Reno berdiri di depan pintu balkon kamar Marsha, menatap gadis itu yang masih sibuk dengan kanvasnya. Sesuai janjinya, ia datang begitu pekerjaannya selesai. Namun, alih-alih menyambutnya, Marsha hanya menghela napas pelan lalu menggeleng tanpa melepaskan pandangannya dari lukisan di depannya.
“Kamu nggak mau keluar?” tanya Reno, mencoba menarik perhatiannya.
Tatapannya lalu beralih ke cheesecake yang tadi pagi ia titipkan pada Nadia. Kini, kue itu justru menjadi objek lukisan Marsha—hanya tinggal sepotong yang termakan. Reno mengernyit.
“Cheesecake sebesar itu, kok cuma sepotong yang kamu makan? Udah nggak suka lagi?” tanyanya heran.
Marsha akhirnya menoleh sekilas, lalu melirik jam dinding di kamarnya. Hari masih cukup sore.
“Kakak benar-benar dari kantor?” tanyanya tiba-tiba, mengabaikan pertanyaan Reno soal cheesecake.
Reno sedikit tertegun. “Iya,” jawabnya ragu, tak mengerti maksUd pertanyaan itu.
Marsha mengamatinya sejenak sebelum kembali fokus pada lukisannya. “Kenapa kakak kelihatan berantakan banget? Kusut kayak baju belum disetrika. Kayak orang stres, nggak mirip orang yang baru pulang kerja.”
Reno refleks menunduk, memeriksa penampilannya sendiri. Napasnya berat, dadanya terasa sesak. Baru sekarang ia menyadari betapa berantakannya dirinya—kemeja keluar dari celana, kancing kerah terbuka, dasi longgar, dan rambutnya acak-acakan, jauh dari kesan rapi yang biasa ia jaga.
Mengusap wajahnya, Reno mencoba mengumpulkan ketenangan, tetapi pikirannya masih berantakan. Selesai rapat direksi tadi, ia melampiaskan seluruh kekesalan dan ketidakberdayaannya. Masalah yang menimpa dirinya dan Marsha menghantamnya telak. Ia tidak rela melepaskan Marsha, tapi di saat yang sama, ia juga tidak punya cara untuk mempertahankannya.
Frustrasi itu terus membebaninya sejak pagi. Bahkan saat rapat, pikirannya melayang entah ke mana, membuatnya beberapa kali ditegur oleh Candra. Biasanya, ia selalu bisa mengendalikan diri—tenang, rasional. Tapi Kali ini, semuanya terasa di luar kendali.
Marsha menghentikan gerakan kuasnya, lalu bangkit dari kursi. Tatapannya datar, tetapi tajam, menelisik Reno seolah mencari sesuatu di wajah lelaki itu. Reno hanya diam, bingung dengan arti tatapan itu.
Tanpa sepatah kata pun, Marsha melewatinya begitu saja. Ia berjalan menuju pintu kamar, menutupnya, lalu menguncinya. Reno mengernyit, semakin tak mengerti apa yang sedang dilakukan Marsha.
Namun, sebelum Reno sempat bertanya, Marsha kembali mendekat. Tanpa ragu, ia meraih tangannya dan menariknya untuk duduk di sofa yang ada di dalam kamar. Reno, yang masih diliputi kebingungan, hanya menurut. Marsha pun duduk di sebelahnya, lalu memiringkan tubuhnya hingga mereka saling berhadapan.
Perlahan, senyum tipis terbit di bibir Marsha. Ia menatap Reno lekat-lekat, matanyA mengandung kesenduan yang sulit diartikan. Pandangannya menyusuri setiap lekuk wajah lelaki itu—sosok yang biasanya selalu rapi, mempesona, dan penuh percaya diri. Reno yang dikenal selalu tersenyum, memancarkan aura bahagia dan menenangkan, kini tampak begitu berbeda. Seperti seseorang yang kehilangan cahaya dalam dirinya.
"Kakak kenapa tadi malam nggak ada?"
Suara Marsha terdengar pelan, hampir seperti bisikan. Tangannya terangkat, jemarinya dengan lembut merapikan rambut Reno yang sedikit berantakan. Reno hanya diam, membiarkan sentuhan itu tanpa reaksi. Biasanya, dialah yang selalu memperhatikan Marsha, selalu ada untuknya. Tapi hari ini, ia justru menjadi sosok yang asing—tidak lagi terlihat seperti Reno yang selalu ia kenal.
"Kakak tahu nggak apa yang mereka rencanakan untuk Marsha? Apa yang mereka paksakan pada Marsha?"
Nada suaranya bergetar, bukan karena marah, melainkan karena kelelahan menghadapi semua ini sendirian. "Mereka mendorong Marsha demi keuntungan mereka, tanpa peduli bagaimana hidup Marsha nanti."
Tangannya kini bergerak turun, mengusap pelan lengan kemeja Reno yang kusut. Ia mencoba merapikannya, meskipun tahu itu tidak akan mengubah apa pun. Dasi Reno yang terpasang longgar pun hanya ia rapikan sedikit, seolah menerima keadaan lelaki itu yang kini sama kacaunya dengan dirinya.
Tatapan Marsha bertemu dengan mata Reno. Di sana, ia tidak menemukan kilau semangat yang biasa terpancar. Tidak ada senyum menenangkan, tidak ada kehangatan yang selama ini selalu Reno berikan. Yang ada hanyalah kesenduan yang begitu dalam—sama seperti yang ia rasakan.
Reno tetap diam, tidak bergerak sedikit pun. Tangannya hanya terkulai di pangkuannya, sementara Marsha menarik kembali tangannya, seolah menyadari bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah keadaan.
Sebenarnya, Marsha sudah menebak alasan Reno tidak muncul tadi malam. Mungkin karena ia tahu dirinya tidak akan bisa melakukan apa pun. Mungkin karena ia tidak sanggup melihat Marsha tersakiti dan menangis tanpa bisa menolongnya.
"Maafkan kakak… Kakak nggak bisa bantu kamu kali ini," ucap Reno pelan, suaranya sarat dengan penyesalan.
Hati Marsha mencelos. Kata-kata itu begitu menusuk, jauh lebih menyakitkan daripada yang ia bayangkan. Ia menggigit bibirnya kuat, berusaha menahan tangis yang mulai menggenang di pelupuk matanya.
"Kak, Marsha maunya sama kakak, bukan orang lain."
Suara Marsha bergetar, matanya berkaca-kaca, penuh luka dan kekecewaan. Ia menatap Reno, mencari jawaban, mencari harapan yang mungkin masih tersisa.
"Kakak yang bilang mau nikahin Marsha… kenapa sekarang kakak malah mau lepasin Marsha begitu aja!?"
Tetesan air mata akhirnya jatuh, tapi dengan cepat Marsha menyekanya, enggan terlihat lemah.
Reno masih diam. Ia bahkan tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia juga tidak ingin ini terjadi, tapi kenyataan membuatnya tak berdaya. Dan bagi Marsha, melihat Reno menyerah begitu saja adalah hal yang paling tidak bisa ia terima.
"Kakak sebenarnya cinta aku nggak sih!?"
Marsha menatap Reno dengan mata yang masih basah oleh air mata. Suaranya terdengar putus asa, seperti seseorang yang tengah berjuang mempertahankan sisa-sisa harapannya.
Reno menatapnya dalam diam sebelum tangannya terulur, menggenggam tangan Marsha erat, lalu membawanya ke bibirnya. Ia mengecup jemari Marsha berkali-kali, seakan ingin meyakinkan gadis itu melalui sentuhannya.
"Cinta. Aku cinta kamu, Sha."
Ucapannya terdengar lembut, tetapi tegas. Genggamannya semakin erat, begitu kuat hingga membuat Marsha sedikit merasa sakit.
"Kamu tahu, Sha, kakak benar-benar nggak bisa melakukan apa pun sekarang." Reno menatapnya dengan penuh kepedihan. "Mama kamu pasti sudah menjelaskan alasannya, kan?"
Marsha terdiam. Ia tahu persis apa yang dimaksud Reno, tapi tetap saja sulit menerimanya.
"Semua masa depan keluarga kita ada di tangan kamu, Sha."
Marsha mengernyit. Ia benci kalimat itu. Sudah terlalu banyak orang yang mengatakan hal yang sama, seakan dirinya bukan manusia, melainkan hanya alat untuk menyelamatkan sesuatu yang lebih besar.
Dalam keputusasaan, Marsha tiba-tiba berucap, "Kak, ayo kita nikah lari."
Kata-katanya terdengar impulsif, tanpa pertimbangan. Bahkan dirinya sendiri ragu apakah benar-benar ingin melakukan itu.
Reno menatapnya dengan sorot yang sulit diartikan. Dengan lembut, ia mengusap dahi Marsha, seolah ingin menenangkan pikIrannya.
"Kamu mau kita dimusuhi keluarga sendiri?" tanyanya pelan.
Marsha mengepalkan tangannya. "Kakak mau ikut jual aku demi perusahaan juga?"
Reno terdiam. Tatapannya semakin dalam, begitu intens hingga membuat Marsha tak sanggup mengalihkan pandangan. Perlahan, Reno menangkup wajah gadis itu dengan kedua tangannya, jemarinya membelai pipi Marsha dengan lembut.
"Enggak."
Suaranya terdengar tegas, tanpa keraguan. "Please, Sha, jangan berpikir seperti itu. Ini murni demi kamu. Kakak nggak mau kamu menjalani hidup susah."
Reno menarik napas dalam, mencoba meredam emosi yang semakin menyesakkan dadanya. "Nggak ada cara lain. Semua benar-benar di ambang batas. Kakak sudah cek semuanya, kakak sudah pastikan. Satu-satunya bantuan yang kita butuhkan hanya ada darinya."
Setelah mengatakan itu, Reno menunduk, mengecup puncak kepala Marsha dengan lembut. Sentuhannya sehangat biasanya, tapi terasa lebih menyakitkan kali ini.
"Kakak juga sakit, Sha... sangat."
Suaranya bergetar, serak, seolah menahan sesuatu yang begitu berat di dadanya.
Marsha tetap bergeming, matanya masih menyiratkan harapan. "Pasti ada cara lain, Kak," suaranya penuh keyakinan, meskipun hatinya terus diguncang ketakutan. "Marsha nggak apa-apa kalau harus berjuang dari bawah, yang penting sama-sama, Kak."
Reno menghela napas berat. Ia ingin sekali mengiyakan ajakan Marsha, ingin mengabaikan segalanya—keluarganya, tekanan yang menghimpit mereka, semua yang menghalangi kebahagiaan mereka. Tapi kenyataan tidak sesederhana itu.
Ia menatap Marsha yang masih begitu muda, masih memiliki banyak impian. Reno ingat dengan jelas bagaimana gadis itu selalu berbicara penuh semangat tentang masa depannya, bagaimana ia merancangnya dengan kebahagiaan yang tulus. Ia tahu betapa besar cita-cita yang Marsha genggam, dan ia tidak akan membiarkan semua itu hancur.
"Kakak nggak meragukan itu, Sha. Kakak percaya sama kamu." Suaranya terdengar lembut, tetapi sarat dengan ketegasan. "Masalahnya bukan cuma di situ. Kamu masih sekolah, Sha. Kakak nggak mau kamu putus sekolah. Kamu harus Tetap melanjutkan cita-cita kamu."
Marsha menggeleng, matanya kembali memanas. "Masa depan Marsha itu kakak!"
Ucapannya pecah dalam isakan. Air mata yang sejak tadi ia tahan kembali jatuh. Wajahnya masih sembab sejak semalaman menangis, dan kini ia kembali menangisi dirinya sendiri.
Reno tercekat, napasnya terasa sesak. Ia ingin berkata sesuatu, tetapi tidak tahu harus bagaimana. Dengan lembut, ia menghapus air mata di wajah Marsha, ibu jarinya menyusuri pipi gadis itu dengan penuh kehati-hatian. Sakit. Sangat sakit melihatnya seperti ini.
Dan yang lebih menyakitkan lagi, ia tahu dirinya tidak bisa melakukan apa pun untuk mengubah keadaan.
Reno menarik Marsha ke dalam pelukannya, memeluknya erat seolah ingin menenangkan gejolak yang tengah mereka rasakan. "Jangan nangis, Sha… please," pintanya dengan suara serak.
Namun, permohonannya justru membuat Marsha semakin terisak. Air matanya tumpah di dada Reno, membasahi kemejanya yang masih kusut.
Mereka yang selama ini tidak pernah merasakan sakit hati sedalam ini, kini sama-sama mengalaminya. Begini rasanya—sesak, perih, dan tak ada obat yang bisa menyembuhkannya.
"Kita pasti bisa melewatinya, Sha." Reno berbisik lembut, mencoba memberi harapan, meskipun dirinya sendiri pun tidak yakin.
Marsha perlahan melepaskan pelukannya, menatap Reno dengan mata penuh luka. "Dengan mengorbankan perasaan kita?"
Ia tidak percaya Reno begitu saja merelakan semuanya. Ia yang selama ini yakin Reno akan memperjuangkannya, kini merasa sendirian dalam pertempuran ini.
"Kalau Maya bisa pergi, kenapa kita enggak?"
Nada suaranya terdengar putus asa, tidak ada lagi embel-embel kak saat menyebut nama kakaknya itu. Bukti betapa dalam rasa kecewa dan bencinya terhadap Maya.
Reno menatapnya tajam, sorot matanya penuh emosi. "Dan kamu lihat hasil dari perbuatan Maya?" suaranya lebih tegas kali ini. "Kamu jadi korbannya."
Tangan Reno kembali terangkat, menghapus air mata di pipi Marsha. Jemarinya membelai wajah gadis itu dengan kelembutan yang bertentangan dengan tatapan matanya—ada kebencian, ada kekecewaan yang begitu dalam.
Marsha terdiam. Untuk pertama kalinya, ia sadar bahwa Reno mungkin merasakan kebencian yang sama besarnya dengan dirinya terhadap Maya. Mereka berdua sama-sama terluka karena ulah perempuan itu.
Dan luka itu… masih terasa begitu nyata, begitu menyakitkan.
"Jangan menambah orang lain untuk disakiti, Sha. Cukup kita aja."
Reno menatap Marsha dengan sorot mata sayu, kelelahan terlihat jelas di wajahnya. Tangannya masih setia menggenggam jemari Marsha, seolah enggan melepaskannya meski kata-katanya sendiri seperti sebuah perpisahan.
"Kita juga nggak boleh egois, Sha," lanjutnya lirih. "Keluarga kita benar-benar menggantungkan harapan pada kamu. Aku tahu ini berlandaskan bisnis, tapi Papa dan Mama kamu pasti nggak akan sembarangan memilihkan calon suami untuk anak-anaknya… terutama kamu."
Suara Reno terdengar lembut, tetapi juga begitu menyakitkan. Ia berusaha menenangkan, mencoba membuat Marsha menerima kenyataan, meski dalam hatinya sendiri ia pun masih berperang dengan rasa kehilangan yang begitu besar.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments