Ya nggak banyak. Cuma kalo nggak ditaruh di plastik, mau kamu taruh mana? Baju? Celana? Pedes nanti badanmu yang ada."
"Abang aja yang ambil, aku bagian nyemangatin aja ya. Panas bang. Lagian aku juga nggak begitu suka sama sambel. Lebih suka ayam goreng, aaaaah iya.. Udah lama kita nggak makan ayam goreng ya bang.. Aku jadi lupa rasanya, kapan ya bang kita bisa makan ayam goreng lagi?" Zayan sekarang duduk di bawah pohon mahoni. Membiarkan Anam mencari sisa cabe yang mungkin masih ada di pohonnya.
Tidak menjawab, bukan berarti Anam tidak mendengar. Sangat jelas masuk ke telinganya apa yang Zayan katakan tadi, tapi dia tidak mau menanggapi. Ujungnya satu. Tidak ada gunanya. Mau beli ayam goreng pakai apa? Untuk membeli beras dan membayar uang sekolah saja terasa sulit dia lakukan.
Sambil memetik cabe, pikirannya melayang jauh ke beberapa bulan belakang.. Saat itu masih ada Tegar yang selalu pasang badan untuk mereka, tidak akan Tegar biarkan anak-anaknya kelaparan. Dia bekerja serabutan hingga jarang punya waktu berkumpul bersama kedua anaknya juga demi menjamin hidup Anam dan Zayan agar tidak merasa kekurangan.
Sekarang, Anam yang harus menggantikan sosok Tegar. Di usia yang masih belia, dia sudah ditempa dengan banyak permasalahan yang sebenarnya tidak diperuntukkan untuk anak seusianya. Diam dan menerima, hanya itu yang bisa Anam lakukan sekarang.
Mata Anam melihat ke arah Zayan yang sibuk menggaruk tangan dan kaki, terkadang leher juga pipi tak lepas dari kegiatan menyebalkan itu.
"Bang. Ayo pulang. Di sini nyamuknya banyak. Aku digigitin terus dari tadi bang!" Keluh Zayan yang mengetahui jika dirinya diperhatikan oleh abangnya.
"Tepukin, kumpulin yang banyak. Siapa tahu bisa dibikin peyek nyamuk. Belum pernah makan peyek nyamuk kan?" Anam ingin tertawa melihat kepolosan adiknya.
"Emang enak bang? Abang pernah nyoba makan peyek nyamuk?" Zayan beneran berburu nyamuk sekarang. Dia yang tadi dijadikan korban gigit lari nyamuk, kini jadi tersangka pemburuan hewan kecil mungil yang suka berdenging itu.
"Belum. Kamu satu-satunya orang yang penasaran sama rasa peyek nyamuk." Anam tertawa melihat muka Zayan yang sudah memerah karena kepanasan dan menahan kesal karena ulah abangnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
ㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤ𒈒⃟ʟʙᴄ
aku first likom thor dapat apa ini 🤭🏃♀️🏃♀️
2025-02-18
1
𝐔 𝐏 𝐈 𝐋 𝐈 𝐍
nah, part ini aman..
gak jebol tanggulku
2025-02-18
1
ㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤ𒈒⃟ʟʙᴄ
beruntung anam bisa masak dan mandiri🤭walaupun punya adk se cerewet zayyan setidaknya mereka berdua tidak tinggal sendiri 🤗🤗🏃♀️🏃♀️🏃♀️🏃♀️
2025-02-18
1