Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu itu tidak lagi menarik perhatian Marsha. Ia sudah tidak peduli siapa yang ada di balik pintu, apa yang mereka inginkan. Baginya, semua yang terjadi tidak akan mengubah keputusan yang sudah bulat dalam pikirannya.
Marsha duduk di kursi meja belajarnya, tatapannya kosong menatap keluar jendela kamarnya. Hatinya dipenuhi perasaan marah, kecewa, dan sakit. Ia merasa seolah dikhianati oleh keluarganya sendiri. Dunia yang dulu terasa penuh harapan kini seakan runtuh di hadapannya, dan masa depannya pun terlihat gelap dan suram. Tidak ada lagi semangat dalam dirinya untuk merencanakan masa depan, seperti yang biasa ia lakukan. Pikiran Marsha seakan terhenti, hanya diisi dengan kekecewaan dan kesedihan yang menguasai dirinya. Semua yang pernah ia impikan terasa begitu jauh dan tak terjangkau lagi.
Mata Marsha terarah pada kalender meja di depannya. Seketika, ia teringat bahwa sekarang adalah masa class meeting, dan sebentar lagi libur semester yang menandakan kenaikan kelas. Matanya menyipit, dan pikirannya langsung berputar, mengingat kembali hari-hari sebelum musibah besar yang menimpanya akibat perjodohan ini.
"Sialan!" ujar Marsha dengan kesal, kata-katanya keluar begitu saja, tak terkendali, seakan bukan dirinya yang biasanya tenang dan berbicara dengan sopan. Begitu pikirannya menemukan jawaban, ia mendengus marah. Bibirnya terkatup rapat, hingga ia bisa merasakan giginya terkepal erat, menahan geram yang tak bisa lagi ia sembunyikan.
Pemikiran Marsha semakin jelas, bahwa segala sesuatu tampaknya sudah diatur begitu saja. Prestasi yang selama ini ia raih menjadi kebanggaan orang tuanya. Jika sebulan lalu, saat Harris pulang dari rumah sakit atau bahkan sebelum ujian sekolah, Marsha sudah tahu tentang perjodohannya, hal itu pasti akan mengganggu konsentrasinya. Ujian yang seharusnya ia jalani dengan baik bisa berakhir buruk, dan itu berarti segala sesuatu yang menjadi kebanggaan keluarganya bisa hilang begitu saja. Mereka akan merasa malu, dan Marsha tak ingin itu terjadi.
Marsha mendengus kesal. Seharusnya ia sudah curiga saat Maya berlibur terlalu lama dan bahkan sulit dihubungi. Fokusnya yang terpusat pada persiapan ujian membuatnya tidak menyadari apa yang terjadi di sekitarnya. Ia terlalu tenggelam dalam dunia akademis hingga kehilangan perhatian pada hal-hal lain yang bisa saja merubah segalanya.
Padahal, prestasi yang ia raih bukanlah tuntutan orang tuanya, melainkan tantangan pribadi bagi dirinya. Bagi Marsha, itu adalah standar untuk mengukur kemampuan diri sendiri. Ia melakukannya dengan sepenuh hati, dan meskipun hasilnya tidak selalu sesuai harapan, ia tidak pernah menganggapnya sebagai kegagalan atau alasan untuk bersedih. Namun, kenyataannya tidak sesuai dengan prediksi. Prestasi gemilangnya justru menjadi kebanggaan orang tuanya, yang kini terasa semakin membebaninya.
Dengan berat hati, Marsha bertekad untuk bertindak berbeda setelah kembali bersekolah nanti. Ia tidak ingin kelebihan yang dimilikinya dimanfaatkan, terutama oleh keluarganya sendiri. Tapi, saat ini, Marsha merasa tak ada Jalan keluar. Bagaimana mungkin ia bisa kabur seperti yang dilakukan Maya? Dari pengalaman, Harris pasti sudah mempersiapkan pengawalan dan pengawasan ketat jika Marsha berniat melarikan diri. Ia hanya bisa tersenyum miris, meratapi kemalangan nasib yang tengah menimpanya.
Marsha hanya terdiam ketika mendengar pintu kamarnya dibuka tanpa izin. "Sayang, ini ada cheesecake dari Reno," suara Nadia terdengar. Begitu mendengar nama Reno, Marsha langsung mengalihkan pandangannya, menoleh ke arah pintu dengan harapan. Namun, hatinya langsung kecewa saat menyadari Reno yang ia harapkan tidak ada di sana.
"Reno mampir sebentar cuma mau antar ini. Ada rapat direksi, jadi nggak bisa lama-lama. Katanya nanti kalau urusan kerjanya selesai, Reno langsung ke rumah," jelas Nadia, berusaha mencegah Marsha semakin kecewa. Nadia tahu betul bahwa saat ini, hanya Reno yang bisa menjadi teman cerita bagi Marsha.
Marsha tetap terdiam, pandangannya kembali tertuju ke luar jendela. Entah apa yang dipikirkan Nadia tentang Reno kepada Marsha, namun mungkin bagi orang lain yang melihat kedekatan mereka, kecuali Sarah, Reno hanyalah sepupu Marsha. Hubungan mereka dipandang sekadar kedekatan keluarga, bukan lebih dari itu.
"Tapi orang-orang tahu kan, Kak, kalau ada yang menikahi sepupunya sendiri?" protes Marsha, merasa tidak terima ketika keakraban mereka hanya dipandang sebagai hubungan saudara.
"Ada. Nanti kita salah satunya," jawab Reno, dan kalimatnya itu berhasil mengubah ekspresi kesal Marsha menjadi senyuman lebar. Senangnya begitu luar biasa, seperti melayang.
"Sha, kenapa nggak ngomong aja ke keluarga lo soal hubungan kalian? Jangan sampai ada yang menikung di tengah jalan," peringatan Sarah yang dulu sempat Marsha dengar, kini terngiang kembali dalam pikirannya.
"Masih sekolah, Sar. Rencananya setelah lulus, baru deh kasih tahu. Biar langsung tunangan," jawab Marsha dengan penuh keyakinan. "Lagipula, siapa yang mau menikung kalau cinta kami saling kokoh, Sar?" Sarah hanya mengangkat bahunya, tak banyak berkomentar.
Marsha terdiam sejenak. Siapa yang mau menikung? Takdir. Senyum miris kembali merekah di bibirnya saat ia menyadari betapa bodohnya ia. Ternyata, semua yang terjadi di hidupnya, semua rencana yang ia buat, bukan ia yang mengaturnya. Tak ada yang bisa melawan takdir, meskipun sudah dipersiapkan sebaik mungkin. Tidak ada yang bisa menjamin segalanya akan berjalan sesuai rencana.
Dengan perasaan yang berat, Marsha menyesali segala yang telah terjadi. Kenapa dulu ia tidak mengindahkan peringatan Sarah? Kenapa ia begitu yakin hubungan mereka akan selalu baik-baik saja? Kenapa? Kini, yang ada hanya rasa sesak dan penyesalan yang memenuhi dirinya.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments