"Saya terima nikah dan kawinnya Marsha Aulia Zlatan binti Harris Zlatan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"
Suara lantang Alan menggema di ruangan, diiringi sorakan saksi yang mengesahkan pernikahan itu.
"Sah?"
"Sah!"
"Sah!!"
Gemuruh suara tamu memenuhi villa mewah yang menjadi saksi pernikahan ini. Acara digelar secara resmi, namun tertutup, jauh dari pusat kota. Tak ada pesta mewah atau liputan media, hanya keluarga dan orang-orang terdekat yang hadir.
Berbeda dengan kebanyakan pasangan yang berseri-seri di hari bahagia mereka, Marsha dan Alan justru tampak… datar. Tak ada senyum sumringah, tak ada mata berbinar. Mereka hanya mengikuti alur acara seperti robot yang diprogram untuk menikah.
Pernikahan ini terasa hambar, tanpa emosi. MC yang bertugas mencoba membangun suasana, memberikan petuah pernikahan yang menyentuh. Suaranya begitu melankolis hingga beberapa tamu, terutama para wanita, mulai terisak. Mereka terharu dengan keindahan kata-kata yang menggambarkan makna pernikahan.
Marsha? Ia malah menahan kuapan. Dalam hatinya, ia berdoa agar acara ini cepat selesai. Apalagi bulu mata palsunya mulai terasa berat, seperti beban yang tak perlu. Setiap kali MC melontarkan sanjungan dan godaan tentang dirinya dan Alan, bulu kuduknya Justru meremang.
Alan? Pria itu tetap tenang, sama sekali tak tersipu atau menunjukkan reaksi apa pun. Saat MC dengan semangat berusaha menggambarkan mereka sebagai pasangan malu-malu yang sedang jatuh cinta, Alan hanya menggeleng pelan. Jika ada yang lebih absurd dari pernikahan ini, mungkin itu adalah asumsi sang MC yang mengira mereka benar-benar pengantin bahagia.
Pernikahan ini sah, tapi apakah berarti ada cinta di dalamnya? Tidak ada yang tahu.
Saat isak tangis para tamu masih terdengar, Marsha samar-samar menangkap suara seseorang berkomentar santai.
"Tamu pada mewek, pengantinnya biasa banget ya."
Refleks, Marsha mengalihkan pandangannya ke arah suara itu. Seorang pria—mungkin seumurannya—tengah bersandar santai di kursi. Wajahnya tampak ramah, dan jelas dia bagian dari keluarga Alan, karena Marsha sama sekali tidak mengenalnya.
Saat tatapan mereka bertemu, pria itu tersenyum kecil, mengangkat dagunya sedikit, lalu melirik sekilas ke arah Alan. Marsha sempat berniat membalas senyumannya, tetapi tiba-tiba ekspresi pria itu berubah. Ia buru-buru menunduk, seakan mendadak ketakutan.
Marsha mengernyit. Nalurinya mengatakan, Alan pasti telah melakukan sesuatu. Dengan penuh selidik, ia menoleh ke Alan yang kini berstatus suaminya.
Alan tetap di tempatnya, tampak santai seperti biasa. Ia bahkan tidak menunjukkan ekspresi bersalah.
"Kenapa?" tanyanya dengan suara datar.
Marsha hanya memicingkan mata, menatapnya dengan sorot penuh tuduhan. Namun, seperti biasa, Alan tak terpengaruh.
Tanpa membuang waktu, Marsha memilih melengos, mendiamkan Alan dengan tatapan sinisnya yang sudah menjadi senjata andalannya dalam diam.
***
Sejak pertengkaran terakhir dengan Reno, Marsha tidak pernah lagi melihatnya. Bahkan di hari pernikahannya, pria itu tetap memilih untuk tidak hadir. Reno benar-benar menjauh, dan meski Marsha merasa sedih, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Lagipula, kini ia telah sah menjadi istri Alandanu Nugraha.
"Padahal Mas Harris bilang pekan depan diurus juga nggak masalah, lho, Han."
"Itulah, Mbak," sahut Hana, menghela napas kecil. "Sejak pindah ke kantor pusat, sibuk banget kelihatannya. Kemarin sih katanya bisa, eh, tahu-tahu batal. Padahal ini pernikahan adiknya sendiri." Hana menggeleng pelan, jelas tak habis pikir.
Marsha yang sedari tadi ikut mendengarkan percakapan Nadia dan Hana hanya mendesah dalam hati.
'Menyibukkan diri? Iya kali, Tan.' Batinnya
Ia bertopang dagu, mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang hanya diisi oleh keluarga inti. Tidak banyak orang di sini. Suasana terasa begitu privat, jauh dari kesan pernikahan yang meriah.
Di sudut lain, Harris dan Damar tampak sibuk berbincang dengan petugas KUA. Tak lama, kedUanya beranjak menuju mobil yang sudah menunggu di depan, sepertinya hendak mengantar para petugas itu pulang.
Marsha menghembuskan napas pelan. Hari ini berlalu begitu saja, dan Reno… tetap tak ada.
Di dekatnya, Hana dan Nadia masih asyik membicarakan Reno dan urusan perusahaan. Sementara itu, beberapa saudara jauh—baik dari pihak Marsha maupun Alan—terlihat menyebar di berbagai sudut ruangan. Jumlah mereka tak lebih dari lima puluh orang.
Sebagian sibuk bercengkerama dalam kelompok kecil, termasuk pria yang tadi sempat berkomentar tentanG pengantin yang "biasa saja." Sementara yang lain tampak berbincang akrab dengan Sania, menikmati suasana dengan santai.
Marsha menghela napas pelan. Sepertinya semua orang menikmati acara ini. Semua… kecuali dirinya. Ia satu-satunya yang merasa bosan.
Matanya kini mencari sosok Alan—suaminya, setidaknya secara status. Entah ke mana pria itu pergi. Sejak sesi pemotretan selesai, Alan menghilang begitu saja, seakan lenyap ditelan udara.
Sebenarnya, dia ada. Tapi kehadirannya tak terasa, seperti debu halus yang beterbangan—tak terlihat, tapi cukup mengganggu. Jika terlalu lama menghirupnya, bisa-biSa malah bersin karena alergi.
Marsha menghela napas berat, lalu memutar bola matanya. Untuk apa juga repot-repot mencari Alan?
"Sha, paham kan?"
Sebuah tepukan ringan di paha membuat Marsha tersadar dari lamunannya. Ia menoleh dan mendapati Hana menatapnya dengan ekspresi penuh arti.
"Apanya, Tan?" tanyanya bingung, masih berusaha mengumpulkan fokusnya yang sempat melayang entah ke mana.
"Melamun nih, Mbak," Hana mengadu pada Nadia sambil tersenyum tipis. Lalu, tanpa banyak basa-basi, ia menyodorkan sebuah paper bag mungil ke pangkuan Marsha. "Ini obatnya, jangan lupa diminum setelah 'bersatu'. Baca aturannya, ya."
Marsha mengernyit, menatap paper bag itu dengan curiga. Dengan cepat, ia mengintip isinya—dan semakin bingung. Kata bersatu yang diucapkan Hana membuat pikirannya berkecamuk, menunggu penjelasan lebih lanjut. Dan jawabannya datang dari Nadia.
"Mama dan keluarga Alan sudah sepakat, kamu jangan hamil dulu sebelum lulus."
Marsha spontan membeku. Mulutnya terbuka, sementara alisnya semakin berkerut. Ia benar-benar tak menyangka akan mendengar hal seperti ini.
Nadia kemudian mendekat dan berbisik pelan, cukup agar hanya mereka bertiga yang mendengar. "Obat kan juga nggak menjamin, cuma usaha aja. Kalau bisa, usahanya dua kali. Jangan lupa ingatkan Alan buat selalu buang di luar, kalau-kalau lupa pakai pengaman."
Marsha hampir tersedak udara. Matanya membesar, seakan nyaris melompat dari tempatnya. Ia bahkan belum selesai memproses kejutan pertama, dan sekarang Nadia dengan santainya menambahkan sesuatu yang jauh lebih mengerikan di telinganya.
"Mama, please!" Marsha hampir berteriak, buru-buru menutup telinganya, seolah ingin mengusir kata-kata itu dari kepalanya.
Marsha benar-benar tak menyangka Nadia dan Hana akan membicarakan hal itu segamblang ini. Baginya, topik seperti ini terlalu tabu untuk didiskusikan, apalagi dengan nada santai seperti yang mereka lakukan.
Bukan berarti Marsha tidak mengerti maksud mereka. Tentu saja ia paham. Hanya saja, membayangkan dirinya menjalani semua itu bersama Alan—pria asing yang baru saja resmi menjadi suaminya—membuatnya merinding. Ralat, bukan hanya asing. Marsha bahkan merasa tidak mengenalnya sama sekali.
Semakin lama ia duduk di sana, semakin stres rasanya. Tanpa pikir panjang, Marsha bangkit dari tempatnya.
"Mau ke mana, Sha?" tanya Hana, sedikit bingung.
"Tidur." jawab Marsha datar, berusaha mengakhiri pembicaraan ini sesegera mungkin.
Tapi Hana tidak melewatkan kesempatan untuk menggoda. "Lho, udah mau langsung dipraktikkan aja?" ujarnya dengan senyum usil.
Sekejap, wajah Marsha memerah padam. "Tanteee!" pekiknya tertahan, sadar bahwa sekitarnya masih cukup ramai.
Hana terkekeh puas, sementara Nadia ikut tertawa geli. Marsha? Ia hanya bisa melengos kesal, menyesali kenapa tadi tidak langsung pergi sejak awal.
Marsha tidak langsung menuju kamarnya. Ia memutuskan untuk berkeliling sebentar, menikmati suasana villa sebelum akhirnya kembali beristirahat.
Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Alan berdiri di sudut ruangan, sibuk berbicara serius di telepon. Ekspresinya tampak tegang.
"Lo udah bilang kan kalau gue masih di luar?" Suaranya terdengar datar, tetapi ada ketegangan di sana.
Marsha diam di tempat, tanpa sadar mulai memasang telinga.
"Nggak, nggak, gue belum bisa kembali. Mungkin dalam waktu setahun."
Alan menghela napas panjang, memijat pelipisnya, jelas gusar.
"Lo atur aja kalau itu. Yang jelas, nggak ada hubungannya lagi sama gue, paham?"
Tanpa menunggu jawaban, Alan langsung memutuskan panggilan.
Marsha yang sejak tadi menguping sedikit terkejut ketika nada bicara Alan meninggi. Ia buru-buru berbalik, berniat kabur sebelum ketahuan.
Tapi langkahnya terhenti begitu menyadari sesuatu—Alan juga sedang berjalan ke arah yang sama. Ke kamar mereka.
"Lho, kok balik lagi, Sha? Katanya mau tidur?"
Hana yang masih duduk di tempat semula menatap Marsha dengan heran saat gadis itu kembali duduk di sampingnya.
"Nggak jadi."
Marsha meletakkan paper bag kecil yang tadi diberikan Hana ke atas meja, membuat wanita itu langsung menyimpulkan bahwa Marsha belum masuk ke kamarnya sama sekali.
"Kamu belum ke kamar?" tanyanya sambil melirik paper bag yang masih bolak-balik dibawa Marsha sejak tadi. Marsha menggeleng pelan.
"Kenapa?"
Marsha mendesah sebelum menjawab dengan nada malas. "Ada Om-om di dalam."
Hana membulatkan matanya, terkejut mendengar jawaban yang tak terduga itu. "Maksudnya… suami kamu?"
Marsha mendengus pelan sebelum akhirnya mengangguk, mengiyakan.
Hana terkekeh pelan melihat ekspresi Marsha yang masih enggan menerima kenyataan.
"Dia suami kamu, Sha." bisiknya lembut sambil mengelus punggung tangan Marsha, seolah ingin memberinya kekuatan untuk menerima fakta itu. Bagaimanapun, dia suamimu.
Namun, pikiran Marsha masih dipenuhi dengan kata-kata Alan yang ia dengar tadi.
'Kembali? Dalam waktu setahun? Ke mana? Maksudnya gimana sih?'
Berbagai pertanyaan berputar di kepalanya. Apakah itu ada hubungannya dengannya? Atau justru dengan sesuatu yang lebih besar?
Sebelum ia semakin larut dalam pikirannya sendiri, Hana kembali mencubit pelan tangannya.
"Ssttt, Maminya datang tuh. Jangan bilang dia Om-om lagi, ya." bisiknya sambil meremas tangan Marsha pelan, berusaha menyadarkannya dari lamunannya.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments