Dari kejauhan Anam dan Zayan bisa melihat kedatangan ayahnya. Zayan langsung berteriak kegirangan, Anam sampai menepuk bahu adiknya itu karena terlalu berisik menurutnya.
"Bapak, bapaaaak.. Bapak pulaaaang.. Yeaaaaay!!" Masih dengan euforia kebahagiaan yang dia rasakan karena melihat bapaknya datang.
"Berisik Za! Cempreng banget sih kamu ini!" Anam membentak adiknya.
Tegar terkekeh melihat sambutan anak-anaknya. Dia menggendong Zayan lalu mengusap rambut Anam.
"Udah pada makan belum?" Tanya Tegar menurunkan Zayan dari gendongan lalu sekilas mencium pipi anak bungsunya.
"Udah pak. Tadi abang bikinin aku mi goreng. Dimakan pake nasi, sama krupuk." Zayan senang. Dia menceritakan apa yang tadi siang masuk ke perutnya.
Dari mana Tegar? Kenapa sambutan Zayan seantusias itu?
Tegar pulang dari bekerja. Menjadi supir truk untuk muatan bahan bangunan. Pekerjaan yang tidak setiap hari dia lakoni karena dia hanya supir cadangan. Untuk kebutuhan setiap hari, Tegar cukupi dengan menjadi kuli panggul di pasar setiap malam. Sayur-sayuran segar datang dari berbagai daerah ke pasar induk dan akan membutuhkan banyak tenaga seperti dirinya untuk membongkarnya.
Apakah setiap malam Anam dan Zayan tidur hanya berdua jika Tegar pergi bekerja?
Iya. Tapi, Tegar selalu berangkat ketika mereka berdua sudah tidur. Biasanya akan kembali setelah adzan subuh. Pekerjaannya memang harus bergelut dengan malam, jadi mau tidak mau, dia harus menghempaskan kesedihannya setiap akan meninggalkan kedua buah hatinya pergi bekerja.
Subuh tadi, setelah mendapat telepon dari pemilik toko bangunan agar Tegar datang untuk nyerepin supir yang berhalangan masuk karena sakit, Tegar langsung segera berangkat. Jadilah, baru sore hari ini mereka bertemu.
Tegar tak serta merta meninggalkan anaknya begitu saja. Dia sudah menyiapkan nasi untuk makan. Juga beberapa butir telur, serta mi instan yang dia stok di rumah.
Bagi seorang single parent, mengasuh dua anak seorang diri, dengan ekonomi di bawah rata-rata, mungkin cenderung pas-pasan itu sangatlah sulit. Tegar merasakannya sendiri. Bergelut dengan penat dan lelah itu sudah lumrah baginya. Asal masih diberi kesehatan, dia akan melakukan apapun untuk mencukupi dan membahagiakan kedua anaknya. Ya, meski dengan keterbatasan yang ada tentunya.
"Kok kukunya item-item gini, yok dipotong dulu. Nam, bisa minta tolong ambilin gunting kuku. Ini kuku adikmu kayak kuku macan. Item semua, banyak kumannya. Hiiii." Ucap Tegar.
"Hiiii." Tiru Anam bergerak mengambil gunting kuku, benda yang diminta bapaknya.
"Tangannya yang dipotong, iya kan pak! Biarin nggak punya tangan. Nakal sih, suka jambakin rambut abang! Ya pak.. Sampai sini dipotongnya ya?"
Goda Anam memperagakan tangganya digorok sampai siku dengan gunting kuku. Alhasil Zayan berteriak menjerit kesal ingin menyerang kakaknya.
"Nggak! Abang nakal! Tanganku nggak dipotong ya pak? Aku baik kok, nggak nakal! Abang yang dipotong nanti lidahnya sama malaikat!" Balas Zayan kesal berpikir tangannya benar-benar akan dipotong.
"Hus! Nggak boleh kayak gitu. Sama saudara itu harus rukun. Harus saling menjaga. Saling memaafkan dan memberi tahu jika ada yang salah. Apa itu potong potong, diajari siapa kamu bang, kok ngomong gitu? Ini juga, bilang potong lidah segala macem. Emang mau lidah abangmu beneran dipotong? Seneng to, liat abang kesakitan, nggak punya lidah, nggak bisa bicara?"
Zayan menggeleng di tengah pangkuan ayahnya. Dia memandang ke arah Anam.
"Aku minta maaf bang." Ucap Zayan mengulurkan tangannya.
"Hmm, abang juga." Mereka bersalaman.
Sesimpel itu menghadapi tingkah polah kedua anaknya tapi jika tidak dibiasakan menasehati, menegur jika salah, dan membiarkan keributan yang terjadi dengan membela salah satu di antara anaknya, pastinya akan membuat persaudaraan mereka renggang dan merasa dibeda kasih (pilih kasih) oleh orang tuanya. Oleh sebab itu, sebisa mungkin Tegar berusaha berlaku adil untuk keduanya.
"Bapak, kapan aku sekolah? Aku juga mau sekolah kayak abang, pak." Seru Zayan tiba-tiba.
Tegar belum membuka suara.
"Setahun lagi lah. Ya kan pak? Kalo udah umur tujuh tahun, baru boleh sekolah! Nanti kita sekolah bareng-bareng ya, abang antar kamu masuk kelas. Terus kalo ada yang ganggu kamu, bilang sama abang. Biar abang pukul!"
"Heh. Ya jangan. Mau jadi preman? Sekolah buat belajar, kenapa malah jadi adu pukul? Membela bukan berarti harus bertengkar bang." Tegur Tegar kala mendengar anak sulungnya salah bicara.
"Iya bang. Nanti kalo abang kalah, aku bantuin. Hahaha." Ucap Zayan menepuk dadanya.
"Hahaha. Bagus! Itu baru adik Abang. Tos Za!"
Mereka tidak mendengarkan perkataan Tegar rupanya, karena larut dalam angan masing-masing yang akan jadi centeng sekolahan!
Sore berganti malam.
"Lho belum tidur Nam?"
Tegar mengira jika Anam sudah terbuai dalam mimpi di peraduan. Ternyata masih sibuk dengan buku dan pensilnya.
"Belum pak. Ada PR. Bapak mau berangkat kerja sekarang?" Tanya Anam yang hafal jam kerja ayahnya.
"Iya. Ada SMS dari bos bapak, katanya sayuran yang datang banyak. Lumayan kalo bisa dapat angkutan lebih banyak Nam. Bisa beliin kamu sama adikmu baju lebaran." Tegar sudah memikirkan lebaran, padahal bulan puasa saja belum datang.
"Pak.."
Lirih Anam saat melihat ayahnya memakai sepatu butut yang sudah sobek bagian depannya.
"Hmm, iya Nam." Tegar menghentikan pergerakannya.
"Nanti, kalo Abang udah gede. Abang mau kerja. Bapak nggak usah. Bapak di rumah aja. Jagain Zayan." Begitu ucap Anam.
Tegar terdiam. Dia mendekati anaknya, di usap tangan kecil yang masih memegang pensil itu.
"Terimakasih.. Tapi, untuk sekarang.. Sekolah dulu. Belajar yang pinter ya. Urusan kerja dan cari uang itu tugas bapak. Maaf ya bang, bapak jarang ada waktu buat kamu dan Zayan... Mau bagaimana lagi, kalau bapak libur.. Banyak orang yang sanggup menggantikan posisi bapak di pasar. Dan akan sangat sulit untuk bisa kembali bekerja jika sudah seperti itu.. Bapak minta maaf ya bang.."
Anam menatap kepergian bapaknya dengan rasa sedih. Ada kesedihan yang lain, kesedihan yang berbeda dengan yang biasa dia rasakan ketika melihat bapaknya akan berangkat bekerja.
"Paak.." Anam berlari ke luar rumah.
Tegar menengok, dia ditubruk oleh pelukan Anam yang tiba-tiba. Bocah itu memeluk perut Tegar dengan mata berkaca-kaca. Entahlah... Ada perasaan tidak rela melepas ayahnya pergi berkerja malam ini.
"Ada apa jagoan? Kenapa?"
Tegar mengecek kening Anam, memastikannya jika anaknya tidak sakit atau demam.
"Bapak.. Cepet pulang ya pak.. Bapak tadi aja belum tidur sama sekali. Pasti ngantuk dan capek banget, iya kan?" Anam masih ingin berlama-lama dengan ayahnya.
"Nggak biasanya kamu kayak gini bang. Iya, nanti bapak akan usahain cepet pulang ya. Sekarang masuk, kasihan adikmu tidur sendirian. Jangan lupa kunci pintunya ya."
Anam mengangguk. Meski tak rela, tapi Anam tetap menuruti perintah ayahnya. Dilihat punggung itu untuk terakhir kali, hilang ditelan gelapnya malam.
'Pak.. Abang sayang bapak.. Terimakasih sudah jadi bapak yang hebat untuk aku dan Zayan.'
Disambut dengan puluhan mobil pick up yang berjejer, bahkan ada yang belum terparkir dengan rapi karena menunggu antrian bongkar muatan, Tegar terlihat berbinar. Benar kata bos nya, malam ini banyak pekerjaan yang bisa menghasilkan lebih banyak pundi-pundi rupiah untuk dia bawa pulang.
"Gar, sini! Bengong aja! Ayo mulai angkut. Bantuin itu yang lain!"
Tegar mengiyakan, dia mengayunkan kakinya dengan langkah lebar. Mengangkut karung satu persatu dengan kekuatan bertumpu pada punggung. Kaki kokohnya mantab menginjak bumi, melangkah keluar masuk ke dalam pasar dan kembali lagi ke mobil pick up.
"Huuuft.. Capek ya Gar, ini minum dulu!"
Teman seprofesi Tegar melemparkan satu botol air mineral ke arah Tegar.
"Kerja ya capek. Duduk diem selonjoran aja juga capek kok. Ya, seenggaknya kita capek tapi dibayar bang. Ngasilin duit."
Tegar menyemangati dirinya sendiri, berpacu dengan waktu untuk kembali memanggul karung-karung penuh sayur yang masih menunggu.
"Ngaso dulu lah Gar! Kayak besok nggak kerja lagi aja kamu ini, gasspol banget lho." Teriak temannya tadi.
Tegar tak menghiraukan ucapan temannya. Sudah kadung di tempat kerja, mengabaikan waktu istirahat bersama anak-anaknya untuk ditukar dengan beberapa lembar rupiah, apa bagus jika dia diam bersantai saja seperti yang lain?
Tak terasa semua pekerjaan sudah selesai. Tegar mengelap peluh yang membanjiri kening serta bagian wajahnya. Tentu saja lelah, tapi itu tak masalah. Ada sambutan senyum dan pelukan hangat anaknya ketika nanti sampai di rumah.
"Ini Gar. Aku lebihin dikit. Buat beli jajan anak-anak mu." Kata si bos itu menepuk pundak Tegar.
"Alhamdulillah. Terimakasih bos."
"Iya. Kamu rajin Gar. Aku suka kerja bareng orang-orang satset kayak kamu. Besok, ke sini lagi kan?" Pertanyaan yang sudah pasti akan dijawab iya oleh Tegar.
"Iya pak. Pasti. Sekali lagi terimakasih ya pak. Saya mau langsung pulang, kasihan anak-anak di rumah sendirian pak." Tegar membungkuk separuh badan untuk memberi hormat dan berpamitan.
Biasanya jam segini sudah ada angkutan umum. Tapi, Tegar merasa hari ini berbeda. Seperti agak sepi dari biasanya. Pikiran buruk dia tepis jauh-jauh.
"Dari pada terus menunggu di sini, mending aku jalan aja. Siapa tau nanti ada angkot lewat." Ucap Tegar pada dirinya sendiri.
Dan Tegar berjalan kaki akhirnya. Sesekali menengok ke arah belakang siapa tahu ada angkutan umum yang akan lewat. Tapi, setelah sepuluh menit berlalu dia habiskan dengan berjalan kaki.. Kendaraan umum yang dia maksud tak kunjung menampakkan diri.
Tapi kemudian Tegar dikejutkan dengan adanya seseorang dengan jaket hoodie, masker dan berperawakan tinggi besar, menggunakan sarung tangan di kedua tangannya menghampirinya dengan berlari.
"Bang, bang.. Tolong saya bang!! Saya mau dibunuh bang!! Saya dikejar orang!! Tolong saya bang!!" Orang itu seperti ketakutan.
"Astaga. Ada apa ini bang?" Tegar membantu memapah orang itu.
Dan kejutan kembali dia temukan, kala melihat bagian perut lelaki tinggi itu basah, basah oleh darah.
"Ya Allah. Perut mu berdarah bang? Bang.. Kamu harus ke rumah sakit sekarang."
Tegar gugup, dia panik sampai tidak bisa berpikir jernih. Dia ikut gemetaran karena seumur hidup belum pernah dia berada dalam situasi mencekam seperti ini.
"Nggak usah bang. Aku nggak butuh dokter. Aku pengen ikut abang aja. Aku takut bang. Aku butuh bantuan!"
Apa ini? Orang sakit tapi nggak mau ke dokter? Tegar langsung berpikir yang tidak-tidak tentang lelaki di dekatnya. Secepat kilat, Tegar menjauhkan diri dari si lelaki itu.
"Bang.. Tolong bang.."
Tegar bisa melihat lelaki yang tidak dia kenal itu tersiksa kesakitan, mengulurkan tangan ingin mencari pertolongan untuk keselamatan nyawanya. Tapi, bagaimana jika dia orang jahat? Tidak! Tegar tidak ingin berurusan dengan hal ini!
Dengan tubuh gemetaran, Tegar membuang pergi rasa kemanusiaannya. Dia tega mengabaikan orang yang sekarang ambruk tak berdaya. Orang itu terus melihat kepergian Tegar dengan mata nyaris kehilangan kesadaran. Dia terbaring menghadap tanah. Nafasnya satu dua. Dia tak tahu lagi.. Apakah besok masih bisa melihat sinar matahari pagi atau sudah berubah menjadi jasad tak bernyawa yang tergeletak tanpa ada harganya.
"Sial!"
Tegar berlari kembali ke arah orang itu. Dia mengecek apakah orang tersebut masih hidup atau sudah wassalam.
"Baang... Tolooong.." Parau sekali suara orang yang sedang berusaha Tegar papah ini.
Belum bergerak dari tempatnya, suara sirene mobil polisi membuat jantung Tegar seperti mau lepas dari tempatnya. Ada apa lagi ini?
"Jangan bergerak!! Taruh tangan di belakang kepala, dan berlutut sekarang juga!!"
Tak tanggung-tanggung, empat orang polisi menodongkan senjata api ke arah Tegar juga lelaki yang sekarat tadi.
"A-ada apa pak..?" Tanya Tegar gugup ketakutan.
"Periksa dia!!"
Tanpa menjawab, seorang polisi yang mungkin pimpinan dari mereka membuat perintah pada dua anak buahnya yang lain. Tanpa izin dari Tegar, dua orang polisi itu langsung memeriksa tegar dari ujung rambut hingga telapak kaki.
"Kami menemukan ini pak!" Seru polisi yang baru saja melakukan pemeriksaan pada Tegar.
Dompet dengan uang yang jumlahnya tak lebih dari tiga ratus ribu, KTP, dan.. Satu plastik klip yang berisi beberapa butir pil putih kecil.
"Apa ini?!" Tegas atasan polisi itu.
"Sa-saya.. Saya tidak tahu pak. Itu bukan punya saya.." Tegar sudah pucat pasi.
Benda apa itu? Dan sejak kapan benda itu ada di saku celananya?? Pertanyaan terus berputar hingga dia dikejutkan dengan suara atasan polisi tadi..
"Bawa dia ke kantor!" Terang sang pimpinan.
"Kantor? Tapi, tapi saya tidak tahu itu apa-apa pak! Pak, anak-anak saya sedang menunggu di rumah pak.. Tolong lepaskan saya.."
Tegar memelas dengan suara rendah memohon belas kasihan untuk didengar tapi tak seorangpun yang sudi mengabulkan apa yang Tegar mintakan.
"Anda bisa jelaskan semua di kantor polisi!" Balas salah satu polisi.
Tak hanya Tegar yang dibawa ke kantor polisi, tapi juga lelaki yang sekarang tak sadarkan diri terbaring di antara kaki para polisi. Bahkan ada yang sengaja menjadikan kepala lelaki yang mungkin saja sudah kehilangan nyawanya itu sebagai alat pijakan sepatunya.
Matahari sudah menampakkan diri. Di rumah, Anam sudah terbiasa menyiapkan keperluan sekolah sendiri, dia tidak bergantung pada Tegar untuk urusan mandi dan menyiapkan diri pergi ke sekolah.
"Bang, bapak mana? Kok belum pulang?" Zayan belum mandi. Dia baru bangun tidur.
"Nggak tau abang juga. Mungkin bapak langsung ke toko bangunan buat kirim barang." Jawab Anam menenangkan adiknya.
"Oowh. Tapi, harusnya bapak pulang dulu ya bang." Zayan kembali berceloteh.
"Kenapa? Kan kamu kemarin bilang ke bapak pengen dibeliin mainan truk yang dalemnya ada hewan-hewan nya itu. Kamu pikir itu murah?! Makanya jangan minta aneh-aneh sama bapak! Udah tau bapak cari uang susah eh kamu main minta ini itu." Omel Anam pada adiknya.
"Nanti, kalo mainannya dateng, bapak beneran beliin aku.. Abang nggak boleh pinjem!" Balas Zayan kesal.
"Bodo amat!"
"Abang nakal! Nanti aku aduin bapak!"
"Terserah."
"Abang nakaaaal!! Bapaaak.. Abang nakal paaaak!"
Zayan memang begitu, dia menganggap apa yang tidak sesuai dengan keinginannya berarti nakal! Bocah punya bahasanya sendiri untuk mengekspresikan apa yang dia mau dan dia rasa.
Dan tanpa mereka tahu.. Bapaknya kini sedang dihajar habis-habisan oleh polisi untuk mengakui jika plastik klip berisi narkoba yang ditemukan dalam saku celana adalah miliknya serta memberi keterangan pada mereka tentang siapa saja yang terlibat dalam pengedaran narkoba di daerah tersebut.
Anam berjalan kaki ke sekolah. Dia mengajak Zayan ikut serta bersamanya. Dia selalu mengajak Zayan untuk ikut karena jika dibiarkan di rumah sendirian pasti akan sangat berbahaya. Lagipula, Zayan merupakan bocah yang cengeng dan sedikit penakut. Mana mau dia ditinggal seorang diri di rumah tanpa ada siapapun di sana.
"Bang.. Sandalku putus." Seru Zayan memberi tahu.
"Lah, kok bisa. Kamu kalo jalan itu yang bener! Jangan segala batu kamu tendang-tendangin. Putus kan, sandalnya."
Anam berhenti untuk memeriksa keadaan sandal jepit milik adiknya, dan rupanya memang putus tidak bisa diperbaiki.
"Ayo." Tukas Anam.
"Aku nggak mau jalan! Sandalku putus!"
Rengek Zayan sedikit berulah, dia duduk di tanah dan hampir menangis.
"Ayo, Abang gendong! Kamu cengeng banget sih Za. Dikit-dikit hiii, dikit-dikit aduh, dikit-dikit nangis." Anam berjongkok bersiap menggendong adiknya.
"Nanti sampai rumah minta bapak beliin aku sandal ya bang." Ucap Zayan naik ke punggung Anam.
"Hmmm."
Anam bukan tak ingin banyak bicara dengan adiknya tapi dia menghemat tenaga. Adiknya ini, tubuhnya lumayan gempal dan dia sendiri termasuk ukuran kurus dan tinggi. Jika terus bicara menanggapi adiknya yang sedang dia gendong, alhasil belum sampai sekolahan sudah megap-megap dia.
Dan ketika sudah sampai di sekolah Anam, Anam pun menurunkan adiknya yang dari tadi dia gendong di punggungnya.
"Bang.. Aku tunggu di sini ya." Dia menunjuk bangku panjang di bawah pohon mangga.
"Iya. Jangan keluyuran. Kalau ada orang yang kamu nggak kenal ngasih makan minum, jangan mau. Jangan bicara dengan orang asing. Dan-"
"Teriak kalo ada orang yang nakalin aku. Ya kan?" Sambung Zayan sudah hafal apa saja yang akan kakaknya katakan.
"Hmmm. Ini uang, misal kamu mau jajan. Tapi jangan keluar dari pagar sekolahan. Jajan di sekitar sini aja." Masih memberi nasehat agar adiknya itu mengerti apa yang boleh dan tidak boleh dia lakukan.
Zayan mengangguk patuh. "Bang. Makasih ya. Selamat belajar bang! Semangat ya bang! Harus dapet nilai seratuuss!!" Teriak Zayan bersemangat.
Anam tersenyum mengacungkan satu jempolnya dan menjauh pergi. Kasihan sebenarnya meninggalkan Zayan seorang diri seperti itu, tapi ini bukan kali pertama.. Ya hampir setiap hari mereka melakukan kegiatan ini.
Bel tanda masuk sekolah berbunyi. Anam duduk di bangku kelas empat SD, dia juga ikut berbaur bersama temannya untuk masuk ke dalam kelas guna mengikuti pelajaran.
Dan Zayan, dia sedikit bosan. Dia ingin segera pulang ke rumah sebenarnya. Ingin bercerita dengan ayahnya, ingin mengadu jika sandalnya putus, dan ingin bilang kalo abangnya berbaik hati menggendongnya sampai ke sekolah. Tadinya Zayan ingin bilang jika kakaknya itu nakal karena tadi pagi sempat meledeknya. Tapi, urung dia lakukan karena melihat abangnya itu begitu perhatian pada dirinya.
Zayan iseng berjalan mendekati ruang kelas kakaknya. Pintunya ditutup. Jendela kacanya tinggi. Hmm.. Padahal Zayan ingin melihat bagaimana kakaknya di dalam sana belajar.
"Hei nak. Sedang apa kamu di situ?"
Tegur seorang guru olahraga pada Zayan yang berusaha mengintip dari celah lubang pintu.
"Ah."
Zayan memekik terkejut. Dia sampai melonjak karena suara dari guru itu yang cukup membuat kaget.
"Abang ku ada di dalam pak guru." Jawab Zayan kemudian setelah menenangkan degup jantungnya.
"Ooowh. Ke sini mau liat abang belajar? Tapi jangan seperti itu ya, jika ada yang membuka pintu dari dalam, kamu akan jatuh nanti. Sekarang, kamu tunggu abangmu sambil ikut pak guru olah raga. Mau?"
"Tidak mau." Tolak Zayan seketika tanpa berpikir.
"Lho, kenapa tidak mau? Kamu bisa bermain bola, atau bermain lompat tali. Lari-lari di lapangan, itu lebih baik dari pada mengintip abangmu ketika belajar nak. Siapa nama kamu?"
"Zayan."
"Zayan, Zayan umurnya berapa?"
Tidak langsung menjawab. Zayan teringat pesan abangnya 'Jangan bicara dengan orang asing.'
Seketika mulut Zayan dia tutup sendiri dengan tangannya. Dia menggeleng keras. Dia sudah melanggar ucapan abangnya. Dari tadi dia berbicara dengan orang asing! Meski dia adalah guru di sini, tapi Zayan tidak pernah melihatnya sebelum ini. Apakah dia guru baru? Zayan mundur ingin berlari. Tapi alih-alih berlari, dia lebih memilih... Menangis. Ya Zayan ketakutan dan menangis di depan ruang kelas empat. Otomatis pintu terbuka dan beberapa orang keluar dari sana, termasuk Anam.
"Zayan. Kamu kenapa?" Anam mendekati adiknya.
Zayan sudah bergetar ketakutan. Mukanya yang putih bersih berubah jadi memerah dan belepotan air mata bercampur ingus.
"Bang.. Aku udah bicara sama orang asing bang... Aku nggak nurut apa kata abang. Huaaaa.. Hiks hiks."
Sambil berhambur ke pelukan Anam, Zayan menunjuk ke arah guru olah raga. Zayan pikir dia benar-benar melakukan kesalahan. Dan pasti Anam akan memarahinya. Begitu pikir Zayan. "Dia guru abang Za. Kamu ini.."
Anam ingin menonyor kepala adiknya saat itu juga tapi ada rasa kasihan juga melihat Zayan menangis seperti itu.
Kegaduhan di depan ruang kelas Anam berakhir kala Zayan diminta menunggu Anam di area musholla sekolah saja. Karena memang dia tidak diperbolehkan untuk ikut masuk ke dalam kelas, bisa mengganggu kegiatan belajar mengajar nanti.
Di kantor polisi.
"Pak. Dia tetap tidak mau mengaku." Lapor seorang polisi yang baru keluar dari balik jeruji besi untuk mengintrogasi Tegar.
Mengintrogasi di sini bukan lah adu pertanyaan dan akan diberi jawaban, bukan seperti itu. Tapi menghajar orang yang dituduh sebagai tersangka tanpa belas kasihan sedikitpun.
"Biarkan saja. Kita sudah punya bukti otentik. Di bajunya banyak noda darah dari temannya yang meninggal itu, juga beberapa pil ekstasi. Terlebih dua kilo ganja kering juga kita temukan ditubuh mayat lelaki itu. Mau mengelak apa lagi. Jelas hukuman mati sudah di depan matanya." Ucap sang pimpinan dengan muka sangarnya.
"Dia bilang ingin bertemu anak-anaknya pak. Dia hanya kuli serabutan di pasar induk."
"Apa kamu percaya padanya? Hei.. Kita sudah ratusan bahkan ribuan kali menangani kasus seperti ini. Mereka memang pandai berbaur dengan masyarakat dan menyamar menjadi apa saja. Pengemis, pemulung, pengamen, apapun itu! Mereka menggunakan rasa simpati kita untuk mengelabuhi penyamarannya sebagai pengedar narkoba! Ingat! Mereka itu adalah orang-orang yang bertanggung jawab atas rusaknya moral bangsa. Karena dengan tangan mereka, dengan kesengajaan mereka, mereka menyebarluaskan narkoba hingga bisa dijangkau oleh masyarakat kita."
"Siap pak!"
"Dia bilang punya anak-anak di rumah? Bahkan otaknya tidak dipakai saat menjadi pengedar, dia memberi makan anak-anaknya dengan uang haram! Ck.. Siapa tahu malah anak-anaknya juga terlibat. Selidiki orang itu. Cari tahu alamatnya dan siapa saja keluarganya."
"Siap pak! Laksanakan!" Jawab polisi itu memberi hormat lalu pergi meninggalkan atasannya.
Muka garang polisi berpangkat kepala satuan narkotika (sat narkoba) itu menatap ke arah Tegar. Dia mendekati sel tahanan yang mengurung kebebasan Tegar sekarang.
"Kamu mengaku atau tidak, hukuman sudah ada di depan mata. Saran ku, kamu berkata terus terang saja. Bekerja sama lah dengan kepolisian maka aku akan mengusahakan untuk melakukan remisi padamu."
"Ak--ku tidak ber--salaah paak... Anaak-aanaakku.. Uhuuuk.. Anak-anakkuu.. Di rumah.. pastii menungguu ku pulaang." Desah suara bergetar dan tersengal-sengal, Tegar berusaha memberitahu jika dirinya tidak tahu apapun tentang apa yang dituduhkan padanya.
"Keras kepala! Anak-anakmu pasti kecewa jika tahu ayahnya sebenarnya adalah pengedar narkoba! Kasihan."
Tegar ditinggal sendiri. Dalam hati dan pikirannya dipenuhi tentang kedua anaknya. Air mata Tegar jatuh tak bisa dia tahan. Bukan menangisi sakit yang menggerogoti tubuhnya tapi membayangkan anak-anaknya yang kebingungan mencari dirinya. Tangisan itu menjadi tanda hancurnya hati seorang ayah, tangisan yang menjadi bukti jika hatinya tak setegar namanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!