Langit yang mendung tak lagi menunda menurunkan butiran air hujan. Seakan menghapus jejak air mata yang tercipta oleh kepergian seseorang yang paling berharga. Anam dan Zayan masih enggan meninggalkan area pemakaman. Mereka tak menghiraukan ajakan orang-orang untuk pulang atau sekedar berteduh melindungi kepala mereka dari guyuran hujan menggunakan payung yang ada di sana.
Ini terlalu menyakitkan. Semua orang pernah kehilangan, tapi ini benar-benar menyakitkan. Sekali lagi, tangisan tanpa suara tapi membuat pundak bergetar terlihat menyesakkan dada. Zayan bahkan tidak mau membagi suara tangisnya, dia biarkan hujan menelan semuanya. Dia biarkan hujan meluruhkan air matanya.
"Abang janji akan jaga diri, jaga Zayan juga pak. Sekarang.. Abang dan Zayan harus pulang. Kasihan Zayan, dia sudah kedinginan. Ingin Abang tetap di sini, menemani bapak.. Tapi.. Biarkan doa Abang saja yang menemani bapak. Pak.. Suatu saat, suatu saat nanti.. Abang akan menuntut keadilan untuk kita semua pak. Untuk kepergian bapak, untuk semua air mata ini, untuk kesedihan dan luka ini. Abang akan mencari keadilan untuk bapak. Abang janji!"
Anam mengajak Zayan pulang meski dirinya juga enggan meninggalkan tempat peristirahatan terakhir bapaknya. Hancur sudah harapan Anam dan Zayan untuk berkumpul kembali bersama orang tua satu-satunya yang mereka miliki.
Rengekan Zayan untuk terus ada di tempat pemakaman umum membuat Anam emosi. Dia menarik tangan Zayan keras, bocah dengan tubuh gemuk itu jatuh karena tidak bisa mengimbangi langkah cepat kakaknya.
"Aku masih mau di sini bang!!! Abang mau pulang kan? Pulang aja sendiri!!! Aku masih mau di sini!!" Teriak Zayan tak ingin berdiri. Dia memeluk kuburan Tegar yang basah. Rupa bocah itu sudah tidak karuan, baju kotor oleh tanah, wajah dan tubuhnya juga demikian adanya.
"Kamu bisa sakit!! Bapak nyuruh aku jaga kamu, kalo kamu sakit--"
"Biarin aku sakit!! Biarin aku mati sekalian!! Aku ingin bersama bapak aja!! Aku nggak mau pergi bang.. Aku nggak mau pulang, ini rumah bapak, sekarang ini juga rumahku! Abang silahkan pulang!!"
Gila. Anam sampai kewalahan menghadapi Zayan yang seperti ini. Belum pernah Zayan membantahnya. Belum pernah Zayan berteriak meluapkan kemarahan hingga seperti ini, Anam sampai terdiam beberapa saat.
Bocah sepuluh tahun itu berjalan mendekati adiknya. Dia duduk di samping Zayan yang masih menangis memeluk kuburan bapaknya. Tidak! Dia merasa yang dipeluk adalah tubuh bapaknya, bukan kuburan.
"Za.." Suara Anam melemah.
"Bang, jangan minta aku pulang bang.. Jangan..." Suara Zayan serak oleh isak tangis.
"Nggak.. Tapi, kita neduh sebentar yuk.. Di sana.." Masih berusaha sabar menghadapi adiknya yang tantrum karena kehilangan bapak mereka.
"Tapi bapak di sini sendirian bang.."
"Doa kita akan menemani bapak."
Jawaban Anam sebenarnya tidak membuat Zayan ingin beranjak dari sana. Tapi, ketika mata mereka bertemu.. Zayan melihat abangnya itu sama kacaunya dengan dirinya, dia jadi menurut.
Lihat lah mereka sekarang, duduk di bawah naungan gubuk kecil yang biasa dipakai para penggali kubur untuk beristirahat setelah menyelesaikan tugasnya. Anam diam, Zayan? Dia masih terisak.
"Bapak..." Panggil Zayan seperti berbisik.
Bukan lagi air mata, tapi hanya suara.. Suara panggilan itu bahkan tidak akan pernah disahuti oleh bapaknya. Semua tidak akan sama setelah ini.
Dari kejauhan, ada seorang bocah yang berjalan semakin mendekati kedua anak lelaki yang masih setia duduk meneduh dari guyuran hujan. Sebenarnya, tanpa meneduh mereka juga sudah basah kuyup dan kotor, percuma!
"Kalian masih di sini, kenapa?" Tanya bocah itu dengan membawa payung besar. Payung itu lebih besar dari tubuhnya.
Keduanya terdiam. Hanya melihat sekilas. Lalu menatap kembali ke arah makam bapak mereka. Masa bodoh, pikir mereka.
"Aku juga sedih. Ayahku juga baru saja meninggal. Kalian tau kan?" Sekarang bocah itu duduk di samping kedua anak laki-laki tersebut, tanpa izin terlebih dahulu.
