Ada Syaratnya

Sebulan telah berlalu sejak Harris dirawat di rumah sakit. Setelah lebih dari sepekan menjalani perawatan intensif dan sekitar dua pekan pemulihan di rumah, kini ia kembali bekerja seperti biasa. Kabar baik ini membuat Marsha merasa sangat lega. Seingatnya, ini adalah masa sakit terlama yang pernah dialami Harris.

Di pagi hari yang cerah, Marsha tiba di sekolah dengan semangat yang berbeda.

"Selamat pagi, Pak!" sapanya ceria kepada Agus, satpam sekolah, sambil melambaikan tangan.

"Pagi juga, Neng geulis!" balas Agus dengan nada semangat yang sama, bahkan menirukan gerak tubuh Marsha, membuatnya tertawa kecil.

"Sarapan, Pak," ujar Marsha sambil meletakkan dua kotak makanan di meja pos keamanan.

"Terima kasih banyak, Neng," balas Agus, sambil memindahkan kotak makanan itu ke sudut meja agar aman. Ia kemudian menatap Marsha dengan penasaran. "Wah, riang banget hari ini, Neng. Apa ada kabar menang olimpiade lagi?"

Marsha tertawa mendengar candaan Agus. "Pak Agus ada-ada aja. Mana ada olimpiade setiap bulan? Baru tiga bulan lalu saya ikut Olimpiade Sains Nasional, masa sekarang olimpiade lagi. Yang ada juga rehat, Pak, baru selesai ujian semester."

"Jadi kenapa, dong? Ada kabar bahagia?"

"Iya, Papa saya udah keluar dari rumah sakit, Pak. Sekarang beliau sehat seperti sedia kala. Makanya hati saya lega, bawaannya bahagia terus," jawab Marsha sambil tersenyum lebar.

"Syukur alhamdulillah. Saya doakan semoga Papanya Neng selalu sehat dan panjang umur, ya," ucap Agus tulus.

"Aamiin, Pak! Terima kasih," sahut Marsha dengan penuh semangat.

Marsha kemudian melangkah pergi, berpamitan, "Saya ke perpustakaan dulu, ya, Pak. Mau ‘bersemedi’ sebentar."

Agus tertawa mendengar istilah khas Marsha itu, lalu melambaikan tangan.

Sebelum menuju perpustakaan, Marsha sempat berteriak kecil kepada Cakra, rekan Agus yang sedang berjaga di depan gerbang. "Pak Cak, jangan lupa sarapannya, ya!"

"Siap, Neng. Terima kasih banyak," jawab Cakra sambil tersenyum hangat.

Dengan hati riang, Marsha melanjutkan langkahnya, menikmati pagi penuh energi dan rasa syukur.

Salah satu kebiasaan rutin yang telah dilakukan Marsha selama bertahun-tahun di sekolah adalah membawakan sarapan untuk petugas keamanan dan petugas kebersihan. Tradisi ini ia mulai sejak duduk di bangku SMP dan terus ia jalankan hingga sekarang.

Alasan di balik kebiasaan ini sederhana namun penuh kepedulian. Marsha menyadari bahwa petugas keamanan dan kebersihan sekolah harus datang lebih awal daripada guru maupun murid. Jika murid dan guru saja sudah masuk pagi-pagi sekali, tentu mereka harus hadir lebih awal lagi, pikir Marsha.

Kebiasaan ini bermula ketika ia melihat Maya, sering terlihat terburu-buru di pagi hari karena tidak sempat sarapan. Marsha memperhatikan bahwa Maya terkadang hanya membawa bekal seadanya atau bahkan tidak makan sama sekali. Hal itu membuat Marsha tergerak untuk membawakan sarapan sebagai tanda kepeduliannya.

Apa yang dimulai sebagai niat sederhana kini menjadi rutinitas yang penuh makna. Melalui tindakan kecilnya, Marsha menunjukkan rasa hormat dan kepedulian kepada mereka yang tanpa lelah memastikan sekolah tetap aman dan bersih bagi semua orang.

Flashback On

"Kamu itu terlalu baik sama orang, Dek. Hampir semua orang kamu kasihani,” ujar Maya suatu hari, nada suaranya lembut namun serius.

Marsha mengerutkan kening, bingung dengan pernyataan kakak kelas yang dekat dengannya itu. “Memangnya salah, Kak, kalau aku berbuat baik?” tanyanya polos.

“Bukan salah, Dek. Justru bagus banget. Tapi kamu harus ingat, nggak semua orang itu perlu dikasihani. Kebaikan kamu itu jangan sampai berubah jadi sesuatu yang malah merugikan kamu,” jawab Maya, tatapannya lembut namun penuh makna.

“Maksudnya gimana, Kak?” Marsha masih belum sepenuhnya mengerti.

Maya tersenyum kecil sebelum menjelaskan, “Maksudnya, kamu harus hati-hati. Jangan sampai kebaikan kamu dimanfaatkan orang lain. Bantu orang sesuai kemampuan kamu, dan pastikan bantuan itu memang benar-benar dibutuhkan. Jangan asal membantu hanya karena kamu merasa kasihan.”

Perkataan Maya membuat Marsha terdiam sejenak. Ia mulai memahami bahwa kebaikan tidak hanya soal memberi, tetapi juga tentang kebijaksanaan dalam menilai situasi.

Flashback Off

Di Perpustakaan

"Sha, ngapain sih lo di sini? Orang-orang pada sibuk siap-siap tanding. Kasih support kek, atau ikut lomba sekalian," bisik Sarah tiba-tiba di telinga Marsha.

Marsha bergidik kaget. Bulu tengkuknya langsung meremang mendengar suara Sarah yang muncul entah dari mana. Dengan pasrah, ia menutup buku referensi yang sedang dibacanya, lalu menghela napas panjang.

"Ya udah, deh," gumam Marsha sambil beranjak menuju meja pustakawan untuk meminjam buku. Sarah hanya diam mengikuti langkahnya dari belakang, memasang wajah puas seolah misinya berhasil.

"Lo ya, Sar. Bisa banget datang pagi-pagi cuma pas class meeting doang," keluh Marsha ketika mereka berjalan berdampingan menuju kelas.

"Yah, gimana, Sha. Class meeting itu seru banget, tau!" Sarah membela diri sambil terkekeh.

Marsha mendengus. "Bukan itu maksud gue. Maksudnya, kalau lo bisa bangun pagi buat ini, kenapa nggak setiap hari aja datang pagi?"

"Gue kan bukan lo, nona perfeksionisme," jawab Sarah sambil memutar bola matanya.

Marsha hanya menghela napas lagi, terlalu lelah untuk berdebat lebih jauh.

Sesampainya di kelas, Sarah menunjuk meja Marsha sambil tersenyum usil. "Tuh, di meja lo ada gift lagi. Masih cokelat. Apa nggak lo kasih tahu aja kalau lo nggak makan cokelat?"

Marsha hanya melirik sekilas. "Buat apa?" tanyanya datar.

"Ya biar diganti sama yang lain dong. Sesuatu yang lo suka, yang bisa lo nikmatin."

"Nggak, ah. Harusnya dia stop aja ngirimin bingkisan kayak gitu. Gue aja nggak tahu dia siapa dan maunya apa," jawab Marsha santai sambil duduk.

Sarah mendengus gemas. "Ya ampun, Sha. Masih nanya juga? Jelas-jelas dia suka sama lo, dong. Lo ini oon atau gimana, sih?"

Marsha menoleh heran pada Sarah, tapi hanya mendapati tatapan penuh kekesalan bercampur geli dari sahabatnya itu.

**

Marsha menatap kartu ucapan yang terselip di bingkisan cokelat di atas mejanya. Lagi. Sudah hampir dua bulan ini ia menerima bingkisan serupa, tidak setiap hari, tapi cukup sering untuk membuatnya bertanya-tanya. Siapa pengirimnya?

Setiap kartu selalu diakhiri dengan tanda tangan yang sama: V. Kata-kata di dalamnya pun beragam, mulai dari ucapan manis hingga motivasi sederhana. Namun hari ini, pesannya lebih singkat:

Semoga hari-harimu menyenangkan. ~V~

Tak lama setelah membaca pesan itu, ponsel Marsha bergetar. Sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenal muncul di layar:

V: [Hai, lagi apa?]

Marsha mendesah lelah. Dengan malas, ia mengetik balasan:

Marsha: [Hai. Thanks. Bisa stop aja nggak? Gue nggak nyaman.]

Balasannya datang dengan cepat, seperti sudah dipersiapkan:

V: [Maaf. Please jangan tolak ya. Aku usahakan, semoga suatu hari bisa langsung ketemu kamu.]

Marsha terdiam, jari-jarinya menggantung di atas layar. Bukannya merasa tersentuh, ia justru semakin tidak nyaman. Ia memutuskan untuk tidak membalas pesan itu lagi.

Sebenarnya, ini bukan kali pertama ia mencoba menghentikan V. Sudah beberapa kali Marsha memberitahu dengan tegas agar pengirim berhenti mengirimkan bingkisan atau menghubunginya. Namun, usahanya selalu sia-sia. Setiap kali ia memblokir nomor, V kembali dengan nomor yang baru. Sampai saat ini, sudah tiga kontak berbeda yang Marsha blokir, semuanya mengaku sebagai V.

Rasa bingung dan frustrasi menyelimuti pikirannya. Apakah V tidak memahami batasan? Atau memang sengaja mengabaikannya? Yang pasti, perhatian berlebihan ini bukan lagi terasa menyenangkan, melainkan mengganggu.

Tok! Tok! Tok!

Marsha mengalihkan pandangannya dari buku yang sedang ia baca ke arah pintu kamarnya. "Ya?" sahutnya.

Dari balik pintu, muncul ART keluarga, menyampaikan pesan dengan sopan. "Permisi, Non. Nyonya minta Non Marsha ke bawah sekarang."

Marsha mengernyit, bingung. "Hah? Ada apa, Bi?"

"Kurang tahu, Non. Tapi disuruhnya sekarang," jawab ART itu sambil tersenyum kecil.

Marsha mengangguk pelan. "Iya, bentar, Bi. Aku beresin ini dulu," ujarnya sambil melirik meja belajarnya yang penuh dengan barang-barang kiriman dari V.

Setelah ART itu pergi, Marsha segera membereskan tumpukan barang di mejanya. Semua barang dari V ia simpan rapi ke dalam sebuah lemari khusus, jauh dari pandangan. Meski sering merasa terganggu dengan perhatian berlebihan itu, ia tak ingin membuangnya begitu saja.

Namun, untuk makanan yang ia terima—terutama cokelat—Marsha punya kebiasaan lain. Ia lebih memilih membagikannya kepada teman-temannya di kelas. Bagi Marsha, cokelat bukanlah favorit, dan daripada terbuang, lebih baik diberikan kepada mereka yang bisa menikmatinya.

Setelah memastikan meja kembali bersih dan rapi, Marsha melangkah keluar kamar menuju lantai bawah, bertanya-tanya apa yang sedang menunggunya di sana.

Marsha terkejut dan merasa aneh melihat seluruh keluarga dari pihak papanya berkumpul di ruang tamu, kecuali Reno dan Maya. Wajah mereka tampak serius, dan itu membuat perasaan Marsha semakin tidak enak.

"Ada apa ini, Ma?" tanya Marsha, mencoba memahami situasi yang terasa berbeda.

Nadia, ibunya, memanggilnya dengan lembut. "Duduk dulu sini, Nak," katanya. Marsha menurut dan duduk di samping mamanya.

"Ada apa, sih? Kok pada tegang gitu mukanya?" tanya Marsha, curiga. Ia menoleh pada Hana, bibinya, yang duduk di depannya. "Tante, Kak Reno mana?" tanyanya, biasanya kalau orang tua Reno datang berkunjung kerumahnya, dia pasti selalu ada.

Hana menghela napas dan menjawab pelan, "Reno ada urusan, Sha. Tadi katanya nggak bisa datang ke sini."

Marsha mengernyit, merasa ada yang tidak beres. Itu bukan kebiasaan Reno yang ia kenal. Setidaknya, Reno pasti akan memberi kabar terlebih dahulu. Terlebih lagi, tadi sore mereka masih sempat saling berkabar. Marsha pun merasa gelisah.

Dengan hati-hati, Marsha mengeluarkan ponselnya dan memutuskan untuk menghubungi Reno langsung, bertanya-tanya mengapa ia tidak memberitahunya atau sekadar memberi kabar. Suasana di sekitarnya terasa dingin dan canggung, semakin membuat Marsha merasa tidak nyaman.

"Sha," Nadia memanggil lembut, sambil perlahan menurunkan ponsel Marsha yang masih di tangannya. Marsha menoleh dengan tatapan bingung, menunggu ibunya melanjutkan perkataan.

"Perusahaan Papa bangkrut," kata Nadia, suaranya berat dan penuh kekhawatiran.

Marsha terkejut, hanya bisa terdiam, wajahnya penuh rasa kaget dan bingung. "Hah!?" Itu saja yang keluar dari mulutnya, tubuhnya mendadak terasa kaku, bingung dan linglung.

Candra, direktur keuangan di perusahaan keluarga itu, melanjutkan penjelasan dengan serius, "Masalah keuangan. Perubahan pasar dan teknologi mengakibatkan penurunan pendapatan, hingga akhirnya perusahaan kehilangan pangsa pasar." Ia menghela napas, lalu menambahkan, "Pendapatan yang terus menurun tidak cukup untuk menutupi biaya operasional perusahaan, Marsha."

"Terus, hubungannya dengan Marsha apa, Om?" tanya Marsha, semakin tidak mengerti.

Candra menatapnya, dan suara Nadia yang lembut kembali terdengar, "Ada rekan bisnis Papa yang ingin membantu, Sha."

"Bagus dong, Om! Kalau gitu, kenapa semua pada tegang begini?" Marsha mulai merasa semakin bingung dan cemas.

Nadia merangkul Marsha, mencoba memberikan kenyamanan meski wajahnya terlihat penuh kekhawatiran. "Mereka minta syarat, Sha."

"Syarat? Apa ada hubungannya sama Marsha?" Suara Marsha mulai serak, hatinya berdebar. Melihat wajah mereka, ia merasa bahwa ini bukanlah permintaan yang mudah atau menyenangkan untuk didengar. Nadia hanya mengangguk pelan, sementara Hana di depannya menatap dengan pandangan penuh iba, membuat Marsha semakin tidak nyaman.

"Apa?" tanya Marsha, suaranya hampir tidak terdengar, namun dipenuhi rasa takut yang semakin menggebu.

Dengan suara yang lembut namun berat, Nadia akhirnya berkata, "Kamu harus menikah dengan anaknya."

***

Episodes
1 Memilih Pergi
2 Sebagai Pengganti
3 Ada Syaratnya
4 Menolak Perjodohan
5 Takdir Tidak Selalu Sesuai Rencana
6 Tidak Berdaya
7 LIBURAN PALSU
8 PERTEMUAN
9 TIDAK SETUJU
10 TIDAK COCOK
11 WANGI YANG DIRINDUKAN
12 Surprise
13 DIPAKSA MERELAKAN
14 BELANJA BARENG OM ATAU ABANG
15 Pernikahan
16 MATA YANG TERNODAI
17 PINDAH RUMAH
18 SETUJU
19 CINCIN PERNIKAHAN
20 DITEMPAT YANG SAMA
21 JANGAN NANGIS
22 Rebutan Ingin Ngobrol
23 BERHENTI MEMBERI HARAPAN
24 V - SECRET ADMIRER
25 BERBAGI RANJANG
26 MEMBANGKITKAN GAIRAH
27 CINTA ITU BELUM TERTANAM
28 KAMU BAHAGIA?
29 MAS! MAS! MAS!
30 UNDANGAN SWEET SEVENTEEN
31 TERNYATA YANG KEDUA
32 GELISAH DAN KHAWATIR
33 HANYA BISA DIAM DAN PATUHI
34 RINGTONE KHUSUS
35 TERNYATA SUDAH MENIKAH
36 RASA PENASARAN SARAH
37 KENAPA RASANYA NYAMAN SEKALI?
38 Surat Kecil
39 DIA SUDAH BERSUAMI
40 KEANEHAN ALAN
41 Masih Cinta Kan?
42 Tidak Ada Affair, Hm!?
43 ALAN DAN RENO
44 TIDAK DAPAT IZIN
45 MANIS DAN PAHIT
46 BUAT DIA SIBUK
47 SEMAKIN BABAK BELUR
48 MARAH
49 Dunia Ajeb-ajeb
50 KECURIGAAN SARAH
51 Kartu Nikah
52 First Kiss
53 TERLALU WANGI
54 Serba Salah
55 BOLOS SEKOLAH
56 CERITA MARSHA
57 JEBAKAN
58 KAMBUH
59 TIDAK JELAS
60 KEHADIRAN RENO
61 DENGAN SADAR
62 Resmi
63 DITERIMA
64 MAYA KEMBALI
65 MEMBERIKAN SEUTUHNYA
66 Sekali Lagi
67 Mata yang Familiar
68 MAU KEMANA?
69 HEALING TIPIS-TIPIS
70 MENCARI PELAKU
71 PATAH HATI
72 BERBAIKAN
73 Hoodie Siapa?
74 V, Vino?
75 Memohon Maaf
76 Masalah Kembali
77 SISA RASA
78 PERGI UNTUK SELAMANYA
79 Love Language
80 Penolakan Hera
81 Harapan Hera
82 Belajar Masak
83 Lo Udah Nikah, Lo Jaga Sikap
84 Hanya Marsha
85 Kerelaan Alan
86 Bertemu Reno
87 Berbohong
88 Kekhawatiran
89 Melupakan Janji
90 Kecurigaan Reno
91 Kecurigaan Reno (2)
92 Masih Ada Cinta
93 Perasaan Marsha yang Mulai Terbagi
94 Belum Mau Menikah
95 Semakin Rumit
96 Maaf dan Kekecewaan Alan
Episodes

Updated 96 Episodes

1
Memilih Pergi
2
Sebagai Pengganti
3
Ada Syaratnya
4
Menolak Perjodohan
5
Takdir Tidak Selalu Sesuai Rencana
6
Tidak Berdaya
7
LIBURAN PALSU
8
PERTEMUAN
9
TIDAK SETUJU
10
TIDAK COCOK
11
WANGI YANG DIRINDUKAN
12
Surprise
13
DIPAKSA MERELAKAN
14
BELANJA BARENG OM ATAU ABANG
15
Pernikahan
16
MATA YANG TERNODAI
17
PINDAH RUMAH
18
SETUJU
19
CINCIN PERNIKAHAN
20
DITEMPAT YANG SAMA
21
JANGAN NANGIS
22
Rebutan Ingin Ngobrol
23
BERHENTI MEMBERI HARAPAN
24
V - SECRET ADMIRER
25
BERBAGI RANJANG
26
MEMBANGKITKAN GAIRAH
27
CINTA ITU BELUM TERTANAM
28
KAMU BAHAGIA?
29
MAS! MAS! MAS!
30
UNDANGAN SWEET SEVENTEEN
31
TERNYATA YANG KEDUA
32
GELISAH DAN KHAWATIR
33
HANYA BISA DIAM DAN PATUHI
34
RINGTONE KHUSUS
35
TERNYATA SUDAH MENIKAH
36
RASA PENASARAN SARAH
37
KENAPA RASANYA NYAMAN SEKALI?
38
Surat Kecil
39
DIA SUDAH BERSUAMI
40
KEANEHAN ALAN
41
Masih Cinta Kan?
42
Tidak Ada Affair, Hm!?
43
ALAN DAN RENO
44
TIDAK DAPAT IZIN
45
MANIS DAN PAHIT
46
BUAT DIA SIBUK
47
SEMAKIN BABAK BELUR
48
MARAH
49
Dunia Ajeb-ajeb
50
KECURIGAAN SARAH
51
Kartu Nikah
52
First Kiss
53
TERLALU WANGI
54
Serba Salah
55
BOLOS SEKOLAH
56
CERITA MARSHA
57
JEBAKAN
58
KAMBUH
59
TIDAK JELAS
60
KEHADIRAN RENO
61
DENGAN SADAR
62
Resmi
63
DITERIMA
64
MAYA KEMBALI
65
MEMBERIKAN SEUTUHNYA
66
Sekali Lagi
67
Mata yang Familiar
68
MAU KEMANA?
69
HEALING TIPIS-TIPIS
70
MENCARI PELAKU
71
PATAH HATI
72
BERBAIKAN
73
Hoodie Siapa?
74
V, Vino?
75
Memohon Maaf
76
Masalah Kembali
77
SISA RASA
78
PERGI UNTUK SELAMANYA
79
Love Language
80
Penolakan Hera
81
Harapan Hera
82
Belajar Masak
83
Lo Udah Nikah, Lo Jaga Sikap
84
Hanya Marsha
85
Kerelaan Alan
86
Bertemu Reno
87
Berbohong
88
Kekhawatiran
89
Melupakan Janji
90
Kecurigaan Reno
91
Kecurigaan Reno (2)
92
Masih Ada Cinta
93
Perasaan Marsha yang Mulai Terbagi
94
Belum Mau Menikah
95
Semakin Rumit
96
Maaf dan Kekecewaan Alan

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!