"Bapak pasti udah pulang, ya kan bang? Jangan lupa bilang ke bapak buat beliin sandal aku ya bang!" Zayan berada di gendongan Anam lagi.
Anam tidak menjawab. Dia juga berharap bapaknya sudah sampai rumah sekarang. Hanya ingin melihat wajah bapaknya saja, hanya itu. Rasanya rindu sekali. Padahal baru kemarin malam tidak bertemu. Tapi entahlah, Anam merasa ingin segera menemui bapaknya.
Hampir sampai rumah, Zayan minta turun dari gendongan. Dia juga tahu diri, badannya gemuk dan pasti kakaknya kepayahan sedari tadi menggendongnya. Cuaca hari ini sangat panas. Mungkin nanti setelah sampai rumah, Zayan akan minta bapaknya untuk beli es teh. Tidak ada kulkas di rumah, jadi sesuatu yang berhubungan dengan benda dingin itu, harus mereka dapatkan dengan cara membeli. Es misalnya.
Zayan benar-benar berlari mana kala dirinya sudah melihat rumahnya. Tanpa alas kaki. Padahal Anam sudah memperingatkan adiknya itu. Takut jatuh. Kalau jatuh pasti nangis lagi. Zayan memang bocah cengeng!
Dan benar saja, belum sampai satu menit ucapan Anam terwujud. Zayan jatuh tergelincir batu kerikil. Menggunakan celana pendek, tentunya lutut bocah itu langsung lecet oleh benturan yang terjadi. Tidak parah, hanya lecet dan sedikit tergores. Tapi efeknya luar biasa. Zayan menangis meraung seperti kehilangan kakinya saja.
"Sakit bang! Jangan sentuh itu!" Larang Zayan kesakitan.
"Bandel sih. Dibilang jangan lari, tetep aja lari. Mata dipake, batu segede itu kamu giles. Untung bukan kepalamu yang bocor!" Omel Anam sambil mengusap serta membersihkan baju Zayan bagian depan yang kotor.
Meski sambil menangis, Zayan tidak mau lagi mengatai Anam nakal. Jelas kesalahan ada pada dirinya, dia mulai sadar akan hal itu. Mengatai orang lain nakal tanpa alasan yang jelas akan menyakiti perasaan orang tersebut, apalagi yang sering dikatai nakal adalah abangnya sendiri. Orang yang selalu menolongnya, membantunya, mengalah pada dirinya dalam hal apapun.
"Bapak! Pak.." Zayan masih terisak namun sudah membuka pintu. Mendorong dengan cukup keras.
Tidak ada siapapun. Zayan melihat ke arah Anam untuk meminta penjelasan. Kenapa bapaknya belum pulang juga.
"Bang, bapak mana?" Zayan ingin kembali menangis.
"Abang juga nggak tau. Sebentar, abang ganti baju dulu."
Anam ganti baju. Menggantung seragam OSIS yang tadi dia pakai di jemuran samping rumah. Mencuci tangan dan kaki, melakukan ritual seperti itu sudah menjadi kebiasaan. Anam tidak perlu lagi digembori tentang hal itu.
Dengan cekatan, Anam menuju dapur. Semua terlihat sama seperti saat terakhir dia dan Zayan meninggalkan rumah. Bahkan seperti tak ada tanda-tanda bapaknya pulang ke rumah. Ditiliknya isi mejikom, nasi di sana masih separo. Tadi pagi Anam dan Zayan yang mengurangi untuk sarapan.
Tanpa menunggu rengekan Zayan, Anam mengambil dua butir telur. Dia pecahkan dan berniat akan menggorengnya. Ada kompor di sana. Anam sudah bisa memakai alat tersebut. Hanya dia harus hati-hati, dia sudah bisa mengoperasikan benda yang selalu ada di setiap dapur rumah semua orang. Tinggal memutar kenopnya ke kanan. Dan api muncul dari sana.
Tapi, api tak muncul meski berkali-kali dia mencoba menyalakan. Mungkin gas nya habis. Anam tak kehabisan ide. Dia mengambil beberapa lembar buku yang sudah tidak terpakai di dalam lemari paling dasar, sengaja disimpan bapaknya untuk mengulang pelajaran sebenarnya. Tapi ya sudah. Jika telur itu tidak digoreng, tidak akan ada makan siang. Lagi pula buku itu sudah sangat lama, tidak lagi dia perlukan untuk belajar. Anam tidak berpikir jika buku-buku yang akan dia bakar bisa digunakan untuk belajar adiknya, Zayan. Namanya juga anak kecil. Mana mungkin berpikir sejauh itu.
Telur goreng matang meski harus berkali-kali mengambil buku untuk dibakar. Tidak ada kayu bakar, jika mencari ranting kering, akan memakan waktu dan pasti Zayan sudah merengek lagi nantinya. Yang penting makan siang mereka sudah jadi. Tinggal diberi kecap diatasnya. Dan mereka akan menikmati nasi dengan telur goreng beserta sedikit kecap sebagai perasa.
"Ini asin." Keluh Zayan.
"Dimakan pake nasi. Jangan kayak gitu. Kalo digado nanti kamu nggak kenyang." Tegur Anam.
"Bang, kapan bapak pulang?"
"Mungkin nanti sore. Abang nggak tau." Jawab Anam.
"Iya."
Dan mereka kembali diam. Menikmati menu makan siang mereka. Anam melihat ke arah jalan yang biasa bapaknya lewati dari dalam rumah, sambil tangannya sesekali memasukkan makanan ke mulut.. Memang tidak ada tanda-tanda bapaknya muncul. Anam sedikit cemas.
Dan jika Anam serta Zayan sudah kebingungan karena bapaknya tidak kunjung pulang, Tegar di balik jeruji tahanan hanya bisa memohon untuk dibebaskan.
"Saya ingin bertemu anak-anak saya pak.. Saya mohon pak.. Kasihan mereka." Begitu kata Tegar.
"Makanya jangan jadi penjahat kalau memang takut kehilangan orang-orang yang kamu sayang!" Ucap sipir penjara yang berjaga di sana.
Tegar menggeleng keras. Masih tidak rela jika dirinya dituduh sebagai pengedar narkoba. Bahkan dalam mimpi saja Tegar tidak pernah mau menjalani profesi haram tersebut. Dia tidak bersalah! Tapi dia terus didesak untuk mengakui kejahatan yang tidak pernah dia lakukan.
"Pak.. Apa saya boleh minta tolong.." Tegar menatap penuh harap ke arah sipir penjara itu.
"Apa? Mau makan? Laper juga kan, makanya jangan sok nolak makanan di sini! Masih mending kamu dikasih makan!" Sipir itu sudah mau mengambil nasi berkerak yang sudah kering. Hanya nasi, tanpa ada apapun sebagai pendamping makanan itu.
"Bukan pak.. Saya ingin minta tolong.. Pertemukan saya dengan anak-anak saya.. Saya-"
"Nggak bisa! Kamu itu tahanan di sini. Statusmu napi! Kamu ngerti nggak, nggak mungkin aku bebasin kamu! Kecuali nanti.. Saat eksekusi mu! Itu lain cerita."
Apa tidak ada pengacara? Tidak ada persidangan? Apa tidak ada yang membela Tegar?
Tidak ada! Mungkin ini termasuk menyalahi aturan yang ditetapkan, karena Tegar langsung mendapat gelar narapidana dengan kasus pengedaran narkoba. Sidang singkat akan dilakukan minggu-minggu ini hanya untuk menentukan vonis hukuman. Tidak ada bebas bersyarat, tidak ada probono yang menjadi jalur bantuan guna mencari keadilan untuk bapak dua anak itu, benar-benar Tegar hanya punya satu pilihan yaitu pasrah dengan keadaan yang kini memeluknya dalam ketidakadilan.
"Apa saya boleh meminta kertas dan pena? Saya ingin.. Saya ingin menulis surat untuk anak-anak saya.. Saya mohon.."
Sebenarnya jika mau membuka sedikit saja mata hati, rasa kasihan, rasa kemanusiaan, tidak tega rasanya melihat penderitaan Tegar. Dia tidak pernah melawan saat dipukuli, dia tidak menghindar kala tubuhnya dijadikan samsak, tapi hanya satu yang dia tidak mau lakukan.. Mengakui diri sebagai bagian dari kelompok pengedar narkoba.
Tegar kembali menangis kala permintaan kecilnya dikabulkan oleh sipir penjara, yang baru saja dia ketahui bernama Aji dari nama di pakaian dinas yang dipakai.
"Terimakasih.." Ucap Tegar bergetar.
'Untuk anak-anakku. Bang Anam dan Zayan. Nak.. Bapak sekarang tidak bisa pulang ke rumah. Bapak tidak bisa menjelaskan kenapa dan bagaimana.. Bapak sendiri juga bingung, kenapa bapak tidak bisa lagi berkumpul dengan kalian.'
Air mata Tegar jatuh membasahi selembar kertas itu. Dia kembali menulis.
'Bapak minta maaf untuk waktu yang tidak pernah bapak berikan untuk kalian. Bapak tidak pernah mengusap rambut kalian saat malam hari, tidak bisa menemani kalian belajar, tidak bisa menyiapkan makan untuk mengisi perut kalian yang lapar.. Bapak menyesal sudah membuang banyak waktu tanpa kalian.. Kalian harus kuat, harus terus bersama.. Karena suatu saat, kalian tidak akan terus bersama bapak.. Jadi bapak minta untuk kalian bisa mandiri, tidak bergantung pada orang lain. Dari bapak yang akan selalu menyayangi kalian.'
Tegar melipat kertas itu, menciumnya seperti sedang mencium anak-anaknya. Memberikan surat tersebut pada Aji dan memohon dengan sangat untuk menyampaikan suratnya itu kepada anaknya di rumah.
Tentu saja Aji menolak, tapi dengan malas akhirnya dia menyanggupi untuk memberikan surat tersebut pada anak-anak Tegar di rumah.
Saatnya pergantian shift. Aji akan pulang. Ada sipir lain yang menggantikan dirinya berjaga. Dia tidak ingin ikut larut dalam masalah Tegar, dengan sengaja dia membuang surat tersebut ke tong sampah sebelum keluar dari lapas tersebut.
Baru menaiki motornya, hati Aji seperti terketuk untuk kembali ke dalam sana dan mengambil surat tersebut. Ya mungkin membacanya dulu sebelum memutuskan apakah dia mau menyerahkan surat itu atau tidak nantinya kepada anak Tegar.
Dan benar, Aji masuk kembali untuk mengambil kertas yang sudah dia buang. Tidak ada amplop, hanya selembar kertas bertuliskan tangan dengan sedikit tanda basah. Mungkin air mata. Entahlah, Aji tidak tahu.
Hati Aji bergetar kala membaca surat dari Tegar, dia ingin menangis tapi urung dilakukan. Dia jadi teringat pada sosok ayah yang sudah lama meninggal dunia. Dengan berbekal alamat yang Tegar berikan, Aji memutuskan untuk menyampaikan surat itu pada kedua anak Tegar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Dewi kunti
kelas berapa kok pake OSIS sich
2025-01-16
1
𝑳𝒂𝒑𝒊𝒔 𝑳𝒆𝒈𝒊𝒕🎐ᵇᵃˢᵉ
bagaimana ya kelanjutan kehidupan Zayan dan Anam ke depan nya, tanpa ada pak tegar di sisi mereka...
2025-01-16
2
𝐔 𝐏 𝐈 𝐋 𝐈 𝐍
pas mau mampir sini, mesti udah siapin stok tisu dan tempat mlipir..
krna part-nya sllu bikin rembes mata, persis ketika baca bakoh🥺🥺🥺
2025-01-16
1