"Kita sama-sama nggak punya ayah. Aku juga sedih banget, aku nangis terus, lihat ini.. Mataku sampai sehitam ini." Bocah perempuan itu menunjuk dengan jari pada arah matanya sendiri.
"Pulang sana. Ibumu nanti nyariin." Usir Anam pada gadis kecil itu.
"Ayo." Dengan tangan kecilnya dia menyerahkan payung yang sama besarnya dengan yang dia pakai tadi.
Biasanya Zayan yang paling cerewet, kini dia bahkan menulikan telinganya. Hanya ada kesedihan di mata anak enam tahun itu. Bahkan untuk mengalihkan pandangan dari makam bapaknya pun enggan dia lakukan. Semua terasa berbeda menurutnya. Pelukan hangat yang dia idamkan ketika bertemu bapak tercinta, hanya sebatas angan yang tak mungkin menjadi kenyataan.
"Za..." Panggil Anam.
Barulah bocah itu melihat ke arah Anam dan Lusi. Benar, gadis kecil itu adalah Lusi. Anak Marpuah dan almarhum Riki. Dia sedang berusaha menghibur Anam dan Zayan dengan caranya.
"Pulang sekarang?" Tanya Anam.
"Abang duluan. Aku nanti." Jawab Zayan dengan tatapan mata sendu.
"Kita pulang sama-sama Za." Ucap Anam menegaskan.
"Ayo kita ke sana. Kita ke tempat ayah kita. Kita pamit, abis itu pulang." Ajak Lusi ke makam para bapak mereka.
"Nggak ada yang minta kamu datang ke sini." Anam lagi yang menjawab.
Mata Lusi berkaca-kaca, dia udah mau menangis.
"Huaaa huuaaa.. Nggak ada yang peduli sama aku.. Ayahku udah meninggal, ibuku dibawa polisi, aku nggak punya temen, kalian nakal!" Lusi menangis dengan suara cemprengnya.
"Kalau kalian nggak punya bapak, aku juga! Kalian sedih, aku juga!! Huuhuuuuuuuhuuuu..."
Zayan tidak bergeming. Apalagi Anam yang memang punya jiwa cuek, dingin, dan masa bodoh dengan sekitar. Makin kejer saja Lusi menangisnya karena dua bocah lelaki itu tidak menggubrisnya sama sekali.
Tangisan Lusi terdengar memekakkan telinga, jika orang tidak tahu apa yang terjadi, pasti akan mengira jika bocah itu sedang menangisi kepergian orang tuanya. Secara, dia menangis tergugu di tengah area pemakaman umum.
"Za, mungkin kita nggak bisa lagi ketemu bapak.. Tapi kita masih bisa mengirimkan doa untuk bapak Za." Anam mencoba menghibur adiknya meski dirinya sendiri merasa tercabik hatinya.
"Abang bilang doa anak baik bisa dikabulkan Allah, Abang bohong kan?! Nyatanya bapak malah pergi makin jauh.." Gumam Zayan menatap ke arah langit. Air matanya seperti hujan yang turun, deras membasahi pipi.
"Terus mau kamu apa? Mau di sini selamanya gitu? Kamu pikir kamu aja yang sedih?? Otakmu dipake!! Abang juga sedih, Abang juga terluka.. Bukan kamu aja!!! Terus kalo kita tetap di sini, apa bapak bisa hidup lagi?? Bodoh!!!" Bentak Anam keras.
"Iya aku bodoh! Memang kenapa kalau aku bodoh!?? Aku nggak sekolah, tentu saja aku bodoh!!! Pergi bang, aku nggak mau liat abang!!"
Lusi yang baru saja berhenti menangis karena dicuekin, malah sekarang terdengar kembali menangis sebab ketakutan oleh dua anak lelaki yang sedang berselisih.
"Ayo pulang.. Aku mau pulang... Hiks hiks.." Lusi ikut basah karena menarik tangan Zayan agar mau ikut dengannya. Keluar dari tempatnya berteduh tadi dan melupakan jika dia membawa payung.
Zayan yang kesal serta marah, mendorong Lusi hingga bocah itu terjatuh. Anam membantu Lusi bangun, tangisan Lusi semakin menjadi-jadi.
"Apa yang kalian lakukan pada anakku??" Teriakan wanita dewasa itu membuat ketiganya menoleh ke arah yang sama.
Hari masih panjang.. Hujan belum menunjukkan tanda akan reda, tapi Anam dan Zayan harus bergelut dengan masalah lain di depan mata.. Kasihan!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
𝑳𝒂𝒑𝒊𝒔 𝑳𝒆𝒈𝒊𝒕🎐ᵇᵃˢᵉ
kasihann Lusi kehilangan sesosok Ayah sama seperti Anam dan Zayan yang kehilangan sesosok ayah di hari yang sama...
2025-02-24
1
𝐔 𝐏 𝐈 𝐋 𝐈 𝐍
berat😓
sudah ditinggal ayah, harus juga diberi kesabaran utk bisa merawat adiknya🤧
2025-02-24
1
Tak Bo Gem
terkadang hidup memang jomplang, begitulah adanya
ahhhhhhh suuuuuudahlah
2025-02-24
1