Pintu itu mengeluarkan suara berdecit keras, terasa berat dan sulit dibuka. Dengan kesal, Reno berjuang berulang kali untuk membukanya. Ia ingat, seingatnya, tidak ada yang mengunci pintunya saat ia pergi. Namun, mengapa sekarang terkunci ketika ia pulang?
Reno melangkah gontai memasuki kamar dalam kegelapan. Tangan kanannya meraba-raba mencari saklar lampu. Setelah beberapa detik, ia berhasil menyalakannya. "Klik!" suara lampu yang menyala membuat Reno terpejam sejenak, matanya silau oleh cahaya yang terlalu terang.
Setelah beberapa saat, ketika matanya mulai menyesuaikan diri dengan cahaya ruangan, ia melemparkan kunci, serta barang-barang lainnya, ke atas meja yang terletak tak jauh dari pintu. Tampaknya ia tidak peduli lagi dengan ketertiban. Yang ada di pikirannya kini hanya satu: lelah.
Reno melangkah gontai, tubuhnya terasa berat, dan pikirannya dipenuhi rasa lelah. Saat mencari tumpuan untuk berpegangan, tangannya tanpa sengaja menyenggol sebuah tumbler stainless di atas meja. Brakk! Suara benda itu jatuh ke lantai mengisi ruangan dengan kebisingan yang memekakkan telinga. Reno terkejut, matanya menyipit menatap benda asing yang sekarang terguling tak jauh dari kakinya.
Di sudut ruangan, Marsha yang sebelumnya terganggu oleh terang lampu, kini benar-benar tersentak. Suara tumbler yang jatuh membangunkannya dari posisi berbaring. Ia langsung bangkit dengan kaget, menatap Reno yang kini berdiri tak jauh dari pintu.
Untuk sesaat, keduanya hanya saling diam. Mata Marsha membulat saat menyadari penampilan Reno yang berbeda dari biasanya—kusut, berantakan, dan tampak sangat kelelahan. Ini pertama kalinya ia melihat Reno dalam kondisi seperti itu.
"Kak Reno?" panggil Marsha dengan suara ragu, seolah memastikan dirinya tidak sedang bermimpi. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba menerima kenyataan di depannya.
Mendengar namanya dipanggil dengan suara yang begitu familiar, Reno langsung mendongak. Namun, keterkejutannya bertambah ketika melihat Marsha—duduk di atas kasurnya. Matanya melebar, seolah-olah otaknya mencoba mencerna pemandangan tak terduga itu.
Reno mengusap wajahnya dengan tangan, memastikan ia tidak sedang bermimpi. Dengan langkah ragu, ia mendekat.
“Marsha?” panggilnya pelan, hampir berbisik. Ia duduk di tepi kasur, tepat di hadapan Marsha yang kini juga menatapnya dengan ekspresi tidak percaya.
Marsha tidak berkata apa-apa, hanya terdiam. Sorot matanya mengungkapkan kebingungan dan keterkejutan yang sama besar dengan Reno.
“Marsha, ini benar kamu, kan, sayang?” tanyanya dengan nada penuh keraguan, namun juga harapan. Perlahan, Reno menangkup wajah Marsha dengan kedua tangannya. Jarinya menyentuh pipi lembut itu, mencoba meyakinkan dirinya bahwa yang ada di hadapannya nyata.
Ia menatap lekat-lekat, matanya menyipit seolah mencoba menangkap setiap detail. Marsha tetap terdiam, namun ada rona hangat di pipinya yang mulai tampak. Momen itu seolah membekukan waktu bagi mereka berdua.
Marsha terpaku, tubuhnya kaku. Matanya membulat saat mendengar Reno memanggilnya dengan sebutan yang jarang sekali keluar dari mulutnya. Panggilan itu terasa hangat, namun juga begitu asing. Tapi kehangatan itu segera terusik ketika aroma alkohol dari tubuh Reno tercium jelas.
“Kakak mabuk?!” tanya Marsha, alisnya berkerut, ekspresi ragu tergambar jelas di wajahnya.
Reno perlahan menurunkan tangannya dari wajah Marsha. Bukannya menjawab, ia malah tersenyum tipis sebelum mendekat dan memeluk Marsha erat. Pelukan itu penuh kehangatan, namun juga menyiratkan kerinduan yang mendalam, seolah Reno takut kehilangan sesuatu yang berharga.
“Kakak cinta kamu. Jangan pergi, Sha,” bisiknya lirih di telinga Marsha, suaranya nyaris tak terdengar, tapi penuh ketulusan. Reno tidak peduli pada pertanyaan yang diajukan Marsha. Ia tetap memeluknya erat, seakan tak ingin melepaskannya lagi.
Marsha terdiam, tubuhnya membeku untuk kedua kalinya malam itu. Kata-kata Reno—yang begitu sederhana namun sarat makna—membuat hatinya bergetar hebat. Sejak mengenal Reno, ia lebih sering melihat pria itu menunjukkan perasaan melalui tindakan daripada ucapan. Namun, kata-kata seperti ini adalah hal yang diam-diam selalu ia tunggu.
Perasaan yang tak terdefinisikan memenuhi hatinya—kebahagiaan, kelegaan, dan harapan. Perlahan, setitik cahaya harapan muncul di hati Marsha, seperti sinar lembut yang menghangatkan hubungan mereka. Ia tidak tahu bagaimana harus merespons, tapi satu hal yang pasti: malam itu, ia merasa lebih dicintai daripada sebelumnya.
Dengan senyum yang perlahan muncul di wajahnya, Marsha membalas pelukan Reno. “Aku juga cinta kamu, Kak,” ucapnya lirih, suaranya hampir tenggelam oleh keheningan malam. Pelukan mereka terasa begitu hangat, seperti meluruhkan segala jarak dan kerinduan yang selama ini mengendap.
Namun, kebersamaan itu terusik ketika Marsha mulai merasa berat menopang tubuh Reno.
“Kak?” panggilnya lembut.
Tidak ada jawaban. Reno tetap bergeming. Marsha mencoba melepaskan pelukannya, namun gerakannya malah membuatnya terjatuh ke samping, membawa Reno ikut rebah di bawahnya. Marsha menatap Reno dengan heran, dan hanya untuk menyadari bahwa pria itu sudah terlelap—atau lebih tepatnya tidak sadarkan diri.
Dia menghela napas panjang, melengos sejenak sambil mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Sekilas, adegan dan ucapan Reno tadi terasa seperti mimpi, sesuatu yang sulit ia yakini sebagai kenyataan. Bagaimanapun, aroma alkohol yang menyelimuti pria itu cukup menjadi bukti bahwa Reno tidak sepenuhnya sadar.
Dengan bersusah payah, Marsha mulai membetulkan posisi tidur Reno. Ia melepas sepatu yang masih menempel di kakinya, lalu mencari kaus di lemari untuk menggantikan kemeja Reno yang kusut. Namun, saat tangannya tanpa sengaja menyentuh gesper Reno, ia langsung berhenti. Raut wajahnya berubah, dan dengan kesal, ia menepuk lengan Reno.
“Dasar bikin repot,” gumamnya pelan, meski bibirnya tak bisa menahan senyum tipis. Ada rasa lelah, tapi juga kehangatan yang sulit dijelaskan. Setelah memastikan Reno lebih nyaman, Marsha duduk di tepi kasur, mengawasinya sejenak sebelum akhirnya membaringkan dirinya di samping pria itu.
“Emang boleh aku buka, Kak? Hhh... jangan deh, nanti aku khilaf lagi,” gerutu Marsha, setengah berbisik. Namun, rasa gemas terus mengusik pikirannya. Celana Reno yang tampak kotor dan pasti berbau tidak sedap membuatnya ragu untuk membiarkan begitu saja.
‘Buka, enggak, buka, enggak?’ batinnya berperang sendiri.
‘Tapi celananya bau banget, harus diganti...’ pikirnya, namun langsung diiringi keraguan.
‘Duh, kok malah jadi takut ya? Ya ampun, ntar salah pegang lagi gimana?’
Kebingungan itu seperti badai kecil dalam pikirannya. Sementara itu, Reno tetap tidak bergeming, sepenuhnya terlelap dalam ketidaksadarannya. Tepukan kesal Marsha tadi sama sekali tidak membuahkan hasil. Entah seberapa parah pria itu mabuk hingga tidak bereaksi sedikit pun.
Akhirnya, setelah menarik napas panjang, Marsha memutuskan hanya melepaskan sabuk Reno tanpa mengganti celananya. “Sudahlah, ini saja cukup,” gumamnya, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Mengurus Reno dalam keadaan seperti itu ternyata jauh lebih melelahkan dari yang ia bayangkan. Hampir satu jam lamanya ia berjuang—menggeser tubuh Reno ke posisi tidur yang benar, menggantikan kemeja yang basah keringat, dan membersihkan wajah tampannya dengan kain basah. Setiap gerakan terasa menguras tenaga, tapi Marsha melakukannya dengan penuh kesabaran.
Setelah selesai, Marsha menyelimuti Reno dengan hati-hati, memastikan pria itu nyaman dalam tidurnya. Kini, ia bersimpuh di samping ranjang, mengistirahatkan dirinya sejenak. Pandangannya tertuju pada wajah Reno yang tertidur lelap.
Wajah itu begitu damai, jauh berbeda dari penampilan kusut dan lelahnya tadi. Marsha tersenyum kecil. Di balik semua kerepotan ini, ia merasa ada kebahagiaan tersendiri—karena, setidaknya untuk malam ini, Reno ada di sisinya.
“Kak, tahu nggak sih, seharian aku tungguin kamu. Mau kasih kejutan, eh malah aku yang kena kejutan,” gumam Marsha pelan, suaranya penuh nada kesal bercampur rasa lelah. Jari telunjuknya dengan lembut mengelus lengan Reno, mencoba melampiaskan kegundahannya. “Kenapa sih kakak mabuk? Mana berat banget lagi…” keluhnya sambil menghela napas panjang.
Matanya terus memperhatikan wajah Reno yang tertidur damai, seolah-olah semua masalah di dunia ini tidak ada. Perasaan Marsha bercampur aduk—antara kesal, sayang, dan bingung. Dalam keheningan itu, pikirannya berputar, memikirkan alasan di balik kondisi Reno malam ini.
Semakin lama ia duduk di sana, rasa kantuk mulai menyerangnya. Kelopak matanya terasa berat, hampir membuatnya tertidur di samping Reno. Namun, sebelum benar-benar terlelap, ia segera memaksakan diri untuk bangkit. Dengan langkah hati-hati, Marsha meninggalkan sisi tempat tidur.
Dalam perjalanan keluar kamar, ia menunduk dan mengambil tumbler yang tergeletak di lantai—sisa insiden yang sempat mengejutkannya tadi. Ia menghela napas panjang, menggenggam tumbler itu erat seakan menahan emosi yang bercampur aduk di dalam dirinya.
Setibanya di kamar bawah, tempat seharusnya ia tidur, Marsha membaringkan tubuhnya di atas kasur. Namun, pikirannya masih terjebak di lantai atas, bersama Reno. Perasaan kacau memenuhi hatinya.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments